Dear teman-teman BFM,
Seharian ini pekerjaan saya di kantor tidak banyak sehingga bisa menyimak obrolan kita di grup Whatshapp kita. Voluntourism, tema kita seharian ini. Adik-adik panitia Voluntourism#4 tampak sangat bekerja keras dalam hal ini. Lalu, hati saya pun tiba-tiba tersentuh setelah mengetahui cerita tentang Eirene, ketua panitia Voluntourism#4 yang saat ini sedang pulang ke kampung halamannya di Nias, Sumatra Utara. Demi bisa berkoordinasi dengan panitia lainnya via media sosial, Eirene harus naik ke bukit tertinggi berburu sinyal. Tentu saja tidak hanya Eirene yang sudah memberikan usaha lebih agar persiapan kegiatan ini berjalan dengan rapih, teman-teman lainnya pun pasti juga demikian.
Kami, generasi tua, memberikan kritik dan masukan kepada kalian, adik-adik panitia. Dan kalian sangat berbesar hati menerima semua kritik kami yang lantas segera ditindaklanjuti dengan aksi yang cepat. Sungguh, kalian keren sekali!
Ingatan saya tetiba kembali ke masa 5 tahun lalu, tepatnya Juli 2010 yaitu saat ide untuk membuat perpustakaan di lokasi KKN kami di Lombok, dicetuskan oleh Mbak Niniek dan Mbak Rusel. Apa mereka mengira ide sederhana itu akhirnya menjadi cikal-bakal terbuntuknya komunitas yang hingga awal 2015 ini terus bekerja untuk anak-anak di pelosok negeri? Tolong Mbak Niniek dan Mbak Rusel jawab ya! Hehee..
Sepulang KKN, kami memulai kegiatan trauma healing di beberapa shelter pengungsian Merapi. Anggota KKN Lombok yang baru saja pulang itu ikut bekerja bakti, memberi apa yang bisa diberikan. Orang bertambah, bantuan berdatangan. Tentu saja, "kami" sudah berkembang menjadi "kita" karena dari sanalah komunitas Book For Mountain terbentuk, komunitas yang tidak lagi hanya milik "kami", tapi "kita".
Kita rasa-rasanya seperti terkena virus "kesukarelawanan". Dari Merapi muncullah ide-ide baik lainnya. Ngadierejo, Ponre-Ponre, Pulau Sebesi, Semeru, Asahan, Bintuni, Nusa Penida, Lebak dsb adalah tempat-tempat yang berurutan kita kunjungi. Ke sana kita antarkan buku-buku terbaik untuk anak-anak. Kita mengajar dan bermain bersama mereka. Mereka gembira, kita pun bahagia.
Selain project perpustakaan, lahirlah 2 ide baik lainnya yaitu Sekolah Berjalan dan Voluntourism. Generasi pun berganti. Ada yang pergi, ada pula yang datang. Akan tetapi semangat kita sama persis, tak berbeda barang satu jengkal pun. Kadang kita harus rapat berjam-jam hingga tak jarang berselisih pendapat. Kita merogoh kocek pribadi untuk membiayai project. Kita berpeluh, melintasi alam yang menantang, tinggal di pondok sekedarnya dan makan seadanya saat berada di lokasi project. Bagi saya, itu adalah hari-hari terbaik dalam hidup saya. Hari-hari terbaik yang terus saya syukuri. Bukan hanya karena pengalamannya, melainkan juga karena kebersamaan dengan kalian.
Energi apa yang menyatukan kita sehingga semua itu bisa kita lewati? Niat baik, mungkin itulah yang akhirnya menggerakan dan menyatukan kita, anak-anak muda dari berbagai latar belakang pendidikan. Kita bergandengan tangan, merapatkan barisan untuk bersama-sama mengupayakan senyum untuk anak-anak Indonesia. Dan sampai hari ini, upaya ini tetap kita jalankan. Apakah ini akan terus kita lanjutkan?
Ah, tiba-tiba hati saya rasanya seperti bercabang-cabang. Cukup, sepertinya saya harus menyukupkan tulisan ini. Semoga, Tuhan selalu menjaga niat kita, menguatkan langkah kita untuk terus bekerja atas nama cinta dan kebaikan.
Selamat bekerja untuk panitia Voluntourism #4!
Translate
Tampilkan postingan dengan label BFM in Actions. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BFM in Actions. Tampilkan semua postingan
Jumat, 27 Februari 2015
Rabu, 21 Agustus 2013
ASAHAN, SUMATRA UTARA
Satu lagi perjalanan bersama BFM (Februari 2012)
Selalu ada jalan untuk setiap
niat baik. Hukum itulah yang selalu ku pegang, ku yakini kebenarannya.
Berkali-kali aku mengalami langsung hukum itu berlaku dalam hidupku. Bukan
hanya jalan yang selalu terbentang, melainkan keajaiban yang tak pernah
disangka-sangka.
Hari itu, Senin, 16 Januari
2012. Aku memutuskan untuk tidak ikut kegiatan BFM kali ini, ke Asahan, Sumatra
Utara. Ingin sekali, ingin sekali aku ikut. Ingin bertemu anak-anak di sana,
ingin belajar bersama mereka, ingin tahu mimpi mereka, ingin melihat tawa
mereka, dan ingin, ingin, ingin banyak sekali. Tapi, harapannku semakin menciut
setelah melihat kondisi keuanganku saat itu yang tidak mengizinkan aku ikut.
“Ok, mungkin untuk perjalanan kali ini aku tidak ikut dulu”, kataku dalam hati
dengan sangat berat tapi mencoba untuk ikhlas.
Sore hari sekitar jam 14.30 aku
bersama Rida, sahabatku duduk di sebuah bangku di bawah pohon besar yang
meneduhi area parkir belakang fakultas kami. Angin berhembus perlahan, membuat
kami betah berlama-lama duduk di tempat itu tanpa suara, hanya ingin menikmati
suasana sore itu. Aku menarik nafas panjang dan mulai bersuara, “jadinya aku
gak ikut acara BFM ke Sumatra Utara Rid”. “oooh.. gitu?”, Rida yang dari awal
sudah tahu kesulitanku menjawab dengan nada seolah ikut merasakan apa yang aku
rasakan. Kami pun kembali diam.
Tak berapa lama, HPku bergetar.
“Ada telepon”, aku masih sedikit kaget karena suara HP itu memecahkan
keheningan kami. Aku langsung membuka tasku dan dengan cepat menemukan letak HP
itu. “Hah, mbak Umi nelpon. Ada apa ya?”. “Udah, buruan angkat aja!”, perintah
Rida sambil melihat layar HPku. Kami sama-sama kaget karena jarang-jarang mbak
Umi, pegawai administrasi jurusan kami menghubungi mahasiswa. Aku semakin bertanya-tanya
karena pada saat itu posisiku sudah bukan mahasiswa lagi, melainkan alumni.
“Semoga bukan karena ada masalah”, doaku dalam hati.
“Assalamu’alaikum.. Mbak Umi,
ada apa ya?
“Haloo, Dita san ya? Ini Pak
Stedy”, terdengar jawaban dari ujung sana.
“Oh, Stedy sensei. Maaf, saya
kira mbak Umi. Ada apa sensei?”, tanyaku sedikit grogi karena sudah lama tidak
berbicara dengan ketua jurusanku itu.
“Ini, Dita san dapat beasiswa
tapi belum diambil ya?
“Hah?, beasiswa apa sensei?”
Lalu beliau menjawab singkat dan
meminta saya untuk segera datang ke kantor pusat.
“Tapi sensei, Saya kan sudah
lulus?Apa masih bisa diurus?”
“Datang saja ke kantor pusat,
nanti ditanyakan di sana”
“Iya sensei, terima kasih
banyak!”
Aku masih tidak percaya dengan
telepon yang baru saja ku terima tadi. “Ini keajaiban Rid, benar-benar
keajaiban!”, aku menggebu-gebu berkata pada Rida. “Iya dit, segera diurus aja!
Ayo aku anterin ke kantor pusat!”
Kami pun segera melangkah
bersama ke tempat yang kami hendak tuju itu dan tak henti-hentinya mengucap
syukur. Aku lalu teringat sesuatu bahwa beberapa bulan lalu, saat aku
mengerjakan skripsi, aku pernah membaca pengumuman di website akademik kampusku
bahwa aku mendapat beasiswa. Tapi karena kesibukan skripsi, aku benar-benar
melupakan itu tanpa ku sengaja. Tapi, hari ini, Allah mengingatkanku pada saat
yang sangat tepat. “Subhanallah, rencana Allah indah sekali ya Rid?”. “Iya,
dit!”. Kami tersenyum lebar.
Di kantor pusat, kujumpai namaku
ada di daftar penerima beasiswa itu. Lalu ku tengok nominal yang tertera di
sana. Alhamdulillah cukup untuk ongkos ke Sumatra Utara, lebih bahkan, hehe. Aku langsung mengambil HPku,
ku ketik sms ”InsyaAllah jadinya aku ikut”. Ku kirim ke nomor mbak Niniek,
salah seorang teman di BFM. Alhamdulillahhirabbil ‘alamin. Ya Allah, ini sungguh
keajaiban-MU!
Sesuai rencana, kami, tim BFM
Asahan, Sumatra Utara berangkat dari Jogja hari Rabu sore tanggal 25 Januari.
Ini adalah pejalanan BFM paling heboh sekaligus paling lama. 14 orang jumlah
tim kami; Aku, Niniek, Tya, Russel, Arni, Bulan, Ve, Bagus, Ivan, Sogi, Halim,
Sholeh, Lambang dan Faqquh. Semua berangkat dengan penuh semangat.
Untuk menghemat beaya,
perjalanan Jogja-Jakarta kami tempuh dengan kereta api kelas ekonomi. Cukup
dengan Rp 35.000 kami sudah bisa sampai di Jakarta. Di kota itu, kami menginap
semalam di rumah Faqquh.
Penerbangan kami ke Medan dibagi
menjadi 2 kloter. Maklumlah, kami memakai tiket yang sedikit murah sehingga
harus rela mendapat jadwal penerbangan paling pagi dan paling malam. 7 orang
berangkat jumat pagi jam 08.00 dan 7 orang lagi jam 06.00 petang masih dalam
hari yang sama. Di hari itu, kami menginap di Medan, rumah Uwak mbak Russel.
Sabtu pagi kami bertolak menuju
Pematang Siantar, rumah mbak Tya. Sebagian naik mobil pinjaman dari Uwak mbak
Rusel dan sebagian naik bus. 3 jam perjalanan yang kami butuhkan dari Medan ke Siantar. Bagiku, ini adalah
perjalanan yang sangat menarik karena untuk pertama kalinya aku melewati
kota-kota yang biasanya hanya aku dengar dari buku-buku, Koran dan TV. Medan,
Tebing Tinggi, Deli serdang, Serdang Bedagai, Pematang Siantar, Simalungun dll.
Jajaran perkebunan karet dan kelapa sawit di kanan dan kiri jalan menghiasi
hampir seluruh perjalanan kami. Pemandangan yang belum pernah aku temukan di
Jawa.
Setelah menginap semalam di
Siantar, kami menuju Kisaran, ibukota kabupaten Asahan. Di kota itu kami
disambut hangat oleh Tante dari mbak Rusel. Semalam pula kami menginap di sana. Esok harinya, baru kami datang ke Dinas Dikpora Kabupaten Asahan untuk memberitahuakan tentang kegiatan kami.
Setelah menginap di beberapa
loksi yang berbeda itu, akhirnya Senin sore, 30 Januari kami tiba di sekolah
kami, SD Inpres 017725 Buntu Pane, Dusun Sido Rukun, Desa Sionggang, Kecamatan
Buntu Pane, Asahan, Sumatra Utara. Sejenak kuedarkan pandangan ke sekeliling
sekolah itu sambil berucap syukur, “Alhamdulillah kami akhirnya tiba di sini”.
Damai sekali rasanya setelah tiba di sekolah yang kokoh berdiri di
tengah-tengah perkebunan kelapa sawit itu.
Karena sudah sore, sekolah yang
hanya memiliki 4 ruangan itu tampak sepi. Tapi di lapangan sepak bola yang
tebentang di depannya, ramai dengan sekelompok pemuda yang tengah asyik bermain
bola.
Secara bangunan fisik, sekolah
ini bisa dikatakan sudah cukup bagus. Keempat ruangannya sudah berupa bangunan
permanen. 3 ruang untuk ruang kelas dan
1 untuk ruang guru. Masing-masing ruang kelas disekat menjadi 2 bagian karena
dipakai sekaligus untuk dua kelas. Pembagiannya, kelas satu seruangan dengan
kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4 dan kelas 5 dengan kelas 6.
Saat pelajaran berlangsung,
kelas yang berada pada ruangan yang sama tentu saling terganggu walaupun jumlah
murid di masing-masing kelas tidaklah banyak. Namun, karena sudah menjadi
kebiasaan, para guru dan murid sudah tidak terlalu menganggap ini sebagai
masalah yang besar. Mereka masih sangat bersyukur karena gedung yang sekarang
mereka tempati itu adalah gedung baru. Ini jauh lebih baik dari gedung
sebelumnya.

Selama seminggu di sana, kami
menempati rumah dinas guru yang sudah beberapa tahun tidak ditempati. Karena
sudah lama tidak ditempati, di rumah ini tidak ada penerangan satu pun. Jadilah
malam pertama kami di sana harus diisi dengan kegiatan memasang lampu dan
bersih-bersih. Pak Supratman, kepala sekolah baik hati yang bertempat tinggal
tidak jauh dari sana turut membantu kami malam itu. Istri beliau juga tak kalah
baik. Beliau meminjamkan dua buah tikar besar sebagai alas kami tidur dan
perlengkapan untuk memasak, dari kompor, panci, penggorengan, baskom hingga
alat-alat makan seperti sendok, piring dan gelas. Kami benar-benar merasa
terbantu.

Di bagian atas tembok yang tidak
terjamah oleh gambar cat minyak itu kami tempelkan hasil karya anak-anak selama
kami mengajar di sana; berbagai bentuk origami, papper quiling, kerajinan
flannel, kerajinan dari stick dan gambar anak-anak di atas kertas. Tak
ketinggalan 2 buah peta yaitu peta Indonesia dan peta dunia turut menambah
semarak ruangan perpustakaan kami itu. inilah persembahan kami BOOK FOR
MOUNTAIN; sebuah perpustakaan mini untuk SD Inpres 017725 Buntu Pane, sekolah
yang sejak tahun 1983 berdiri belum pernah memiliki perpustakaan.


Sejak awal tiba di sana, kami
sudah mendengar cerita tentang Isma yang mempunyai masalah krisis percaya diri
yang akut. Dari cerita-cerita itu kami tahu bahwa masalah ini adalah sebagai
akumulasi dari pandangan negative tentangnya dari orang-orang di sekitarnya
termasuk teman-teman, guru dan orang tuanya. Di sekolah, gurunya melabelinya
sebagai anak bodoh sehingga sangat sering mendapat tamparan dari gurunya. Di
rumah ,orang tuanya menganggapnya sebagai anak yang suka ngambek dan agak lemah
menerima pelajaran. Pandangan-pandangan itulah yang membuatnya mengalami krisis
percaya diri, mudah minder dan kurang mau bergaul.
Di sore hari setelah outbond,
kami bertiga, aku, Mbak Rusel dan Mbak Ve mengungjungi Isma di rumahnya untuk
memastikan apakah ia masih ngambek atau tidak. Saat kami tiba di rumahnya
beberapa anak sedang berkumpul dan bermain bersama-sama. Dan kami temukan Isma
ada diantara mereka, terlihat cerah wajahnya. Ia beserta teman-temannya itu
tampak bersemangat menyambut kami. Aku dekati dia dan melontarkan beberapa
pertanyaan untuk memastikan bahwa ia sudah baik-baik saja. Setelah sedikit
memberinya semangat dan yakin bahwa dia sudah kembali tersenyum, kami sangat
lega.

Sabtu, 20 Juli 2013
Dia, yang istimewa
"Naga-naga Betara
Dari desa Ngadirejo
Pimpinan Bapak Ghofur
Siap Menerjang"
Dari desa Ngadirejo
Pimpinan Bapak Ghofur
Siap Menerjang"
Itulah petikan lagu kebanggaan anak-anak SDN Ngadirejo, sekolahnya anak-anak suku Tengger di lereng gunung Bromo. Aku pertama kali mendengar lagu itu pada Maret 2011, saat bersama teman2 BFM membuat project di sekolah itu.
Lagu itu benar-benar racun, pikirku saat itu. Siapapun yang pertama kali mendengar lagu itu disenandungkan, pasti akan langsung refleks menirukan. Tidak terkecuali aku. Seketika itu aku langsung menirukan lagu yang disenandungkan anak-anak dengan iringan alat musik perkusi dari barang-barang bekas.
"Bagus sekali lagunya. Siapa yang menciptakan?", tanyaku pada anak-anak. Mereka pun menjawab, "Akas!" sambil menunjuk anak yang dimaksud. Pandanganku pun langsung mengarah ke anak yang dimaksud. Diapun tersenyum ke arahku.
Dia istimewa! itulah kata-kata yang terus terngiang di benakku saat itu.
Keesokan harinya, kami kembali ke pondok kecil tempat alat-alat perkusi disimpan. Sore itu kami ingin kembali menganyi sambil memainkan barang-barang bekas yang kami sebut perkusi itu. Anak-anak sudah berkumpul dan siap dengan alat masing-masing. Tiba-tiba seorang anak berseru, "Tapi pengrawitnya belum datang". Pengrawit adalah istilah untuk pemimpin pertunjukan gamelan jawa. "Siapa pengrawitnya?'", tanyaku.
"Akas!!!!"
"Akas!!!!"
Untungnya, yang dinanti segera datang tak beberapa lama kemudian. "Konser" pun dimulai. Kami semua hanyut dalam keceriaan sore itu.
Ya, hari itu otakku kembali dipenuhi dengan kata-kata, "Dia istimewa. Akas sungguh istimewa".
Semakin lama mengenalnya, aku menjadi tahu cukup banyak tentang dia,
terutama tentang keluarganya. Dia punya keterbatasan. Tapi sungguh, keterbatasan sama sekali tidak boleh membuatnya berhenti maju.
terutama tentang keluarganya. Dia punya keterbatasan. Tapi sungguh, keterbatasan sama sekali tidak boleh membuatnya berhenti maju.
Ayo Akas, kamu harus maju terus! Kamu pasti bisa!
Senin, 22 Oktober 2012
Awal dari Perjalanan Panjang; Sebuah Refleksi
Bulan Oktober 2010,
Jogja kembali menangis. Sepertinya belum lama dia berduka saat gempa besar
mengguncangnya, tahun 2006 lalu. Ya,
kali ini giliran Merapi yang membuat Jogja kembali menangis. Tidak kurang dari
3 bulan Merapi terus-menerus menyemburkan lava pijar. Ini membuat puluhan ribu
orang mengungsi, ribuan orang kehilangan rumah dan mata pencaharian. Juga, puluhan orang meninggal dunia saat terjadi
puncak letusan.
Bagiku, ini adalah bencana alam terdahsyat yang pernah ku
alami. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat orang berbondong-bondong
mengungsi dalam keadaan panik, orang-orang tidur di tenda-tenda pengungsian
berlindung dari dinginnya malam dan hujan debu abu vulkanik yang terus menerus
turun.
Akibat peristiwa itu juga, aktivitas ekonomi, perkantoran dan transportasi umum di sekitar Merapi sempat lumpuh selama berminggu-minggu. Bahkan, kampusku yang berjarak lebih kurang 20 km dari puncak Merapi diliburkan selama 2 Minggu karena terkena abu vulkanik yang cukup tebal dan dijadikan lokasi pengungsian. Tidak sedikit mahasiswa yang kemudian menjadi relawan untuk menolong para pengungsi baik yang berada di kampusku maupun lokasi-lokasi pengungsian lain.
Bersyukur saat itu aku mempunyai teman-teman yang sigap merespon peristiwa ini dengan sangat positif. Tanpa banyak bicara, kami segera berkumpul memikirkan langkah apa yang bisa kami lakukan sesegera mungkin. Maka, kami pun memutuskan untuk membuat perpustakaan keliling bagi anak-anak yang berada di pengungsian. Kenapa perpustakaan keliling? Pertama, itu yang paling memungkinkan karena mengingat kami semua mempunyai buku-buku bacaan. Kedua, anak-anak di pengungsian tidak bisa lagi masuk sekolah padahal mereka pun masih tetap butuh asupan pengetahuan pada saat di lokasi pengungsian. Ketiga, untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang sudah banyak dipikirkan oleh relawan-relawan lain. Maka, akhirnya perpustakaan keliling menjadi pilihan. Hanya bermodalkan buku-buku bacaan yang kami punya, kami membuka perpustakaan di tempat-tempat pengungsian di sekitar Kabupaten Sleman dan Magelang.
Awalnya hanya perpustakaan keliling, kemudian ditambah kegiatan trauma healing berupa permainan-permainan edukatif bagi anak-anak. Setelah kegiatan ini berjalan beberapa hari, kami menyadari bahwa situasi Merapi belum bisa diprediksi kapan akan membaik. Ini berarti belum bisa dipastikan kapan anak-anak akan bisa kembali ke rumah dan memulai lagi aktivitas belajar di sekolah. Oleh sebab itu, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran tambahan bagi mereka di lokasi pengungsian. Maka, sejak itu kami menamai kegiatan kami menjadi “Sekolah Darurat Merapi”. Semua mengalir begitu saja. Semakin hari, semakin banyak ide-ide kreatif muncul dari teman-teman untuk membuat kegiatan ini semakin menarik dan tentu saja bermanfaat bagi anak-anak di pengungsian. Juga, semakin banyak teman-teman yang bergabung bersama kami menjadi relawan yang berkeliling ke pusat-pusat pengungsian.
“Selalu saja jalan untuk setiap niat baik”. Itu hikmah yang kami peroleh. Selama kegiatan ini kami jalankan, selalu saja ada tangan-tangan tak terlihat yang membuat kegiatan kami tetap berjalan. Satu hal yang tak bisa aku lupakan adalah saat kebun binatang Germbiraloka Jogja memberi kesempatan kepada anak-anak pengungsi untuk berwisata ke sana dengan cuma-cuma. Kami segera menyambut tawaran itu. Maka, kami merencanakan perjalanan wisata bagi anak-anak di pengungsian desa Borobudur, Magelang. Seketika itu pula, ada relawan yang menyumbang dana untuk menyewa bus yang akan kami gunakan dari Magelang sampai Gembiraloka. Selain itu, ada juga relawan yang mau menyediakan konsumsi bagi anak-anak selama perjalanan wisata itu. AlhamdulillahJ.
Dan hari yang direncanakan itu pun tiba. Anak-anak berangkat dengan penuh semangat dan antusiasme. Sepanjang perjalanan kami bernyayi dan bertepuk-tepuk semangat. Sesampainya di lokasi yang kami tuju, anak-anak bersemangat melihat-lihat hewan-hewan koleksi Gembiraloka. Sesekali mereka bertanya, tertawa, berlari-lari saat melihat ada hewan yang menarik perhatian mereka. Sungguh, melihat tawa mereka adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi kami.
Bagiku, ini adalah pengalaman yang luar biasa. Sebelumnya, bisa dikatakan aku sangat jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan semacam ini. Melalui peristiwa Merapi ini sepertinya Allah memberiku kesempatan besar untuk belajar berbagi, belajar berempati dalam pengertian yang lebih jelas. Ya, aku sangat bersyukur.
Aku juga sangat bersyukur karena Allah mempertemukanku dengan teman-teman yang hebat. Mereka tidak banyak cakap, tapi banyak berbuat. Mereka konkrit. Setiap ide yang muncul selalu diwujudkan. Ide-ide sederhana yang kemudian diwujudkan dengan tindakan nyata.
Saat ini tahun 2012. Tak terasa sudah 2 tahun peristiwa Merapi berlalu. Sungguh, aku tidak menyangka kebersamaan kami sejak 2 tahun lalu itu melahirkan sebuah komunitas bernama BOOK FOR MOUNTAIN (BFM) yang hingga detik ini masih aktif berkegiatan. Bahkan, semangat kami tak secenti pun berkurang, justru semakin bertambah dengan kehadiran teman-teman baru yang dengan ikhlas bergabung bersama kami di BFM.
Setiap orang mempunyai titik balik, titik yang membuatnya meloncat lebih tinggi, berlari lebih jauh. Dan bagiku, titik balikku adalah pertemuanku dengan teman-teman BFM. Aku merasa hidupku menjadi lebih berarti, bermakna dan berwarna. Bersama BFM, aku berkesempatan belajar menyelami tempat-tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru dan memperoleh pengalaman-pengalaman yang juga baru. Inilah awal perjalananku, perjalanan yang insyaAllah akan membawaku menjadi seseorang yang lebih baik.
Terima kasih teman-teman BFM <3
Kamis, 14 Juni 2012
Sebesi, Lampung Selatan (Catatan bersama BFM, 2011)
Sabtu, 11 Juli kami berdelapan
bertolak dari Jogja, kota di mana selama ini kami menimba ilmu. Lima buah
kardus berisi buku-buku cerita, eksiklopedi, dan buku-buku pengetahuan menjadi
barang paling berharga kami saat itu. Kenapa? Karena kelima kardus berisi buku
itulah yang akan kami hadiahkan untuk anak-anak pulau Sebesi. Tak ketinggalan, kami juga membawa beberapa
alat peraga pembelajaran sebagai bahan seminggu mengajar di pulau yang tak jauh
dari gunung Anak Krakatau itu.
Kami tidak menumpang bus yang lansung menuju Lampung karena itu cukup mahal bagi kami. Jadi, kami mengkonsep perjalanan kami sehemat mungkin. Sore itu kami menumpang kereta ekonomi Progo dari stasiun Lempuyangan sampai stasiun Senen, Jakarta. Kereta tiba di Jakarta tepat waktu, jam 03.30 dini hari. Setelah beristirahat sejenak di stasiun Senen, kami melanjutkan perjalanan ke stasiun Tanah Abang. Nah, dari sana kami kemudian menumpang kereta lagi menuju pelabuhan Merak, Banten.
Saat membeli tiket kereta yang menuju Merak kami cukup kaget melihat harganya. Di lembaran tiket bertuliskan “Kereta Patas, Jakarta-Merak”. Rp.5000. Wow, murah sekali! Pikirku seketika. “Hmmm… keretenya seperti apa ya? Kenapa bisa semurah itu? Bukankah jarak Jakarta-Merak itu cukup jauh?” Tanyaku dalam hati. Kucoba menapis pertanyaan-pertanyaan itu dan tetap berharap kereta yang akan kami tumpangi itu sedikit lebih nyaman dari Progo atau setidaknya sama. Aku sangat berharap!
Jam 7.30. Kami sudah bersiap di dekat jalur rel kereta yang akan mengantar kami kami ke Merak. Beberapa kereta yang penuh penumpang melintas di depan kami. “Jangan-jangan kereta kami nanti juga seperti itu?”, harapanku mulai menciut. Maka, kereta kami pun akhirnya datang. Melihatnya, aku hanya tersenyum getir. Kami cepat-cepat masuk ke dalam kereta karena kereta tidak berhenti lama di sana. “Tapi, bagaimana bisa masuk? Itu sudah sangat penuh! Sepertinya tak mungkin bisa ditambah penumpang lagi! Ah, masuk sajalah! Demi anak-anak Sebesi! “Ibu Guru Dita harus semangat!”, kataku pada diri sendiri. Kami pun akhirnya melangkahkan kaki ke dalam gerbong yang sarat muatan itu.
Nyaris tidak ada tempat untuk kami di dalam kereta yang pintunya terus terbuka walaupun kereta sedang berjalan itu. Ok! Memang seperti ini, harus tetap dijalani dengan senyum dan semangat. Kami mengumpulkan dan menyusun barang-barang kami di tengah-tengah gerbong yang berisi ratusan orang itu. Kami berdiri sambil berpegangan pada barang-barang bawaan kami itu karena tak ada lagi tempat itu berpegangan.
Hampir semua penumpang gerbong itu tidak mendapat tempat duduk alias berdiri karena tempat duduk yang hanya disediakan di kedua sisi samping gerbong sudah terisi penuh. Mulai dari bayi hingga nenek-nenek ada di dalam gerbong itu. Belum lagi puluhan pedagang asongan dan pengamen yang ikut berdesak-desakan di sana. Benar-benar penuh sesak, panas dan semrawut. Keadaan semakin parah ketika kereta berhenti di stasiun. Betapa tidak? Para penupang yang ingin naik dan turun kereta saling berebut untuk mendahului.
Suasana kereta yang seperti itu cukup membuat kami stress dan semakin lelah. Akan tetapi, buat apa larut dalam suasana? Kami coba tetap berkelakar untuk meringankan suasana. Tak terasa, hampir 3 jam kami berdiri di dalam kereta itu. Satu jam sebelum kami tiba di Merak, akhirnya kami mendapat tempat duduk karena banyak penumpang yang sudah turun di stasiun-stasiun sebelumnya. Mendapat tempat duduk setelah 3 jam berdiri rasanya seperti mendapatkan kado teristimewa.
Kira-kira jam 12.00 siang lebih beberapa menit kami tiba di stasiun terakhir, stasiun Merak. Di sanalah tempat yang kami tuju. Stasiun itu tidak jauh dari dari pelabuhan Merak, tempat kami akan menumpang Verry menuju daratan Sumatra. Setelah istirahat sejenak, makan siang dan sholat kami langsung lanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, untungnya kami mendapat kapal yang sangat nyaman sehingga kami bisa meregangkan otot-otot kami beberapa saat. Saat itu aku benar-benar lelah. Namun, aku tetap bersemangat saat melihat raut wajah semangat yang terpancar dari teman-teman seperjuangnku. Harus tetap bersemangat! Sekali lagi, demi anak-anak Sebesi!
Perjalanan belum berhenti di pelabuhan Bakauheni, Lampung saat kami tiba di sana menjelang maghrib. Malam itu kami tidak bisa langsung menuju pulau Sebesi karena kapal motor dari dermaga Canti yang menuju ke pulau itu hanya berangkat jam 01.00 siang. Itupun hanya ada 3 atau 4 kapal yang beroperasi setiap harinya. Jadi, malam itu kami menginap di rumah salah seorang teman di Tanjung Heran, Lampung Selatan. Esok harinya baru kita bisa bertolak ke Sebesi.
Perjalanan dari dermaga Canti hingga pulau Sebesi ternyata cukup jauh. Dengan kapal motor, kami menempuh perjalanan itu selama kurang lebih 2 jam. Untungnya waktu itu ombak tidak terlalu besar sehingga kapal yang kami tumpangi melaju lancar perlahan-lahan meninggalkan tanah Sumatra. Langit yang biru sempurna, gugusan pulau-pulau kecil yang cantik dan riak-riak gelombang laut yang bergerak senada menciptakan lukisan alam yang maha indah. Subhanallah, begitu eloknya alam negeriku, Indonesia.
Menjelang sore, kami tiba di pulau tujuan kami. Rasa haru dan bahagia menyelimuti seluruh ruang hatiku saat pertama kali kuinjakkan kakiku di tanah Sebesi. Pulau yang tidak terlalu besar ini sebenarnya adalah gunung yang berada di tengah laut, mirip seperti Krakatau. Perbedaannnya, gunung sebesi tidak terlalu tinggi dan bukan merupakan gunung berapi yang aktif. Dari kejauhan, gunung Sebesi hanya mirip sebuah bukit.
Pulau penghasil kelapa, pisang dan coklat ini dihuni oleh sekitar 2400 warga yang tersebar dalam beberapa dusun namun masih dalam wilayah satu desa, yaitu desa Tejang kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan. Hanya ada masing-masing 1 SD, SMP dan SMA di sana. Di SD itulah kami membuat sebuah perpustakaan dan mengajar selama seminggu. Buku dan semua amunisi untuk seminggu kegiatan kami di sana sudah kami persiapkan dengan rapih sejak dari Jogja.
Secara fisik, SDN Tejang sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Beberapa ruangan kelas bercat merah putih berederet-deret rapih sehingga dari kejauhanpun semua orang akan tahu bahwa itu adalah gedung sekolah. Di depannya terdapat halaman yang cukup luas tempat anak-anak bermain saat jam istirahat sekolah. Tidak jauh dari sana terdapat sebuah lapangan sepak bola yang menyatu dengan hamparan lahan berlumpur tempat kawanan kerbau berkubang. Jika berdiri di depan sekolah menghadap ke arah barat maka akan terlihat gunung Sebesi yang eksotik. Sedangkan jika menghadap ke timur maka akan terlihat puluhan kerbau yang tengah asyik bermandi lumpur dan kambing yang merumput dengan nikmatnya. Ini yang membuat suasana sekolah itu sangat menarik bagiku.
Selasa, 12 Juli adalah hari pertama kami mulai mengajar di sekolah anak-anak pulau itu. Hari itu aku mendapat jadwal mengajar di kelas II. Karena sekolah ini kekurangan ruang kelas, maka kelas II harus menumpang di gedung madrasah yang letaknya terpisah dari komplek SDN Tejang. Setelah diberi petunjuk oleh seorang guru, aku bergegas menuju kelas yang kucari.
Saat kususuri selasar gedung madrasah itu samar-samar terdengar keriuhan suara anak-anak. Semakin dekat, semakin jelas. Maka, tibalah aku di kelas yang berisi tidak kurang dari 50 siswa itu. Senang, bangga dan bercampur sedikit gugup kurasakan saat itu. Bagaimana caranya aku mengajar anak sebanyak ini? Ini adalah pertama kali aku mengajar di kelas yang sebesar ini. Tapi, kutetap mencoba memberanikan diri.
Pertama-tama seperti biasa aku memperkenalkan diriku secara lisan. Lalu kuminta seorang anak untuk menuliskan namaku di papan tulis. Setelah anak itu menuliskannya dengan tepat, kuminta semua anak serentak membaca tulisan yang baru saja ditulis oleh salah satu anak itu. Dari sana aku tahu bahwa sebagian besar penghuni kelas II sudah bisa membaca walaupun masih ada beberapa anak yang terbata-bata. Syukurlah.
Dalam rencana pembelajaranku, hari itu di kelas II aku akan mendongeng, menyanyi bersama dan memberi motivasi kepada anak-anak agar mencintai buku. Nah, sebagai awalan, aku ajarkan beberapa ice breaking kepada mereka. Maka, suasana kelas pun menjadi cair sehingga mereka menjadi lebih siap belajar bersamaku.
Mula-mula aku meceritakan kisah tentang seorang anak perempuan yang bercita-cita berkeliling dunia. Dengan gaya berceritaku yang penuh ekspresif dan sedikit berlebihan alhamdulillah hampir semua anak tersihir oleh aksiku. Senang sekali ketika melihat satu persatu sorot mata mereka yang mereka tujukan kepadaku tanda bahwa mereka memperhatikan ceritaku. Beberapa kali decak tawa mereka bergelora saat ada beberapa bagian dari ceritaku yang mungkin mereka anggap lucu. Atau apakah sebenarnya mungkin mereka hanya merasa aneh melihat ekspresiku yang lebay saat bercerita? Wallahu ‘alam. Sampai di sini kelas cukup aman dan terkendali.
Cerita selesai, maka berlanjut ke motivasi agar anak-anak mau membaca dan mencintai buku. Motivasi juga kusampaikan dengan gaya yang atraktif. Awalnya perhatian mereka masih terlihat penuh. Namun, semakin lama mulai tampaklah beberapa anak laki-laki yang ramai sendiri dan nyletuk sana-sini. Kelas menjadi kurang kondusif. Aku sedikit merasa kesulitan mengusai lebih dari 50 kepala itu. Hmm… kelihatannya mereka sudah tidak fokus.
Waktu sudah hampir berjalan satu jam saat pertama kali aku masuk ruang kelas itu. Keringatku sudah mulai bercucuran karena sejak pertama kali masuk aku harus berbicara dengan volume agak keras. Aku juga berpindah-pindah ke setiap penjuru kelas karena seperti itulah gaya mengajarku, ingin selalu bergerak.
Giliranku mengajar di kelas II saat itu adalah adalah 90 menit. 60 menit sudah berjalan. Maka, 30 menit yang tersisa kugunakan untuk mengajarkan sebuah lagu berjudul “Jangan Takut Gelap “ yang dahulu pernah dipopulerkan oleh Tasya dan Duta Sheila on Seven. Syukurlah, anak-anak kembali fokus. Mereka terlihat senang menyanyikan lagu itu.
Saat kami tengah asyik bernyanyi, ada sebuah kejadian yang cukup membuat heboh seluruh isi kelas. Tiba-tiba masuklah ke kelas kami seekor ular berukuran kira-kira sebesar ibu jari orang dewasa dan sepanjang kurang lebih 30 cm. Aku kaget bukan main. Aku tidak tahu apa nama ular itu. Aku menjadi sangat panik karena ular adalah salah satu hewan yang aku takuti. Namun, apa yang dilakukan anak-anak? Mereka justru mengejar-ngejar ular yang melata dengan sangat cepat di lantai kelas kami itu. “Awas, awas nak!!! Hati-hati!! “, aku hanya bisa berseru-seru demikian. Bukan menghindar, mereka justru semakin bersemangat mengejar ke mana ular itu berlari. Hampir semua isi kelas, terutama anak laki-laki berjamaah memburu ular itu. Tidak sampai 3 menit akhirnya beberapa anak bisa menginjak kepala ular itu dengan sepatu mereka. Akhirnya, mati sudah ular naas itu. Hari pertama kelas kami ditutup oleh tragedi pembunuhan seekor ular!! Aku keluar kelas dengan perasaan bercampur-campur.
Selama seminggu aku mengajar di sana selalu saja ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan tiap harinya. Hari kedua, aku masuk ke kelas satu, kelas yang penghuninya sedikit lebih banyak dari kelas II. Kalau di kelas II satu bangku rata-rata dipakai oleh 3 anak, sementara di kelas I rata-rata dipakai oleh 4 anak. Kelas itu benar-benar terasa sangat penuh. Walaupun begitu, anak-anak tampak begitu berseri-seri belajar di dalam kelas. Senyum mereka itulah yang membuatku semakin bersemangat.
Hari itu, satu kejutan lagi datang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba menangis. Aku cepat-cepat mendekatinya. Kutanya kenapa, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Lalu, teman sebangkunya berkata bahwa tadi si anak yang menangis itu ditunggu oleh ibunya. Akan tetapi, sekarang ibunya sudah pulang. Kucoba berbagai cara untuk mendiamkannya. Syukurlah dia mau berhenti menangis. Maka, pelajaran kami lanjutkan. Berapa waktu berlalu, dia menangis lagi dengan alasan yang sama. Kudekati lalu diam, tapi tak selang lama menangis lagi. Begitu seterusnya hingga lonceng diperdengarkan tanda kelas I sudah selesai. Hari itu krestifitas dan kesabaranku sebagai guru benar-benar tengah diuji. Dan aku merasa aku belum lulus dari ujian itu. Aku masih harus banyak belajar.
Kegiatam kami di pulau itu tidak hanya di sekolah. Sepulang sekolah, siang, sore bahkan hingga malam hari anak-anak datang ke rumah warga tempat dimana kami tinggal sementara. Di sana kami mengajak anak-anak berkenalan dan bersahabat dengan buku. Kami membaca, menyanyi, mendongeng, melihat video-video edukatif dan bermain bersama. Rasa haru dan bahagia memenuhi hatiku saat melihat mereka mebolak-balik lembar demi lembar buku dengan penuh antusias, bernyanyi dengan gembira dan sesekali melontarkan pertanyaan saat ada sesuatu yang kurang mereka pahami.
Mereka pun ternnyata juga ingin berbagi ilmu dengan kami. Hampir setiap sore mereka mengajak kami menyusuri sisi demi sisi pulau itu. Dari sana kami belajar bagaimana berkenalan dan bersahabat dengan alam. Tanpa kami sadari, seminggu ini telah terjadi simbiosis mutualisme yang mempesona diantara kami, avoturir BOOK FOR MOUNTAIN dan anak-anak petualangan dari Sebesi. Kami saling belajar tentang banyak hal.
Seminggu keberadaan kami bersama anak-anak petualang itu terasa begitu singkat. Sampailah kami di penghujung waktu. Berat rasanya meninggalkan anak-anak yang penuh cita-cita itu. Kami hanya bisa berdoa semoga Allah SWT mengabulkan setiap mimpi mereka.
“Berpetuanglah ke seluru penjuru dunia ini, Nak! Bumi Allah yang luas ini menunggu untuk kalian jelajahi”. Itu sedikit pesan yang aku sampaikan kepada mereka.
Kami tidak menumpang bus yang lansung menuju Lampung karena itu cukup mahal bagi kami. Jadi, kami mengkonsep perjalanan kami sehemat mungkin. Sore itu kami menumpang kereta ekonomi Progo dari stasiun Lempuyangan sampai stasiun Senen, Jakarta. Kereta tiba di Jakarta tepat waktu, jam 03.30 dini hari. Setelah beristirahat sejenak di stasiun Senen, kami melanjutkan perjalanan ke stasiun Tanah Abang. Nah, dari sana kami kemudian menumpang kereta lagi menuju pelabuhan Merak, Banten.
Saat membeli tiket kereta yang menuju Merak kami cukup kaget melihat harganya. Di lembaran tiket bertuliskan “Kereta Patas, Jakarta-Merak”. Rp.5000. Wow, murah sekali! Pikirku seketika. “Hmmm… keretenya seperti apa ya? Kenapa bisa semurah itu? Bukankah jarak Jakarta-Merak itu cukup jauh?” Tanyaku dalam hati. Kucoba menapis pertanyaan-pertanyaan itu dan tetap berharap kereta yang akan kami tumpangi itu sedikit lebih nyaman dari Progo atau setidaknya sama. Aku sangat berharap!
Jam 7.30. Kami sudah bersiap di dekat jalur rel kereta yang akan mengantar kami kami ke Merak. Beberapa kereta yang penuh penumpang melintas di depan kami. “Jangan-jangan kereta kami nanti juga seperti itu?”, harapanku mulai menciut. Maka, kereta kami pun akhirnya datang. Melihatnya, aku hanya tersenyum getir. Kami cepat-cepat masuk ke dalam kereta karena kereta tidak berhenti lama di sana. “Tapi, bagaimana bisa masuk? Itu sudah sangat penuh! Sepertinya tak mungkin bisa ditambah penumpang lagi! Ah, masuk sajalah! Demi anak-anak Sebesi! “Ibu Guru Dita harus semangat!”, kataku pada diri sendiri. Kami pun akhirnya melangkahkan kaki ke dalam gerbong yang sarat muatan itu.
Nyaris tidak ada tempat untuk kami di dalam kereta yang pintunya terus terbuka walaupun kereta sedang berjalan itu. Ok! Memang seperti ini, harus tetap dijalani dengan senyum dan semangat. Kami mengumpulkan dan menyusun barang-barang kami di tengah-tengah gerbong yang berisi ratusan orang itu. Kami berdiri sambil berpegangan pada barang-barang bawaan kami itu karena tak ada lagi tempat itu berpegangan.
Hampir semua penumpang gerbong itu tidak mendapat tempat duduk alias berdiri karena tempat duduk yang hanya disediakan di kedua sisi samping gerbong sudah terisi penuh. Mulai dari bayi hingga nenek-nenek ada di dalam gerbong itu. Belum lagi puluhan pedagang asongan dan pengamen yang ikut berdesak-desakan di sana. Benar-benar penuh sesak, panas dan semrawut. Keadaan semakin parah ketika kereta berhenti di stasiun. Betapa tidak? Para penupang yang ingin naik dan turun kereta saling berebut untuk mendahului.
Suasana kereta yang seperti itu cukup membuat kami stress dan semakin lelah. Akan tetapi, buat apa larut dalam suasana? Kami coba tetap berkelakar untuk meringankan suasana. Tak terasa, hampir 3 jam kami berdiri di dalam kereta itu. Satu jam sebelum kami tiba di Merak, akhirnya kami mendapat tempat duduk karena banyak penumpang yang sudah turun di stasiun-stasiun sebelumnya. Mendapat tempat duduk setelah 3 jam berdiri rasanya seperti mendapatkan kado teristimewa.
Kira-kira jam 12.00 siang lebih beberapa menit kami tiba di stasiun terakhir, stasiun Merak. Di sanalah tempat yang kami tuju. Stasiun itu tidak jauh dari dari pelabuhan Merak, tempat kami akan menumpang Verry menuju daratan Sumatra. Setelah istirahat sejenak, makan siang dan sholat kami langsung lanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, untungnya kami mendapat kapal yang sangat nyaman sehingga kami bisa meregangkan otot-otot kami beberapa saat. Saat itu aku benar-benar lelah. Namun, aku tetap bersemangat saat melihat raut wajah semangat yang terpancar dari teman-teman seperjuangnku. Harus tetap bersemangat! Sekali lagi, demi anak-anak Sebesi!
Perjalanan belum berhenti di pelabuhan Bakauheni, Lampung saat kami tiba di sana menjelang maghrib. Malam itu kami tidak bisa langsung menuju pulau Sebesi karena kapal motor dari dermaga Canti yang menuju ke pulau itu hanya berangkat jam 01.00 siang. Itupun hanya ada 3 atau 4 kapal yang beroperasi setiap harinya. Jadi, malam itu kami menginap di rumah salah seorang teman di Tanjung Heran, Lampung Selatan. Esok harinya baru kita bisa bertolak ke Sebesi.
Perjalanan dari dermaga Canti hingga pulau Sebesi ternyata cukup jauh. Dengan kapal motor, kami menempuh perjalanan itu selama kurang lebih 2 jam. Untungnya waktu itu ombak tidak terlalu besar sehingga kapal yang kami tumpangi melaju lancar perlahan-lahan meninggalkan tanah Sumatra. Langit yang biru sempurna, gugusan pulau-pulau kecil yang cantik dan riak-riak gelombang laut yang bergerak senada menciptakan lukisan alam yang maha indah. Subhanallah, begitu eloknya alam negeriku, Indonesia.
Menjelang sore, kami tiba di pulau tujuan kami. Rasa haru dan bahagia menyelimuti seluruh ruang hatiku saat pertama kali kuinjakkan kakiku di tanah Sebesi. Pulau yang tidak terlalu besar ini sebenarnya adalah gunung yang berada di tengah laut, mirip seperti Krakatau. Perbedaannnya, gunung sebesi tidak terlalu tinggi dan bukan merupakan gunung berapi yang aktif. Dari kejauhan, gunung Sebesi hanya mirip sebuah bukit.
Pulau penghasil kelapa, pisang dan coklat ini dihuni oleh sekitar 2400 warga yang tersebar dalam beberapa dusun namun masih dalam wilayah satu desa, yaitu desa Tejang kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan. Hanya ada masing-masing 1 SD, SMP dan SMA di sana. Di SD itulah kami membuat sebuah perpustakaan dan mengajar selama seminggu. Buku dan semua amunisi untuk seminggu kegiatan kami di sana sudah kami persiapkan dengan rapih sejak dari Jogja.
Secara fisik, SDN Tejang sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Beberapa ruangan kelas bercat merah putih berederet-deret rapih sehingga dari kejauhanpun semua orang akan tahu bahwa itu adalah gedung sekolah. Di depannya terdapat halaman yang cukup luas tempat anak-anak bermain saat jam istirahat sekolah. Tidak jauh dari sana terdapat sebuah lapangan sepak bola yang menyatu dengan hamparan lahan berlumpur tempat kawanan kerbau berkubang. Jika berdiri di depan sekolah menghadap ke arah barat maka akan terlihat gunung Sebesi yang eksotik. Sedangkan jika menghadap ke timur maka akan terlihat puluhan kerbau yang tengah asyik bermandi lumpur dan kambing yang merumput dengan nikmatnya. Ini yang membuat suasana sekolah itu sangat menarik bagiku.
Selasa, 12 Juli adalah hari pertama kami mulai mengajar di sekolah anak-anak pulau itu. Hari itu aku mendapat jadwal mengajar di kelas II. Karena sekolah ini kekurangan ruang kelas, maka kelas II harus menumpang di gedung madrasah yang letaknya terpisah dari komplek SDN Tejang. Setelah diberi petunjuk oleh seorang guru, aku bergegas menuju kelas yang kucari.
Saat kususuri selasar gedung madrasah itu samar-samar terdengar keriuhan suara anak-anak. Semakin dekat, semakin jelas. Maka, tibalah aku di kelas yang berisi tidak kurang dari 50 siswa itu. Senang, bangga dan bercampur sedikit gugup kurasakan saat itu. Bagaimana caranya aku mengajar anak sebanyak ini? Ini adalah pertama kali aku mengajar di kelas yang sebesar ini. Tapi, kutetap mencoba memberanikan diri.
Pertama-tama seperti biasa aku memperkenalkan diriku secara lisan. Lalu kuminta seorang anak untuk menuliskan namaku di papan tulis. Setelah anak itu menuliskannya dengan tepat, kuminta semua anak serentak membaca tulisan yang baru saja ditulis oleh salah satu anak itu. Dari sana aku tahu bahwa sebagian besar penghuni kelas II sudah bisa membaca walaupun masih ada beberapa anak yang terbata-bata. Syukurlah.
Dalam rencana pembelajaranku, hari itu di kelas II aku akan mendongeng, menyanyi bersama dan memberi motivasi kepada anak-anak agar mencintai buku. Nah, sebagai awalan, aku ajarkan beberapa ice breaking kepada mereka. Maka, suasana kelas pun menjadi cair sehingga mereka menjadi lebih siap belajar bersamaku.
Mula-mula aku meceritakan kisah tentang seorang anak perempuan yang bercita-cita berkeliling dunia. Dengan gaya berceritaku yang penuh ekspresif dan sedikit berlebihan alhamdulillah hampir semua anak tersihir oleh aksiku. Senang sekali ketika melihat satu persatu sorot mata mereka yang mereka tujukan kepadaku tanda bahwa mereka memperhatikan ceritaku. Beberapa kali decak tawa mereka bergelora saat ada beberapa bagian dari ceritaku yang mungkin mereka anggap lucu. Atau apakah sebenarnya mungkin mereka hanya merasa aneh melihat ekspresiku yang lebay saat bercerita? Wallahu ‘alam. Sampai di sini kelas cukup aman dan terkendali.
Cerita selesai, maka berlanjut ke motivasi agar anak-anak mau membaca dan mencintai buku. Motivasi juga kusampaikan dengan gaya yang atraktif. Awalnya perhatian mereka masih terlihat penuh. Namun, semakin lama mulai tampaklah beberapa anak laki-laki yang ramai sendiri dan nyletuk sana-sini. Kelas menjadi kurang kondusif. Aku sedikit merasa kesulitan mengusai lebih dari 50 kepala itu. Hmm… kelihatannya mereka sudah tidak fokus.
Waktu sudah hampir berjalan satu jam saat pertama kali aku masuk ruang kelas itu. Keringatku sudah mulai bercucuran karena sejak pertama kali masuk aku harus berbicara dengan volume agak keras. Aku juga berpindah-pindah ke setiap penjuru kelas karena seperti itulah gaya mengajarku, ingin selalu bergerak.
Giliranku mengajar di kelas II saat itu adalah adalah 90 menit. 60 menit sudah berjalan. Maka, 30 menit yang tersisa kugunakan untuk mengajarkan sebuah lagu berjudul “Jangan Takut Gelap “ yang dahulu pernah dipopulerkan oleh Tasya dan Duta Sheila on Seven. Syukurlah, anak-anak kembali fokus. Mereka terlihat senang menyanyikan lagu itu.
Saat kami tengah asyik bernyanyi, ada sebuah kejadian yang cukup membuat heboh seluruh isi kelas. Tiba-tiba masuklah ke kelas kami seekor ular berukuran kira-kira sebesar ibu jari orang dewasa dan sepanjang kurang lebih 30 cm. Aku kaget bukan main. Aku tidak tahu apa nama ular itu. Aku menjadi sangat panik karena ular adalah salah satu hewan yang aku takuti. Namun, apa yang dilakukan anak-anak? Mereka justru mengejar-ngejar ular yang melata dengan sangat cepat di lantai kelas kami itu. “Awas, awas nak!!! Hati-hati!! “, aku hanya bisa berseru-seru demikian. Bukan menghindar, mereka justru semakin bersemangat mengejar ke mana ular itu berlari. Hampir semua isi kelas, terutama anak laki-laki berjamaah memburu ular itu. Tidak sampai 3 menit akhirnya beberapa anak bisa menginjak kepala ular itu dengan sepatu mereka. Akhirnya, mati sudah ular naas itu. Hari pertama kelas kami ditutup oleh tragedi pembunuhan seekor ular!! Aku keluar kelas dengan perasaan bercampur-campur.
Selama seminggu aku mengajar di sana selalu saja ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan tiap harinya. Hari kedua, aku masuk ke kelas satu, kelas yang penghuninya sedikit lebih banyak dari kelas II. Kalau di kelas II satu bangku rata-rata dipakai oleh 3 anak, sementara di kelas I rata-rata dipakai oleh 4 anak. Kelas itu benar-benar terasa sangat penuh. Walaupun begitu, anak-anak tampak begitu berseri-seri belajar di dalam kelas. Senyum mereka itulah yang membuatku semakin bersemangat.
Hari itu, satu kejutan lagi datang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba menangis. Aku cepat-cepat mendekatinya. Kutanya kenapa, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Lalu, teman sebangkunya berkata bahwa tadi si anak yang menangis itu ditunggu oleh ibunya. Akan tetapi, sekarang ibunya sudah pulang. Kucoba berbagai cara untuk mendiamkannya. Syukurlah dia mau berhenti menangis. Maka, pelajaran kami lanjutkan. Berapa waktu berlalu, dia menangis lagi dengan alasan yang sama. Kudekati lalu diam, tapi tak selang lama menangis lagi. Begitu seterusnya hingga lonceng diperdengarkan tanda kelas I sudah selesai. Hari itu krestifitas dan kesabaranku sebagai guru benar-benar tengah diuji. Dan aku merasa aku belum lulus dari ujian itu. Aku masih harus banyak belajar.
Kegiatam kami di pulau itu tidak hanya di sekolah. Sepulang sekolah, siang, sore bahkan hingga malam hari anak-anak datang ke rumah warga tempat dimana kami tinggal sementara. Di sana kami mengajak anak-anak berkenalan dan bersahabat dengan buku. Kami membaca, menyanyi, mendongeng, melihat video-video edukatif dan bermain bersama. Rasa haru dan bahagia memenuhi hatiku saat melihat mereka mebolak-balik lembar demi lembar buku dengan penuh antusias, bernyanyi dengan gembira dan sesekali melontarkan pertanyaan saat ada sesuatu yang kurang mereka pahami.
Mereka pun ternnyata juga ingin berbagi ilmu dengan kami. Hampir setiap sore mereka mengajak kami menyusuri sisi demi sisi pulau itu. Dari sana kami belajar bagaimana berkenalan dan bersahabat dengan alam. Tanpa kami sadari, seminggu ini telah terjadi simbiosis mutualisme yang mempesona diantara kami, avoturir BOOK FOR MOUNTAIN dan anak-anak petualangan dari Sebesi. Kami saling belajar tentang banyak hal.
Seminggu keberadaan kami bersama anak-anak petualang itu terasa begitu singkat. Sampailah kami di penghujung waktu. Berat rasanya meninggalkan anak-anak yang penuh cita-cita itu. Kami hanya bisa berdoa semoga Allah SWT mengabulkan setiap mimpi mereka.
“Berpetuanglah ke seluru penjuru dunia ini, Nak! Bumi Allah yang luas ini menunggu untuk kalian jelajahi”. Itu sedikit pesan yang aku sampaikan kepada mereka.
Kamis, 30 Juni 2011
Catatan dari Ponre-Ponre
Rabu, 27 April 2011
Hari ini akan menjadi hari yang tak kan terlupakan bagiku. Kenapa? Karena ini adalah pertama kalinya kuinjakkan kakiku di bumi Celebes, buminya Pangeran Hasanuddin. Hari ini menjadi semakin istimewa karena aku datang ke sini tidak sendirian tetapi bersama teman-teman BOOK FOR MOUNTAIN, teman-teman yang mencintai buku dan ingin anak-anak di pelosok negeri ini juga mencintai buku. Tujuh orang berangkat dalam aksi kali ini, Aku sendiri, Lambang Wicaksono, Niniek Febriani, Russelin Edhyati, Khofif Duhari Rahmat, Arni Rohimatun dan Oki Pramudya. Rasanya tidak berlebihan jika aku menyebut mereka, teman-teman satu timku ini sebagai mahasiswa-mahasiswa yang istimewa.
Bertujuh kami berangkat dari Jogja dengan semangat yang sama, semangat untuk mengajak anak-anak di pedalaman Bone tersenyum bersama. 120 judul buku kami hadiahkan khusus untuk mereka. Juga, beberapa ketrampilan telah kami siapkan untuk kemudian kami ajarkan kepada mereka. Singkatnya, pagi ini kami benar-benar siap untuk program kami seminggu di Bone. Semoga Allah ridho dengan apa yang kami karyakan di bumi Celebes ini.
Sekitar jam 8.30 WITA kami tiba di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Perjalanan selanjutnya kami lanjutkan dengan mobil keluarga mbak Niniek dan sebuah mobil sewaan. Jarak 140 km kami tempuh hingga akhirnya kami sampai di Dusun Lapak Pape, Desa Tompo Bulu, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perjalanan selama kurang lebih tiga jam ini begitu mengesankan. Hamparan sawah membentang luas sejak keluar dari kota Makassar, melintasi kabupaten Maros hingga Bone. Secara sepintas nyaris sama dengan suasana persawahan di Jawa. Perbedaanya adalah kita bisa melihat rangkaian pegunungan, bukit-bukit dan tebing-tebing indah yang meliuk-liuk hampir di semua sisi daerah yang kami lalui. Bentuk pegunungan-pegunungan ini mirip dengan pegunungan Halong bay di Vietnam. Benar-benar indah.
Sesekali mobil yang kami tumpangi harus melaju diantara bukit-bukit itu. Mobil juga beberapa kali melintasi bukit-bukit yang cukup tinngi. Naik-turun bukit yang dipenuhi pohon-pohon besar, belokan tajam dan jalan yang sempit membuat perjalanan ini cukup menegangkan sekaligus menyenangkan.
Memasuki wilayah Bone pemandangan sedikit berubah. Di kanan-kiri jalan terbentang padang-padang ilalang tempat di mana ratusan bahkan mungkin ribuan sapi dan kuda yang sengaja dibiarkan mencari makan secara liar oleh pemiliknya. Seolah-olah bentangan ilalang yang luas itu adalah daerah kekuasaan para kawanan sapi dan kuda semata. Kita, para manusia sepertinya hanya sekedar tamu di negeri para sapi dan kuda ini. Ah, kurasa tidak berlebihan jika kukatakan begitu karena ini adalah pertama kalinya aku melihat sapi dengan jumlah yang sangat banyak. Bisa jadi populasi sapi lebih banyak dari pada penduduk di daerah itu. Betapa tidak? Setelah beberapa hari kami di sana, kami tahu bahwa sebuah keluarga bisa mempunyai 40 ekor sapi.. Hmmm…. Bisa dibayangkan betapa banyaknya?
Setelah mampir sejenak di rumah keluarga mbak Niniek, di Desa Bune, kami lanjutkan perjalanan ke Dusun Lapak Pape, Desa Tompok Bulu. Dusun ini tidak begitu jauh dengan desa Bune, hanya kira-kira 10 km. Jam 16.00 akhirnya kami sampai di dusun tujuan kami, Lapak Pape. Kami tidak langsung menuju rumah panggung tempat kami menginap sepekan ke depan. Terlebih dahulu kami pergi ke rumah kepala desa Tompo Bulu yang berjarak kurang lebih 8 km dari dusun Lapak Pape. Perjalanan sejauh 8 km ini ternyata justru membuat mata kami semakin termanjakan oleh keindahan alam Bone. Dalam perjalanan menuju rumah Pak Kepala Desa ini kami melintasi sebuah bendungan raksasa bernama Ponre-Ponre.
Bendungan ini baru selesai dibangun lima tahun yang lalu. Lengkap sudah keindahan alam daerah itu. Bukit-bukit cantik dengan pepohonan yang hijau, hamparan padang rumput, langit biru yang indah dan bendungan Ponre-Ponre yang memancarkan kesan sejuk dan damai di hati. Semua menyatu membentuk harmoni alam yang mempesona. Juga, membuat setiap mata yang memandangnya akan berdecak kagum dan berucap syukur kepada Tuhan yang membuat lukisan alam seindah ini.
Menjelang Maghrib kami tiba di rumah panggung. Rumah yang kami tempati ini adalah rumah yang baru dibangun oleh pemiliknya dan belum ditempati. Di rumah inilah kegiatan kami berpusat selama sepekan ke depan. Tiba di sana, kami disambut oleh ibu Kurni, salah satu guru di sekolah yang kami tuju. Rumah bu Kurni dekat dengan rumah panggung tempat kami menginap, hanya sekitar 100 m. Guru muda inilah yang banyak membantu aktifitas kami selama di Lapak Pape.
Kamis, 23 Juni 2011
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Itu Ada di Sini
Sejak kepemimpinan Beliau, sederet prestasi anak-anak gunung ini berhasil Beliau gali dan tunjukkan di tingkat kabupaten dan Propinsi. Dari olimpiade SAINS hingga kesenian berhasil menembus tinggkat Kabupaten. Bahkan, di tingkat Atletik, Pak Ghofur berhasil menggali bakat seorang pelari putri hingga menembus tingkat Propinsi. Beliau menyebut anak-anak Ngadirejo ini sebagai mutiara yang terpendam. Tugas beliau dan para guru adalah menggali mutiara-mutiara itu dan menjadikan mereka bersinar hingga semua orang bisa menikmati kilauan cahayanya.
Jarak rumah Pak Ghofur ke Ngadirejo tak kurang dari 45 km. Jadi, setiap hari setidaknya 90 km Beliau tempuh untuk pulang pergi Ngadirejo ke Kota Probolinggo, rumah Beliau. Jam 6 pagi biasanya Beliau berangkat dari kota Probolinggo dengan mengendarai sepeda motor. Cuaca pegunungan dengan curah hujan yang cukup tinggi terkadang menghalangi Beliau untuk Pulang ke kota Probolinggo setelah menyelesaikan tugasnya di sekolah. Beliau harus menginap di sekolah jika hujan deras tiba dan tak kunjung reda sedangkan hari sudah semakin gelap. Beberapa guru kadang juga harus menginap di sekolah jika tak memungkinkan lagi untuk turun gunung.
Selain karena faktor cuaca, ada satu faktor lagi yang membuat para guru pulang lebih akhir dari pada guru-guru di sekolah lainnya. Faktor itu adalah tidak adanya jam di SDN Ngadirejo. Maksudnya adalah, guru mengajar sesuai keinginan siswa. Jika siswa menginginkan terus belajar, maka guru akan menuruti mereka. Bahkan, tererkadang jam 02.00 siang sekolah baru usai. Siswa lebih sering keasyikan belajar di sekolah, nyaris tak ada waktu untuk bosan.
Pak Ghofur, juga para guru lainnya sepertinya tidak mengenal hari libur terutama tiga bulan belakangan ini ketika bencana Bromo meluluh lantahkan sekolah mereka, SDN Ngadirejo. Ketika memang ada sesuatu yang harus dikerjakan di sekolah, maka mereka akan tetap berangkat ke sekolah meskipun hari itu adalah tanggal merah. Ini adalah karena kecintaan mereka pada sekolah dan para siswa. Mereka posisikan para siswa sama seperti anak-anak mereka seniri. Suatu ketika Pak Ghofur pernah berkata kepada Pak Wul. Waktu itu Pak Ghofur memilih untuk menginap di sekolah karena harus mengerjakan banyak hal beberapa saat setelah sekolah roboh terkena hujan pasir Bromo. Begini kata Beliau, “Kalau Saya pulang ke Probolinggo, bagaimana dengan anak-anak Saya di sini?” Seperti itulah sosok Pak Kepala Sekolah. Semoga cinta beliau pada anak-anak berbalas cinta Allah Yang Maha Indah.
Semua guru di sekolah ini hebat! Aku paling kagum dengan para guru GTT yang walaupun dengan gaji yang tak seberapa, tetap bisa mengajar para siswa dengan sepenuh hati. Bisa jadi gaji itu hanya cukup untuk ongkos transportasi dari rumah mereka ke sekolah. Bahkan mungkin tidak cukup. Ada seorang GTT yang jarak rumahnya ke sekolah adalah 45 km. Apakah gaji beliau cukup untuk ongkos transportasi sejauh itu? Wallau ‘alam. Yang jelas, beliau tetap semangat mengajar, berbagi ilmu dengan anak-anak Naga Betara. Semoga Allah memberkahi ilmu Beliau sehingga bisa mengantarkan Beliau ke pintu syurga. Amin ya Rabb…!
Status Mereka memang guru bagi para siswa SDN Ngadirejo, tapi sebenarnya Mereka juga guru bagi kami. Dari para guru hebat ini kami belajar menjadi bijaksana, belajar menjadi seseorang yang layak dicontoh dan dicintai, serta belajar untuk ikhlas memberi dan berbagi. Inilah yang manis, yang indah dan yang tak terlupakan dari sepekan berada di tengah-tengah para manusia teladan.
Langganan:
Postingan (Atom)