Pada
suatu hari,
Sebulan di
penempatan. Saat itu, kepala UPT Dikpora kecamatan tempatku bertugas akan
memasuki masa pension. Oleh karena itu, para kepala sekolah se-kecamatan
mengadakan acara perpisahan berupa piknik bersama ke sebuah pantai di Dompu.
Maka, di hari yang telah disepakati bersama, diadakanlah piknik perpisahan itu
dan aku pun tidak boleh absen dari acara yang spesial itu.
Setelah perjalanan
dengan bus selama kurang lebih 3 jam, kami tiba di pantai yang menjadi tujuan
kami. Dipilihlah tempat yang banyak pohon sehingga kami bisa duduk-duduk santai
sambil menikmati perbekalan. Saat tengah mengobrol bersama, mataku menangkap
sesuatu yang membangkitkan perhatianku.
“Itu, buah sirsak
ya, bang?” tanyaku padanya sambil menunjuk buah yang nampaknya hampir masak
itu.
“Iya ni, sirsak.
Mau makan?”
“Hehe.. iya sih,
tapi kita kan tidak tahu siapa pemilik pohonnya”
“Oh, sebentar ya!”
ia berjalan ke arah Pak tua yang tengah berdiri kira-kira 10 meter dari kami.
“Heeeeee......?”
aku pun terperangah menyaksikannya menghampiri Pak tua yang beberapa saat
kemudian baru aku tahu bahwa Pak tua itu tidak lain adalah penjaga kebun tempat
kami berteduh itu. Dari jauh kuamati mereka nampak bercakap-cakap beberapa saat
hingga akhirnya,
“Ini. Nanti bawa
pulang ya!”
“Astaga, diambilkan
beneran, bang? Padahal tadi saya cuma kepengin aja. Hehe.. jadi gak enak ni”,
jawabku sambil malu-malu menerima buah sirsak yang baru ia petik dari pohonnya
itu.
“Terima kasih
banyak bang!”, aku berkata sambil menyeringai.
“Waaaa... dia baik
sekali ya”, aku membatin.
Pada
suatu hari yang lain,
Di kecamatan
tempatku bertugas terdapatlah sebuah desa bernama Kalodu, desa yang cukup
tersohor namanya karena dua alasan. Alasan pertama, desa ini terletak di sebuah
bukit yang cukup tinggi sehingga menjadikannya sebagai desa tertinggi di
kecamatan kami. Karena letaknya yang ada di dataran tinggi ini, desa Kalodu
mempunyai tetumbuhan yang berbeda dengan yang ada di desa tempatku bertugas.
Tanaman andalan di desa ini adalah jambu biji yang ketika tiba musim
berbuahnya, akan menjadi primadona bagi warga di seluruh pesisir teluk
Waworada.
Alasan kedua, di
desa ini terdapat masjid Kamina, masjid tertua di Bima. Konon, masjid ini
dibangun oleh sultan pertama Bima yang diislamkan oleh ulama dari kerajaan Goa,
Sulawesi Selatan. Karena nilai sejarah inilah, Kalodu tidak jarang mendapat
kunjungan dari pejabat Kabupaten Bima.
Awal-awal berada di
desa penempatan, aku sudah mendengar cerita dari para warga tentang
keistimewaan Kalodu. Banyak orang menyarankan, “Sekali-kali nanti Ibu Dita
harus main ke Kalodu.” Siapa yang tidak penasaran setelah mendapat
cerita-cerita seperti itu?
Untuk menuju desa
ini ternyata tidak mudah. Orang-orang biasanya memilih berjalan kaki karena
kondisi jalan yang terjal, curam, mendaki dan berkelok-kelok. Beberapa orang
yang sudah pandai mengendarai motor pun
tetap harus sangat berhati-hati saat melewati jalan menuju Kalodu itu
agar tidak tergelincir. Kalau tergelincir, pengendara ada kemungkinan jatuh ke
jurang. Kasus kecelakaan semacam ini pun ternyata sudah beberapa kali terjadi.
Pada suatu malam,
aku tengah mengobrol dengan keluarga angkatku. Aku mengutarakan bahwa nanti
suatu waktu aku ingin berkunjung ke desa Kalodu.
“Yakin mau ke sana?
jalan kaki mendaki gunung 2 jam bisa?”
“What? 2
jam?”, aku berkata dalam hati.
“Hmm.. mungkin bisa,
bang!” jawabku mencoba bernada mantap, padahal sebenarnya agak ragu.
“Baiklah, nanti
kita berangkat sama-sama”.
“yes, yes, yes...!”
aku bersorak, masih dalam hati.
Di suatu sore yang
telah direncanakan, bersiaplah kami menuju Kalodu. Tidak jalan kaki, tapi naik
motor. Tak lupa, temanku sesama Pengajar Muda yang bertugas sekecamatan
denganku ikut pergi bersama kami ke Kalodu. Awalnya dari rumah aku membonceng
temanku itu. Tapi, ketika sudah hampir melewati jalan yang sulit,
“Ayo dita saya
bonceng saja, biar ndak jatuh. Soalnya, jalannya nanti sulit sekali”
“Oh, gitu?” Aku pun
menurut. Bagaimanapun, ia yang lebih tau tentang kondisi jalan. Memang benar,
semakin menanjak, kondisi jalan semakin menantang –untuk tidak dikatakan
mengerikan-. Kira-kira 20 menit waktu yang harus aku habiskan dengan jantung
berdetak kencang karena menahan rasa
takut selama di perjalanan. Beberapa kali nyaris tergelincir, tapi untungnya
kami tiba di puncak dengan selamat. Alhamdulillah..
senangnya.. Akhirnya aku bisa melihat sendiri Kalodu yang tersohor di kalangan
warga pesisir ini. Masjid Kamina, kampung yang hijau dan sejuk oleh pepohonan,
lanskap Tanjung Langgudu dari atas bukit benar-benar membuatku berkali-kali
berdecak kagum.
“Terima kasih sudah
mengajakku ke sini, bang!”
Lagi,
pada suatu hari
Idul Adha, Oktober
2012. Ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari raya Idul Adha jauh dari
keluargaku. Ingin sekali pulang, tapi apa daya, tugas negara menantiku (haha, lebay....).
Setelah beberapa
kali bicara dengan 3 orang teman se-timku, akhirnya diputuskan kalau ketiga
temanku, Kokoh, Gilar dan Slam akan datang ke desa penempatanku. Horeee...! Aku
senang bukan kepalang. J
Setibanya di
rumahku, kami berempat makan, mengobrol, bercanda bersama-sama. Akan tetapi,
kalau kegiatan seperti itu dilakukan seharian penuh, ternyata bosan juga ya?
Saat menjelang sore, aku punya ide untuk pergi ke pantai. Tapi, pantai kan
lumayan jauh dari rumahku? Naik apa? Kami kan berempat.
Tik, tak, tik,
tak... se-per sekian jam kemudian, datanglah ia beserta istri dan dua orang
anaknya.
“Ini bang, kami
sebenarnya mau ke pantai”, aku mencoba munduk-munduk,
hehe.
“Ke pantai mana?”
“Mana pantai yang
bagus ya, bang?
“Ke Temba Ruma
saja, di Sembane”.
“Jauh ya, dari
sini?”, memasang muka memelas dan
agak pragmatik. Ternyata, dia
menangkap pesan tersiratku itu.
“Pakai saja motor
Bapak dan satu lagi biar saya ambil motor di rumah bawah”.
“Oh gitu?”, jawabku
sambil meringis, hihiii.
Jadilah sore itu
kami berpiknik, semacam piknik keluarga. Menikmati suasana sore pantai sambil
mengobrol, makan mangga, bermain pasir dengan kedua anaknya, berfoto,
bercanda-canda. Sangat menyenangkan J
Sepertinya, ini
adalah sesuatu yang kecil dan biasa. Tapi, bagiku tidak! Di keluargaku, aku
adalah anak sulung, tidak pernah merasakan bagaimana senangnya punya seorang
kakak. Di sini, di tanah Bima ini, aku merasa menjadi seorang adik, yang
diperhatikan, juga disayangi. Sekarang aku tahu, betapa bahagianya punya
seorang kakak.
Pada
suatu hari yang lain lagi,
Awal Mei 2013, aku
dan temanku menghadiri pesta pernikahan di kota Bima. Seperti biasa, saat harus
pergi ke kota, terkadang kami meminjam motor milik abangku itu. Kebetulan, hari
itu juga dia dan istrinya juga menghadiri pesta pernikahan teman mereka di kota
Bima. (Tapi, teman kami dan teman mereka berbeda, lho J).
Mereka berangkat
lebih awal dengan Vario sedangkan kami dengan Supra Fit. Saat sudah di Bima,
dia mengirim sms meminta agar kami berempat pulang ke desa bersama-sama karena
dia mengkhawatirkan keselamatan kami berdua. Maklum, untuk menuju ke desa kami,
kami harus melewati jalan-jalan berbukit yang sisi kanan kirinya adalah hutan
dan jurang. Jika hari mulai gelap, tak jarang ada perampok yang menghadang
pengguna jalan, terutama pengguna motor.
Saat perjalanan
pulang, kami berjanji akan bertemu di sebuah tempat, lalu melanjutkan
perjalanan bersama-sama agar lebih aman. Karena di beberapa titik kami tidak
bisa mendapatkan sinyal HP, kami kesulitan untuk saling berkomunikasi hingga
akhirnya tidak bisa bertemu di tempat yang sudah ditentukan itu. Saat itu, aku
dan temanku santai-santai saja karena yakin bahwa insyaAllah perjalanan ini akan aman. Tapi, tahukah apa yang mereka rasakan?
Sampailah kami di
rumah. Bapak, ibu, abangku dan istrinya berada di teras rumah. Ternyata, mereka
sedang menanti kedatangan kami. Dari nada mereka berbicara, jelas sekali mereka
khawatir dengan keadaan kami. “Untung tidak terjadi apa-apa”, Ibu berkata singkat
namun mengandung makna yang mendalam. Aku merasa sangat bersalah karena sudah
membuat mereka menunggu kedatangan kami dengan perasaan penuh khawatir. Hari
itu aku belajar tentang khawatir dan dikhawatirkan, tentang menyayangi dan
disayangi, tentang menunggu dan ditunggu, and
the most significant lesson is.... tentang apa yang orang-orang harapkan
dariku.
Pada
suatu hari yang lain lagi,
Lagi,
Lagi,
....................
....................
Tidak terhitung!
Namun, semua itu
terikat kuat di memori otakku, tersimpan rapih di alam bawah sadarku. Entah
sampai kapan. Karena ia adalah abangku, anak perama dari bapak ibu angkatku,
suami terbaik dari kakak iparku, ayah terhebat dari dua keponakanku yang
lucu-lucu.
Pada
suatu hari setelah aku kembali ke Jawa.
Rabu, 21 Agustus 2013
aku mendapat kabar bahwa dia berpulang ke Rahmatullah.
Kau tahu bagaimana
perasaanku, kawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar