Translate

Senin, 02 Maret 2015

Membuka Kotak Inspirasi

Wajah-wajah itu ada beberapa yang asing bagi saya. Sepertinya wajah-wajah yang masih asing itu adalah guru-guru baru. Jemari tangan saya kemudian secara refleks menekuk satu persatu, menghitung bilangan tahun yang menjadi jarak antara kelulusan saya dengan tahun ini, 2015. Delapan jari tertekuk, delapan tahun sudah saya meninggalkan sekolah ini. "Lama juga ya", batin saya. Berarti umur saya sekarang? Arrggghhh, stop! Tak perlu dibahas :-p

"Selamt pagi Pak! Mohon maaf, kantor TU sebelah mana nggih Pak?" Tanya saya pada sekelompok guru muda yang tengah mengobrol di lobi sekolah yang pernah menjadi tempat saya belajar itu. Salah seorang pak guru kemudian menjelaskan dimana posisi ruangan yang hendak saya tuju. Saya dengarkan baik-baik petunjuknya karena bentuk dan luas sekolah saya itu sudah berbeda jauh dengan delapan tahun yang lalu. 

Saya sebenarnya cukup familiar dengan beberapa guru muda di kerumunan itu. Namun karena mereka belum pernah mengajar saya, saya tidak cukup mengenal mereka. Mungkin mereka juga tak mengenal saya. Maka, setelah mendengar penjelasan tentang letak kantor TU, saya segera pamit dan melenggang menunju tempat yang saya cari itu.

Saya edarkan pandangan ke beberapa ruangan yang saya lewati menuju kantor TU. Deretan ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, tiba-tiba menghidupkan memori delapan tahun silam. Ditambah lagi, anak-anak berseragam putih abu-abu dan bapak ibu guru berbaju KORPRI semakin membuat jaringan neuron di otak saya aktif dan terkoneksi dengan masa lalu, masa ketika semua itu masih berkelindan dengan saya. 

Sesampainya di kantor TU, mata saya langsung menangkap sosok Mbak Kus, pegawai bagian TU yang dulu saya kenal dengan cukup baik. Untungnya, Mbak Kus masih mengenali saya. Setelah mengobrol ringan sebentar dan mengatakan maksud kedatangan saya, pegawai TU yang satu ini segera meraih berkas yang saya bawa. "Tunggu ya, mumpung Pak Kepala Sekolah belum keluar", katanya pada saya sambil berdiri dan hendak melangkah ke kantor Kepala Sekolah. Tak sampai 5 menit, Mbak Kus sudah kembali dengan dokumen saya yang sudah dibubuhi tanda tangan Kepala Sekolah. Saya pun pamit setelah mengucapkan terima kasih.

Kembali saya melewati ruang guru. Ada beberapa guru sedang duduk-duduk dan mengobrol. Saya ragu apakah akan mampir atau tidak. Tapi, langkah saya kemudian terhenti, "sudahlah mampir saja, itung-itung silaturahim", kata saya dalam hati.

"Selamat Pagi, Bapak, Ibu". Semua mata langsung mengarah pada saya. "Wah, Mbak Dita to?", Pak Nugroho, guru Bahasa Indonesia saya selama kelas XI dan XII, mengenali saya. Saya terharu, ternyata masih ada guru yang mengingat saya. Kebetulan saat itu hanya ada 5 atau 6 guru dan hanya 2 guru yang pernah mengajar saya yaitu Pak Nugroho dan Ibu Nur Janah, guru PKn. Karena Ibu Nur Janah hanya mengajar saya waktu saya kelas X, itu pun sepekan hanya 2 jam, beliau tidak mengingat saya. Para guru itu pun kemudian melontarkan pertanyaan yang klise pada saya seperti kerja apa, dimana tinggal, dulu kuliah dimana, dll.

Obrolan singkat di kantor guru itu membuat saya membuka kotak inspirasi tempat saya menyimpan potongan-potongan kenangan tentang guru-guru ispiratif di sekolah itu. Potongan kenangan yang pertama muncul adalah kata-kata Pak Nugroho, "Menulislah, apapun. Karena setiap penulis punya pembacanya sendiri." Kata-kata ini ibarat mantra, terkadang ia tiba-tiba muncul di kepala saya ketika saya sedang sangat malas menulis.

Potongan kenangan kedua muncul, kenangan saat Pak Aris, guru Sosiologi, menyampaikan penggalan lirik nasyid Raihan yang berjudul Mengemis Kasih. "Tuhan, selangkah ku rapat pada-Mu, seribu langkah Kau rapat padaku", begitu bunyinya. Beliau menjelaskan bahwa memang seperti itulah sifat Allah. Jika kita mendekat selangkah saja, maka Allah akan mendekati kita seribu langkah. Begitulah Pak Aris, di sela-sela jam pelajaran, beliau selalu menyisipkan petuah agama. Dari sanalah dasar-dasar keagamaan saya mulai mengakar.

Setelah tentang Pak Aris, muncul kenangan tentang Pak Yono, wali kelas saya saat kelas X. Mungkin karena faktor usia yang sudah cukup sepuh, kata-kata beliau sering lirih sehingga tak terdengar sampai meja siswa paling belakang. Selain tak terdengar, kata-kata itu juga sulit kami pahami, entah kenapa. Namun, ada satu kalimat yang cukup sering beliau ulang-ulang yaitu man jadda wa jadaa (barang siapa yang bersunggung-sungguh, ia pasti akan berhasil). Ini saya dengar jauh sebelum novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi yang mempopulerkan kata-kata itu, terbit. Jika cara penyampaian Pak Yono sama menggebu-nggebunya dengan ustad Pondok Madani, pondok tempat Alif (tokoh sentral novel Negeri 5 Menara) itu, mungkin kami anak-anak kelas X akan ada yang bisa membuat novel semacam itu. :-) 

Lalu, kenangan sosok cantik Ibu Lasmiyati menggeser kenangan saya tentang Pak Yono. Ibu Las pernah menjadi wali kelas saya 2 tahun berturut-turut yaitu kelas XI dan XII. Sebagai wali kelas, beliau tak jarang menyempatkan waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan kami. Beliau sampaikan berbagai nasihat untuk kebaikan kami. Salah satu nasihat yang kemudian masih terus terngiang-ngiang di kepala saya hingga saat ini adalah bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi banyak orang. "Jadi apapun kalian nanti, harus bermanfaat untuk banyak orang", begitu pesan beliau pada kami.

Wajah Ibu Tuti, kemudian datang menggantikan wajah Ibu Las. Ibu Tuti adalah guru Bahasa Inggris saya di kelas XII. Setahun penuh mengajar di kelas saya, Ibu Tuti nyaris tak pernah berbicara dalam Bahasa Indonesia. Beliau membiasakan kami untuk memakai Bahasa Inggris selama jam pelajaran Bahasa Inggris. Beliau pun selalu sabar membenarkan jika ada kata-kata kami dalam Bahasa Inggris yang kurang tepat. Konsistensi dan kesabaran beliau inilah yang selalu ingin saya contoh.

Kemudian, kenangan yang juga tersimpan dalam kotak inspirasi saya adalah tentang Ibu Sugiyarti, guru PKn saya waktu kelas XI. Di sekolah kami, beliau terkenal sebagai guru yang konservatif, hanya menggunakan satu metode saat mengajar yaitu ceramah. Metode ini tentu saja membuat kami bosan dan kadang sampai tertidur di kelas. Pada suatu ketika, saya dan beberapa teman sekelas saya merencanakan aksi protes kepada beliau. Di hari yang ditentukan, keluarlah semua uneg-uneg kami. Ada yang mengungkapkan dengan cukup halus, ada pula yang bernada kasar. Di luar dugaan kami, Ibu Guru PKn kami ini mendengarkan semua keluahan kami dengan sabar. Beliau pun menanyakan kepada kami solusi terbaik apa yang bisa membuat kelas menjadi lebih menarik. Di hari-hari berikutnya, kami, guru dan siswa selalu membicarakan metode belajar apa yang pas untuk kami di kelas. Karena faktor usia, tampak sekali beliau agak kesulitan mengakomodir maksud kami. Walaupun demikian, beliau tampak sabar memperbaiki cara mengajarnya. Dari guru saya yang satu ini saya belajar tentang bagaimana berlapang dada menerima kritik.

Rasanya masih akan sangat panjang jika saya menuliskan semua potongan kenangan yang tersimpan dalam kotak inspirasi saya. Tak henti-hentinya saya berucap syukur karena pernah diajar oleh para guru inspiratif itu. Semoga, semua hal-hal baik yang mereka ajarkan pada saya menjadi amal jariyah yang pahalanya tidak putus-putus. Aamin Yaa Rabb.

Tidak ada komentar: