Translate

Rabu, 24 September 2014

Ibu dan Cerita Tentang Kemarau

Aku lahir dan tumbuh besar di Klaten, sebuah daerah yang tepat berada di sebelah timur Gunung Merapi. Karena keberadaan Gunung Merapi inilah di daerahku banyak bermunculan mata air secara alami. Jadilah air selalu tersedia melimbah di daerah kami. Kondisi ini membuat pertanian menjadi cukup maju. Hasil pertanian utama di daerah kami adalah padi dan salah satu hasil padi primadona kami adalah beras "Raja Lele Delanggu" atau lebih terkenal dengan sebutan "Beras Delanggu".

Di desaku, sebagian warganya berprofesi sebagai petani. Alhasil, hampir setiap rumah selalu memiliki persediaan padi yang cukup banyak. Biasanya setiap rumah punya ruangan khusus yang berfungsi sebagai semacam lumbung padi. Padi yang sudah dipanen, dijemur hingga menghasilkan gabah kering yang bisa bertahan bertahun-tahun.

Musim panen padi adalah musim yang paling membahagiakan di kampung kami, tak kecuali bagi kami anak-anak kecil pada masa itu. Sebelum ani-ani (sebutan untuk proses panen padi), si pemilik sawah biasanya akan membawa makanan berupa nasi, urap, ayam bakar dan pisang ke lahan padi yang siap panen. Dipanggillah anak-anak kecil dan para tetangga untuk makan bersama di sawah. Tradisi ini disebut wiwit yang berarti awalan. Singkatnya, wiwit bisa diartikan sebagai prosesi awal sebelum panen padi sebagai ungkapan rasa syukur atas panen kali ini. Sebagai anak-anak, aku sangat senang mengikuti kegiatan ini bersama teman-temanku. Usai prosesi wiwit, rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak pemotong padi segera turun ke sawah untuk melaksanakan tugasnya. Pada saat seperti ini, kami anak-anak kecil biasanya menguntit di belakang para pemotong padi ini. Kami mencari dahan-dahan padi yang luput dari potongan pasukan pemotong padi itu. Kami potong dahan-dahan itu dan kami kumpulkan sebanyak-banyaknya. Selesai itu, kami biasanya ikut naik gerobak sapi pengangkut padi. Empuk sekali rasanya duduk diatas karung yang penuh terisi padi.

Memasuki masa SMP dan seterusnya, aku sudah tidak lagi ikut prosesi panen padi. Kegiatan sekolah mulai banyak sehingga kadang-kadang  aku baru pulang dari sekolah jam 5 sore. Lagi pula, aku sudah mulai menginjak usia remaja sehingga mulai merasa malu bermain layaknya anak-anak :-). Sejak saat itu, kemewahan pesta panen padi perlahan bukan lagi menjadi bagian dari hidupku. Ianya tersimpan di memoriku.

Kini aku sudah menjelma menjadi manusia dewasa. Sesekali, ketika teringat moment-moment tertentu yang pernah ada di masa kecilku, aku tersenyum geli. Ketika sedang teringat satu moment, terkadang rentetan moment lainnya itu muncul. Sekali datang pemantik, bermunculanlah cerita-cerita masa kanak-kanak itu.
Seperti beberapa hari lalu saat ibu menelponku. Entah kenapa ketika ibu menelpon, selalu saja ada sisipan memori masa kecil yang ikut tersangkut di sela-sela pembicaraan kami sehingga pembicaraan pun menjadi sangat menarik. Namun, di pembicaraan yang terakhir kemarin, kami sedikit mengelus dada. Ibu menceritakan tentang kondisi pertanian di desa kami yang sudah sangat berbeda dengan dulu ketika aku kecil.

Beberapa tahun terakhir ini pergantian musim tidak lagi menentu. Ini membuat para petani bingung menggarap sawah mereka. Kadang kemurau datang sangat panjang, kadang hujan datang berlebihan. Seperti tahun ini, kemarau sudah lebih dari 3 bulan, tak sekalipun hujan turun. Tanah persawahan kering kerontang. Biasanya, sawah di daerah kami mendapat giliran pengairan dari mata air Jalatunda yang berjarak kira-kira 3 km dari desa kami. Namun, beberapa tahun terakhir ini Jalatunda menyurut ketika kemarau tiba. Alhasil, tidak cukup untuk mengairi sawah-sawah di kampung kami. Kata ibu, saat ini sawah-sawah sedang ditanami jagung yang mana sedang dalam fase berbunga. Jika tidak mendapat pengairan cukup, bisa dipastikan akan mengalami puso. Oleh sebab itu, para petani menyewa genset besar milik salah seorang warga kaya di kampung kami untuk mengambil air dari sungai yang juga sudah surut airnya. Satu petak sawah biasanya harus diairi dengan genset selama 15 jam dimana harga sewa gensetnya adalah Rp 20.000 per jam. Oleh karena itu, para petani setidaknya harus merogoh kocek mereka Rp 300.000 untuk sekali pengairan.

Cerita tentang kemarau belum berakhir sampai di sana. Karena musim yang tidak menentu itulah, dalam setahun petani desa kami hanya bisa sekali menanam padi dalam setahun. Sisanya, biasanya mereka menanam jagung atau kacang yang cukup bisa tahan tanpa air melimpah. Dan tentu saja, keceriaan pesta panen padi tidak lagi terlihat di kampung kami.

Untuk mengatasi masalah ini, Ibu Kepala Desa sudah mencari solusi dengan cara membuat sumur bor untuk dipakai bersama. Namun, debit air yang keluar dari sumur ini sangat minim. Masih menurut Ibu kepala desa, pemerintah akan membuat program Wanadesa yang berarti "hutan desa". Nantinya akan diadakan penanaman pohon besar-besaran dan tidak boleh lahan kosong yang dibiarkan teronggok tanam pepohonan hijau. Harapannya, pohon-pohon ini akan sedikit menahan laju pemanasan global yang salah satunya berefek pada perubahan musim yang tidak menentu. Juga, dengan banyaknya pohon, tanah menjadi bisa menampung persediaan air yang lebih banyak.

Sebagai warga desa yang sudah lama meninggalkan desanya, aku merasa belum berbuat apa-apa. Tapi setidaknya, mulai hari ini aku akan lebih rajin mengingatkan ibuku untuk menanam dan merawat pohon (OMG!). Dan mungkin hal kecil yang juga bisa aku lakukan adalah dengan menghemat penggunan air bersih. Semoga nanti muncul ide-ide baru yang lebih bermanfaat. Aamiin.
Hmmm... mungkin suatu saat nanti aku perlu kembali ke desaku dan belajar menjadi petani?

Tidak ada komentar: