Translate

Jumat, 26 September 2014

SMS Istimewa

Pagi ini aku terbangun sebelum alarmku berbunyi. Ketika seperti itu, aku biasanya cepat-cepat meraih ponselku untuk melihat jam, memastikan aku tidak melewatkan waktu sholat malam. Ketika sedang sangat lelah atau kurang tidur di hari sebelumnya, aku kadang tidak sadar mematikan alarm dan efeknya tentu saja adalah waktu sholat malam terlewat sudah. Untungnya, pagi ini hal itu tidak terjadi. Aku terbangun beberapa menit sebelum alarmku berbunyi.

Saat melihat jam di ponselku, aku menyadari ada sebuah sms masuk. Ah, paling dari operator seluler, pikirku saat itu. Lagi pula, beberapa bulan terakhir ini, saat hampir semua orang-orang di sekitarku menggunakan aplikasi WhatsApp, kami mulai sangat jarang berkomunikasi lewat sms. Sms hanya ku pakai sesekali untuk berkomunikasi dengan keluarga di Klaten dan Bima, tapi kami lebih sering berkomunikasi lewat telepon daripada sms. Jadi, akhir-akhir ini sms yang ku terima biasanya hanya dari operator seluler. Jadi, wajar bila pagi ini aku beranggapan bahwa sms yang baru saja aku terima itu hanya sebatas iklan atau pemberitahuan dari operator seluler. Aku yang masih ngantuk berat, bersiap kembali tidur, memanfaatkan beberapa menit sebelum alarm membangunkanku. Tapi tunggu dulu, aku mulai menyadari sesuatu. Sms yang baru saja kuteria itu berasal dari nomor asing. Iya, asing karena berkode +966. Wow, sms dari siapa ya? Mataku tiba-tiba melek.

Aku baca sekali, tapi otakku belum juga memahami. Sekali lagi ku baca, ternyata itu adalah sms dari ibu angkatku (selama di Bima) yang sekarang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah. Ku ulangi lagi, kubaca kata demi kata yang ibu tuliskan. Seketika itu rasa haru menyeruak, mataku berkaca-kaca. Oh Ibu, terharu sekali ibu masih mengingatku saat ibu berada di tanah suci.

Aku bukanlah anak yang ia kandung dan ia besarkan dengan tangannya. Aku hanyalah anak yang datang dari Jawa, kemudian melewati hari-hari bersamanya, makan nasi yang ia masak dari periuknya, tidur di salah satu ruangan di rumahnya. Tidak lama, hanya setahun. Dan sekarang "si anak dari Jawa", begitu ibu selalu memperkenalkan aku pada kerabat-kerabatnya, sudah setahun lebih kembali ke tempat asalnya, Jawa. Namun, ternyata aku masih diingat sebagai salah satu dari anaknya. Bahkan, sampai saat ini ibu masih membahasakan aku sebagai bibi dari cucu-cucunya. Itu berarti, aku masih dianggap sebagai anggota dari keluarga besarnya. Benarkah seperti itu, Ibu?

Ibu, Bapak, terima kasih telah menjadi orang tua ke-2 bagiku. Ketika nanti ada rezeki dan kesempatan, aku akan kembali ke Bima. Ah, bukan "kembali", melainkan "pulang". Bolehkah aku memakai kata "pulang", wahai Ibu, Bapak?

Tidak ada komentar: