Translate

Minggu, 21 September 2014

Yang Akan Selalu Diingat

Pada suatu hari,
Sebulan di penempatan. Saat itu, kepala UPT Dikpora kecamatan tempatku bertugas akan memasuki masa pension. Oleh karena itu, para kepala sekolah se-kecamatan mengadakan acara perpisahan berupa piknik bersama ke sebuah pantai di Dompu. Maka, di hari yang telah disepakati bersama, diadakanlah piknik perpisahan itu dan aku pun tidak boleh absen dari acara yang spesial itu.
Setelah perjalanan dengan bus selama kurang lebih 3 jam, kami tiba di pantai yang menjadi tujuan kami. Dipilihlah tempat yang banyak pohon sehingga kami bisa duduk-duduk santai sambil menikmati perbekalan. Saat tengah mengobrol bersama, mataku menangkap sesuatu yang membangkitkan perhatianku.
“Itu, buah sirsak ya, bang?” tanyaku padanya sambil menunjuk buah yang nampaknya hampir masak itu.
“Iya ni, sirsak. Mau makan?”
“Hehe.. iya sih, tapi kita kan tidak tahu siapa pemilik pohonnya”
“Oh, sebentar ya!” ia berjalan ke arah Pak tua yang tengah berdiri kira-kira 10 meter dari kami.
“Heeeeee......?” aku pun terperangah menyaksikannya menghampiri Pak tua yang beberapa saat kemudian baru aku tahu bahwa Pak tua itu tidak lain adalah penjaga kebun tempat kami berteduh itu. Dari jauh kuamati mereka nampak bercakap-cakap beberapa saat hingga akhirnya,
“Ini. Nanti bawa pulang ya!”
“Astaga, diambilkan beneran, bang? Padahal tadi saya cuma kepengin aja. Hehe.. jadi gak enak ni”, jawabku sambil malu-malu menerima buah sirsak yang baru ia petik dari pohonnya itu.
“Terima kasih banyak bang!”, aku berkata sambil menyeringai.
“Waaaa... dia baik sekali ya”, aku membatin.

Pada suatu hari yang lain,
Di kecamatan tempatku bertugas terdapatlah sebuah desa bernama Kalodu, desa yang cukup tersohor namanya karena dua alasan. Alasan pertama, desa ini terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi sehingga menjadikannya sebagai desa tertinggi di kecamatan kami. Karena letaknya yang ada di dataran tinggi ini, desa Kalodu mempunyai tetumbuhan yang berbeda dengan yang ada di desa tempatku bertugas. Tanaman andalan di desa ini adalah jambu biji yang ketika tiba musim berbuahnya, akan menjadi primadona bagi warga di seluruh pesisir teluk Waworada.
Alasan kedua, di desa ini terdapat masjid Kamina, masjid tertua di Bima. Konon, masjid ini dibangun oleh sultan pertama Bima yang diislamkan oleh ulama dari kerajaan Goa, Sulawesi Selatan. Karena nilai sejarah inilah, Kalodu tidak jarang mendapat kunjungan dari pejabat Kabupaten Bima.
Awal-awal berada di desa penempatan, aku sudah mendengar cerita dari para warga tentang keistimewaan Kalodu. Banyak orang menyarankan, “Sekali-kali nanti Ibu Dita harus main ke Kalodu.” Siapa yang tidak penasaran setelah mendapat cerita-cerita seperti itu?
Untuk menuju desa ini ternyata tidak mudah. Orang-orang biasanya memilih berjalan kaki karena kondisi jalan yang terjal, curam, mendaki dan berkelok-kelok. Beberapa orang yang sudah pandai mengendarai motor pun  tetap harus sangat berhati-hati saat melewati jalan menuju Kalodu itu agar tidak tergelincir. Kalau tergelincir, pengendara ada kemungkinan jatuh ke jurang. Kasus kecelakaan semacam ini pun ternyata sudah beberapa kali terjadi.
Pada suatu malam, aku tengah mengobrol dengan keluarga angkatku. Aku mengutarakan bahwa nanti suatu waktu aku ingin berkunjung ke desa Kalodu.
“Yakin mau ke sana? jalan kaki mendaki gunung 2 jam bisa?”
“What? 2 jam?”, aku berkata dalam hati.
“Hmm.. mungkin bisa, bang!” jawabku mencoba bernada mantap, padahal sebenarnya agak ragu.
“Baiklah, nanti kita berangkat sama-sama”.
“yes, yes, yes...!” aku bersorak, masih dalam hati.
Di suatu sore yang telah direncanakan, bersiaplah kami menuju Kalodu. Tidak jalan kaki, tapi naik motor. Tak lupa, temanku sesama Pengajar Muda yang bertugas sekecamatan denganku ikut pergi bersama kami ke Kalodu. Awalnya dari rumah aku membonceng temanku itu. Tapi, ketika sudah hampir melewati jalan yang sulit,
“Ayo dita saya bonceng saja, biar ndak jatuh. Soalnya, jalannya nanti sulit sekali”
“Oh, gitu?” Aku pun menurut. Bagaimanapun, ia yang lebih tau tentang kondisi jalan. Memang benar, semakin menanjak, kondisi jalan semakin menantang –untuk tidak dikatakan mengerikan-. Kira-kira 20 menit waktu yang harus aku habiskan dengan jantung berdetak kencang  karena menahan rasa takut selama di perjalanan. Beberapa kali nyaris tergelincir, tapi untungnya kami tiba di puncak dengan selamat. Alhamdulillah.. senangnya.. Akhirnya aku bisa melihat sendiri Kalodu yang tersohor di kalangan warga pesisir ini. Masjid Kamina, kampung yang hijau dan sejuk oleh pepohonan, lanskap Tanjung Langgudu dari atas bukit benar-benar membuatku berkali-kali berdecak kagum.
“Terima kasih sudah mengajakku ke sini, bang!”

Lagi, pada suatu hari
Idul Adha, Oktober 2012. Ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari raya Idul Adha jauh dari keluargaku. Ingin sekali pulang, tapi apa daya, tugas negara menantiku (haha, lebay....).
Setelah beberapa kali bicara dengan 3 orang teman se-timku, akhirnya diputuskan kalau ketiga temanku, Kokoh, Gilar dan Slam akan datang ke desa penempatanku. Horeee...! Aku senang bukan kepalang. J
Setibanya di rumahku, kami berempat makan, mengobrol, bercanda bersama-sama. Akan tetapi, kalau kegiatan seperti itu dilakukan seharian penuh, ternyata bosan juga ya? Saat menjelang sore, aku punya ide untuk pergi ke pantai. Tapi, pantai kan lumayan jauh dari rumahku? Naik apa? Kami kan berempat.
Tik, tak, tik, tak... se-per sekian jam kemudian, datanglah ia beserta istri dan dua orang anaknya.
“Ini bang, kami sebenarnya mau ke pantai”, aku mencoba munduk-munduk, hehe.
“Ke pantai mana?”
“Mana pantai yang bagus ya, bang?
“Ke Temba Ruma saja, di Sembane”.
“Jauh ya, dari sini?”, memasang muka memelas dan agak pragmatik. Ternyata, dia menangkap pesan tersiratku itu.
“Pakai saja motor Bapak dan satu lagi biar saya ambil motor di rumah bawah”.
“Oh gitu?”, jawabku sambil meringis, hihiii.
Jadilah sore itu kami berpiknik, semacam piknik keluarga. Menikmati suasana sore pantai sambil mengobrol, makan mangga, bermain pasir dengan kedua anaknya, berfoto, bercanda-canda. Sangat menyenangkan J
Sepertinya, ini adalah sesuatu yang kecil dan biasa. Tapi, bagiku tidak! Di keluargaku, aku adalah anak sulung, tidak pernah merasakan bagaimana senangnya punya seorang kakak. Di sini, di tanah Bima ini, aku merasa menjadi seorang adik, yang diperhatikan, juga disayangi. Sekarang aku tahu, betapa bahagianya punya seorang kakak.

Pada suatu hari yang lain lagi,
Awal Mei 2013, aku dan temanku menghadiri pesta pernikahan di kota Bima. Seperti biasa, saat harus pergi ke kota, terkadang kami meminjam motor milik abangku itu. Kebetulan, hari itu juga dia dan istrinya juga menghadiri pesta pernikahan teman mereka di kota Bima. (Tapi, teman kami dan teman mereka berbeda, lho J).
Mereka berangkat lebih awal dengan Vario sedangkan kami dengan Supra Fit. Saat sudah di Bima, dia mengirim sms meminta agar kami berempat pulang ke desa bersama-sama karena dia mengkhawatirkan keselamatan kami berdua. Maklum, untuk menuju ke desa kami, kami harus melewati jalan-jalan berbukit yang sisi kanan kirinya adalah hutan dan jurang. Jika hari mulai gelap, tak jarang ada perampok yang menghadang pengguna jalan, terutama pengguna motor.
Saat perjalanan pulang, kami berjanji akan bertemu di sebuah tempat, lalu melanjutkan perjalanan bersama-sama agar lebih aman. Karena di beberapa titik kami tidak bisa mendapatkan sinyal HP, kami kesulitan untuk saling berkomunikasi hingga akhirnya tidak bisa bertemu di tempat yang sudah ditentukan itu. Saat itu, aku dan temanku santai-santai saja karena yakin bahwa insyaAllah perjalanan ini akan aman.  Tapi, tahukah apa yang mereka rasakan?
Sampailah kami di rumah. Bapak, ibu, abangku dan istrinya berada di teras rumah. Ternyata, mereka sedang menanti kedatangan kami. Dari nada mereka berbicara, jelas sekali mereka khawatir dengan keadaan kami. “Untung tidak terjadi apa-apa”, Ibu berkata singkat namun mengandung makna yang mendalam. Aku merasa sangat bersalah karena sudah membuat mereka menunggu kedatangan kami dengan perasaan penuh khawatir. Hari itu aku belajar tentang khawatir dan dikhawatirkan, tentang menyayangi dan disayangi, tentang menunggu dan ditunggu, and the most significant lesson is.... tentang apa yang orang-orang harapkan dariku.

Pada suatu hari yang lain lagi,
Lagi,
Lagi,
....................
....................


Tidak terhitung!
Namun, semua itu terikat kuat di memori otakku, tersimpan rapih di alam bawah sadarku. Entah sampai kapan. Karena ia adalah abangku, anak perama dari bapak ibu angkatku, suami terbaik dari kakak iparku, ayah terhebat dari dua keponakanku yang lucu-lucu.

Pada suatu hari setelah aku kembali ke Jawa.
Rabu, 21 Agustus 2013 aku mendapat kabar bahwa dia berpulang ke Rahmatullah.



Kau tahu bagaimana perasaanku, kawan? 

Tidak ada komentar: