"Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan terus bernyala
Di sini di dalam hatiku.
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Semua tak kan sanggup menghalangimu bernyala di dalam hatiku"
(Petikan lagu berjudul "Mentari" karya Abah Iwan Abdurrahman)
Aku pertama kali bertemu dengan Abah Iwan saat acara pelepasan Pengajar Muda angkatan IV, pertengahan Juni 2012. Waktu itu jujur aku tidak tau siapa beliau. Saat beliau memasuki aula tempat kami berkumpul, teman-teman yang berasal dari ITB langsung bersorak haru. Aku masih diam saja, belum mengerti. Lalu salah seorang dari mereka menjelaskan kepadaku bahwa Abah Iwan itu adalah pencipta lagu yang terkenal di era tahun 70 sampai 80-an. Salah satu lagu gubahannya yang masih tidak asing sampai saat ini adalah "Burung Camar" yang pernah dipopulerkan oleh Vina Panduwinata.
Temanku menambahkan bahwa Abah Iwan tidak pernah absen bernyanyi dan memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru di ITB. Jadilah beliau idola bagi mahasiswa dan alumni kampus ganesha dari tahun ke tahun. Selain aktif menulis lagu, Abah Iwan juga seorang pecinta alam sejati. Beliau tercatat sebagai anggota kehormatan di Kopassus dan Wanadri. Beliau tidak hanya hobi mendaki gunung tetapi juga ikut berlatih layaknya seorang prajurit.
Lagu-lagu yang Abah Iwan tulis adalah hasil perjalanan batin beliau sebagai aktivis sejak masa kuliah. Oleh karena itu, semua lagu Abah Iwan memiliki "nyawa". Siapapun yang mau mendengarkan lagu ini sepenuh hati pasti bisa merasakan "nyawa" itu.
Setelah acara pembekalan PM itu, Abah Iwan menghadiahi kami CD kaset lagu-lagu Beliau. Masing-masing kami mendapat 1 keping. Kami semua terharu karena memperoleh CD itu langsung dari maestronya. CD itu pun ku bawa ke penempatan. Hampir setiap malam sebelum tidur aku memutarnya. Mendengarkan lagu-lagu Abah Iwan itu membuatku merasa damai karena lagu itu juga mewakili perjalanan batinku.
Dari semua lagu-lagu Abah Iwan, aku paling suka "Melati dari Jayagiri", "Dhuha" dan "Mentari". Terkhusus untuk "Mentari" aku terkadang sengaja mendengarkannya ketika semangatku menurun, ketika beban kehidupan terasa berat, ketika cita-cita mulai memudar. Abah Iwan mengatakan bahwa lagu itu Beliau tulis sekitar tahun 1978 ketika kampus diduduki kekuasaan tiran. Para aktivis diusir dari kampus, dipukuli dengan popor senjata. "Mentari" kemudian beliau tulis untuk menggambarkan perjalanan batin beliau dan teman-teman saat itu. Bahwa kata "Mentari" adalah personifikasi dari cita-cita. Apapun yang terjadi dalam hidup ini, seberat apapun, cita-cita harus terus menyala seperti mentari. Cita-cita semacam apa? Yaitu cita-cita untuk menjadi orang yang paling bermanfaat untuk banyak orang, paling memikirkan banyak orang.
Semoga, mentari tetap bernyala di dalam hati kita sehingga orang-orang di sekitar kita bisa merasakan terang dan hangatnya mentari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar