Translate

Rabu, 03 Februari 2016

Mas Gagah: antara Imajinasi dan Visualisasi

Sekian tahun lamanya sosok Mas Gagah rekaan Helvy Tiana Rosa mengambil tempat di ruang imajinasi saya. Apa iya, sosok seperti ini benar adanya? Begitu pikir saya kala itu. Dalam keraguan tentang sosok Mas Gagah yang terlalu sempurna itu,  nyatanya Mas Gagah benar-benar hidup dalam imajinasi saya dan ya, saya akui kala itu saya mengidolakannya.

Pada akhirnya Ketika Mas Gagah Pergi difilmkan, adalah sesuatu yang saya tunggu-tunggu. Rupanya penantian itu bukan penantian yang singkat. Mbak Helvy, creator tokoh Mas Gagah, memiliki cara sendiri untuk mengantarkan karyanya ke layar lebar. Dana film dikumpulkan dengan cara patungan dari ribuan pembaca Ketika Mas Gagah Pergi. Tahap ini saja sudah menyita waktu yang cukup lama, yang tentu saja membuat saya semakin gusar menanti versi filmnya.

Lalu casting. Lagi-lagi ini tak singkat, juga tak mudah. Mbak Helvy amat jeli menyeleksi aktor yang paling tepat mewakili tokoh Mas Gagah. Dan akhirnya, diperolehnya Hamas Syahid Izzudin yang dirasa paling pas menjadi visualisasi tokoh Mas Gagah. Hamas adalah mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya yang juga seorang penguhasa muda berparas tampan. Selain itu, Hamas juga seorang penghafal Quran. Latar belakang inilah yang sepertinya membuat Mbak Helvy memilih Hamas sebagai Mas Gagah.

Karena diproduksi secara indie, film ini perlu proses khusus hingga akhirnya bisa tayang di bioskop. Tidak semua bioskop mau memutarnya. Namun, bagi saya ini justru menarik karena berbeda dengan film pada umumnya. Jauh-jauh hari saya harus meluangkan waktu khusus untuk melihat jadwal dan lokasi penayangan film ini. Dengan begini, penantian saya justru menjadi lebih berwarna walaupun di sisi lain saya semakin resah oleh rasa penasaran.

Beberapa tiket juga dijual secara early bird dengan harga lebih mahal dari biasanya. Keuntungan dari margin harga ini didonasikan sebagai dana kemanusiaan bagi rakyat Palestina dan dana pendidikan untuk anak-anak di Indonesia timur. Ini semakin menegaskan bahwa Mbak Helvy dan orang-orang di balik film ini memang punya misi yang tak sekedar mencari untung semata. Ada nilai kemanusiaan, pendidikan dan tentu saja syiar Islam yang mereka sematkan dalam karya mereka ini.

Akhirnya, Mas Gagah dan adik manisnya, Gita tervisualisasikan. Dan menurut saya, mereka tervisualisasikan dengan sangat ciamik. Karakter mereka terbangun dengan sangat kuat. Walaupun Hamas dan Aquino Umar (pemeran Gita) masih pendatang baru di perfilman tanah air, kemampuan acting mereka perlu kita apresiasi. Acting mereka yang didukung oleh para aktor profesional sebagai figuran semakin membuat film ini terkemas dan tersaji dengan sangat apik.

Lalu, pertanyaannya adalah apakah tujuan film ini sebagai media syiar Islam sudah terpenuhi? Bagi saya pribadi, iya. Film ini tidak hanya sekedar membuat penontonnya tau tentang sesuatu yang baru, tapi juga mampu menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Dari adegan mas Gagah ber-muroja'ah Surat Ar-Rahman misalnya, saya menjadi tidak sekedar tau bahwa waktu-waktu luang (seperti saat sedang berkendara) perlu diisi dengan hal-hal baik seperti mengulang hafalan Quran, tapi saya juga tergerak untuk memperbaiki dan menambah hafalan saya setelah menyaksikan adegan Mas Gagah itu.

Jadi, apakah kamu sudah nonton film ini dan merasakan manfaatnya?

sumber gambar : movie.co.id

Tidak ada komentar: