"Kebangkitan kelas bawah Indonesia itu tidak akan tercapai tanpa pendidikan",
Iwan Setyawan (Penulis buku 9 Summers 10 Autums)
***
Walaupun terletak di wilayah pedesaan, SMPN 1 Karanganom, tempat saya dulu bersekolah, termasuk sekolah favorit di kabupaten kami. Maka pantaslah jika siswanya tidak hanya berasal dari Kecamatan Karanganom, tetapi dari beberapa kecamatan sekitar juga.
Saat pendaftaran siswa baru, awalnya saya sangat yakin bisa diterima karena NEM saya tertinggi di SD saya. Namun, nyali saya perlahan menciut setelah mengetahui NEM saingan-saingan saya. Walaupun sempat ketar-ketir tak akan lolos, alhamdulillah akhirnya saya lolos.
Saat pertama kali masuk kegiatan MOS, saya mengalami suatu keadaan yang mungkin bisa disebut sebagai cultural shock. Secara penampilan, teman-teman saya nampak seperti anak kota. Tas dan sepatu mereka bermerk. Demikian pula alat-alat tulisnya. Cara mereka bicara pun beberapa memakai Bahasa Indonesia, bahasa yang saat itu terasa sangat asing bagi lidah saya (karena saya terbiasa berbicara dalam Bahasa Jawa). Secara akademis, NEM mereka jauh di atas saya. Lalu, secara tinggi badan, betapa kagetnya saya setelah menyadari bahwa di antara anak perempuan di kelas kami, sayalah yang paling pendek. Ingat betul saya saat upacara pembukaan MOS, seorang teman mendorong saya dengan cukup keras agar saya berdiri di baris paling depan karena sayalah yang terpendek di antara yang lain. Pilu betul hati saya saat itu.
Belum lagi saat pelajaran di kelas. Perhatian guru-guru itu umumnya lebih condong kepada siswa-siswa yang secara penampilan (fisik) menarik. Terlebih pada mereka yang menarik secara fisik sekaligus berotak encer. Bahkan sering ketika saya berjalan bersama dengan teman-teman saya dan berpapasan dengan guru, kami pun menyapa guru tersebut. Betapa ngilunya perasaan saya ketika guru tersebut mengingat nama teman-teman saya sedangkan nama saya tidak. Dalam hati saya berkata, maukah saya terus menerus menjadi siswa yang tidak dilihat oleh orang-orang sekitar? Lalu, bagaimana bisa saya "sejajar" dengan mereka yang kaya, cantik/tampan sekaligus pintar itu?
Maka saya kemudian bertekad untuk menjadi siswa yang berprestasi karena itulah satu-satunya cara agar saya bisa "sejajar" dengan mereka. Saya belajar seperti orang kesetanan. Di kelas, saya selalu berusaha berkonsentrasi penuh. Jika ada hal yang tidak saya pahami, saya tak malu bertanya pada guru. Sepulang sekolah, saya menyelesaikan semua PR dan mengulangi membaca catatan yang hari itu diberikan oleh guru. Malam harinya saya membaca materi pelajaran yang besok akan diajarkan. Bangun saat azan subuh berkumandang, lalu bergegas sholat subuh kemudian belajar lagi, membaca pelajaran yang nanti akan diajarkan. Begitu setiap hari. Di akhir minggu, saya ulangi membaca pelajaran yang seminggu kemarin.
Usaha ini ternyata membuahkan hasil, saat catur wulan pertama, saya mendapat ranking 1 walaupun nilai saya hanya terpaut koma dengan teman saya yang rangking 2. Teman-teman sekelas tidak ada yang menyangka saya mendapat rangking 1. Begitu pun saya, hampir-hampir saya tak percaya melihat hasil ini. Sejak itu teman-teman mulai "melirik" saya. Guru-guru pun tidak lagi memandang saya sebelah mata. Sampai-sampai oleh guru Bahasa Indonesia saya mendapat julukan "kecil-kecil cabai rawit". Dari sanalah terbit rasa percaya diri pada saya.
Sampai lulus SMP, alhamdulillah saya selalu berada di rangking 3 besar di kelas. Saya juga beberapa kali mewakili sekolah untuk mengikuti perlombaan di tingkat kabupaten dan menyumbangkan piala untuk sekolah. Karena prestasi ini, selama tiga tahun penuh saya mendapat beasiswa prestasi dari pemerintah. Maka, saya pun semakin mantap bahwa pendidikan adalah adalah jalan bagi saya untuk "naik kelas", dari seorang anak desa yang nothing menjadi something.
Pola perbaikan diri yang saya pelajari sejak bangku SMP ini terbawa hingga masa-masa selanjutnya. Ini pula yang mendorong saya untuk berani melangkah ke bangku kuliah hingga lulus dengan predikat Cummlaud dari kampus tertua di negeri ini.
Saat ini mungkin saya belum menjadi siapa-siapa. Namun, untuk ukuran orang desa yang berasal dari kelas bawah seperti saya, pencapaian saya hingga detik ini adalah hal baik yang sangat perlu disyukuri. Apa jadinya jika dulu saya tidak bertekad untuk mengejar pendidikan hingga menjadi sarjana? Maka nyatalah apa yang dikatakan oleh Iwan Setyawan sebagaimana yang saya kutip di awal tulisan ini.
Selain nikmat iman dan kesehatan, satu lagi nikmat yang selalu saya syukuri hingga kini adalah nikmat ilmu. Sekedar syukur dalam hati dan lisan tidaklah cukup. Inilah yang membuat saya tergerak untuk merintis komunitas BOOK FOR MOUNTAIN bersama teman-teman saya di UGM. Saya juga bergabung sebagai Pengajar Muda di Indonesia Mengajar karena dorongan ini pula. Saya ingin anak-anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan senikmat yang saya kenyam selama ini. Hati saya selalu kelu ketika mendengar ada anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena keterbatasan biaya. Oleh karenanya, saya selalu berusaha berbagi semangat pada mereka agar mereka berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Ya Allah, luaskan ilmu dan rezekiku serta ringankan tanganku untuk terus berbuat sesuatu untuk anak-anak Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar