Translate

Rabu, 14 Januari 2015

Pak Maman

Tiga hari ini Jakarta diguyur hujan pada pagi hari. Sekitar Bulan November lalu saya pernah sekali terjatuh dari motor saat hujan turun. Saat itu saya sedang melintasi jalan Ciledug Raya yang terkenal kemacetannya itu. Kejadiannya begitu cepat. Motor yang saya kendarai tiba-tiba tergelicir. Mungkin ada lapisan lumpur di jalan yang saya lewati itu. Waktu itu saya akan berbelok ke kanan, tetiba motor saya tergelincir ke sebelah kiri dan saya pun jatuh tepat di tengah jalan. Waktu itu saya membocengkan Diah, teman saya. Saya takut setengah mati. Bagaimana kalau dari arah belakang sedang ada banyak kendaraan? Bagaimana jika kemudian kedaraan tersebut menabrak kami?

Alhamdulillah, di belakang kami hanya ada beberapa motor dan mobil yang jaraknya cukup berjauhan. Beberapa pengendara motor langsung berhenti ke tepian jalan, memarkir motor mereka dan langsung menolong kami. Syukurlah kami bisa segera berdiri. Saya raba tangan dan kaki saya, alhamdulillah tidak ada yang terluka. Diah pun juga tidak terluka. Dengan kaki yang masih sedikit gemetar, saya kembali menaiki motor dan pelan-pelan memacunya menuju tempat tinggal saya. 

Sungguh ini seperti keajaiban. Saya selamat dari maut! Tidak ada luka pada tubuh saya. Hanya memar di beberapa bagian tangan dan kaki. Sejak kejadian itu, saya menjadi lebih berhati-hati berkendara saat hujan. Pun 3 kali pagi ini. Masih ada khawatir sepanjang perjalanan saya menuju kantor. Tak henti-hentinya saya menggumamkan doa dan dzikir, meminta keselamatan kepada Yang di Atas. 

Saya sempat berfikir, mungkin saya tidak akan sekhawatir ini jika ada yang mengantar saya kemana-mana. Kalau sudah punya suami, kan tidak perlu naik motor sendiri, bisa dibonceng, hehe.. (Mau nyari suami apa tukang ojek, Dita?)

Bicara tentang tukang ojek, dulu ketika saya masih di Bima, saya mempunyai tukang ojek langganan yang paling baik sedunia. Dialah Pak Maman. Ayah dari 3 orang anak ini sehari-hari memang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung kami. Ia melayani jarak dekat maupun  jarak jauh. Bahkan, ia suatu ketika pernah berujar pada saya, "Nanti kalau Ibu Dita mau ke Tambora, bisa saya antar!" Padahal jarak kecamatan kami, Langgudu, ke Kecamatan Tambora jika ditempuh dengan motor mungkin memakan waktu 8 atau 9 jam!

Saya biasanya memakai jasa ojek Pak Maman ketika ada kegiatan di Kota Bima atau kecamatan lain. Dari tempat tinggal saya menuju Kota Bima bisa Pak Maman tempuh dalam waktu 1,5 jam. Jika naik bus, biasanya mencapai 3 jam karena bus akan berjalan melambat ketika melewati jalan pegunungan yang menanjak. 

Teringatlah saya ketika pertama kali memakai jasa ojek Pak Maman saat akan pergi ke Kota Bima. Sepanjang perjalanan ia bercerita segala macam tentang desa dan kecamatan kami. Persis seperti pemandu wisata. Saat melewati bukit tertinggi, Pak Maman meminta saya turun dari honda (sebutan untuk sepeda motor di daerah Bima) , "Coba Ibu Dita berdiri di sana dan mengambil foto Teluk Waworada. Bagus sekali pemandangannya". Tanpa menunggu lama, saya menuruti perkataannya dan iya, memang benar. Lanskap Teluk Waworada nampak begitu indah. Air laut yang tenang, garis pantai yang mengular, bentangan tambak udang yang berpetak-petak menyerupai net voli, dan perumahan penduduk adalah perpaduan yang mempesona. Selain sebagai tukang ojek, Pak Maman sepertinya berbakat menjadi pemandu wisata, pikir saya ketika itu.

"Saya ini bisa dipanggil 24 jam, Ibu Dita", begitu kata Pak Maman. Ternyata memang benar. Pak Maman tak pernah menyalahi apa yang pernah ia katakan. Suatu sore, saya meminta bapak berusia 40-an tahun ini untuk mengantar saya ke Kecamatan Sape. Kami berjanji akan berangkat jam 05.00 sore. Namun, karena padatnya kegiatan saya pada hari itu, saya baru siap berangkat setelah maghrib. "Pak Maman tidak apa-apa malam-malam begini?" Ia pun menjawab, "Ayo berangkat sudah! Tidak apa-apa."  Kebetulan saat itu Koko, Pengajar Muda yang bertugas di Desa Laju sedang berada di desa penempatan saya dan ia juga akan pergi ke Kecamatan Sape bersama saya. Maka kami pun berangkat dengan 2 ojek (Pak Maman dan temannya) malam itu. 

Itu adalah pertama kalinya saya pergi ke Sape pada malam hari. Ternyata cukup mengerikan suasananya. Kami melewati perkampungan yang tak dialiri listrik, hutan yang gelap dan tebing-tebing yang bersisian langsung dengan bibir pantai. Kondisi jalannya juga cukup mengenaskan. Batuan terjal ada di sana-sini, siap menggelincirkan roda motor. Lubang-lubang juga seolah menjadi ranjau darat yang bercerceran. Dua jam perjalanan yang cukup menguras adrenalin. Atas pertolongan Allah lewat kepiawaian Pak Maman menyetir motor, saya tiba di Sape dengan selamat. 

Lain hari, saya dan teman-teman se-tim sedang mengadakan kegiatan di Kecamatan Lambu. Sekitar jam 02.00 siang kegiatan baru selesai. Kami bersiap kembali ke Kota Bima. Karena saya baru teringat kalau esok saya harus mengerjakan sesuatu di sekolah, saya berniat tidak kembali ke kota tetapi langsung ke desa. Lalu saya menelpon Pak Maman apakah bisa menjemput saya siang itu di Lambu. Seperti biasanya, Pak Maman selalu siap. 

Lain hari lagi, suatu sore, sedang turun hujan cukup lebat di kampung kami. Lagi-lagi, Pak Maman tak keberatan mengantar saya ke Kota.

Begitulah Pak Maman, krediblitasnya sebagai tukang ojek memang tak bisa diragukan lagi. "Maman itu orangnya jujur dan baik. Jadi saya tidak khawatir Dita kemana-mana diantar sama Maman", begitu pandangan bapak asuh saya tentang tukang ojek langganan saya itu.

Ah, Pak Maman. Sehat-sehatlah selalu. Semoga rizki yang berkah selalu mengalir pada bapak sehingga bisa menyekolahkan anak-anak bapak sampai setinggi-tingginya. 

Tidak ada komentar: