Translate

Selasa, 21 Juni 2011

SD Ngadirejo, Sekolah Naga Betara!


Sampai Maret ini Bromo masih terus mengalami erupsi. Karena erupsi itulah, sebagian besar gedung SDN Nagadirejo roboh. Maka, hampir tiga bulan anak-anak harus belajar di dalam tenda darurat. Tiga tenda didirikan sebagai pengganti ruang kelas. Masing-masing tenda itu dipakai oleh dua kelas. Cukup sempit memang, tetapi anak-anak tetap bersemangat walaupun harus belajar di dalam tenda darurat. 

Menurut salah seorang guru, ketiga tenda darurat itu sempat dua kali roboh karena tidak kuat menahan pasir yang terus menerus turun. Jadi, setiap hari para guru harus membersihkan pasir yang menumpuk di atas tenda dan di atas atap gedung yang masih berdiri tegak. Jika tidak, maka bisa jadi tenda akan kembali roboh dan gedung yang tersisa pun akan ikut roboh.

Para guru tidak kurang akal menyiasati gedung sekolah yang roboh. Pondasi kelas yang roboh mereka sulap menjadi lapangan volley untuk para siswa. Tidak hanya itu, kayu bekas atap sekolah yang roboh disulap menjadi alat permainan semacam karapan sapi. Oleh karena itu, ketika istirahat anak-anak bisa bermain volley dan karapan sapi. Anak-anak pun bisa terus ceria dan semangat datang ke sekolah.  Hampir setiap hari nyaris tak ada siswa yang absen dari sekolah. Selama sepekan kami di sana, dari 67 siswa hanya satu siswa yang pernah absen, itupun karena sakit.

Setiap anak di sekolah ini spesial. Masing-masing mereka mempunayai kelebihan tersendiri. Semua mempunyai keunikan tersendiri. Kami memang semingu mengajar anak-anak ini, tetapi sebenarnya kamilah yang belajar banyak dari anak-anak luar biasa ini. Secara tidak langsung merekalah yang mengajar kami, mengajar banyak hal yag sebelumnya belum kami pelajari di bangku kuliah. Ingin sekali aku ceritakan semua profil anak-anak ini. Akan tetapi, saat ini aku baru bisa menceritakan beberapa saja. Semoga semua pembaca tulisan ini bisa ikut merasakan kehebatan anak-anak ini.

Aku mulai ceritakan tentang Karcok, seorang anak laki-laki kelas IV. Penampilannya sangat biasa, sama seperti anak-anak gunung lainnya. Prestasinya juga biasa, tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek. Tidak banyak bicara, tetapi banyak bergerak, sangat lincah. Yang sangat menonjol dari Karcok adalah semangatnya untuk bersekolah. Jarak rumahnya dari sekolah sebenarnya adalah 7 km jika melewati jalan biasa, tetapi dicarinya jalur alternative dengan memotong bukit sehingga jarak yang ditempunya menjadi 4 km. Jangan bayangkan jarak 4 km seperti jarak UGM sampai Malioboro yang datar dan tak banyak hambatan! Medan yang ditempuh Karcok adalah bukit dengan dindingnya yang cukup curam. Naik turun bukit dan juga menyebrang sungai. Kondisi semacam itu akan menjadi sangat tidak bersahabat ketika hujan turun. Jalan menjadi becek dan berlumpur, sungai penuh dengan air sehingga tak bisa diseberangi.  Maka, Karcok harus menunggu air sungai surut, baru dia bisa melanjutkan perjalanan.

Walaupun jarak rumah Karcok ke sekolah cukup jauh, justru Karcok selalu menjadi anak pertama yang tiba di sekolah. Betapa tidak? Jam 4 Subuh Karcok sudak berangkat dari rumahnya, menembus dinginnya pagi dan gelapnya perbukitan. Hanya sendirian! Bahkan ketika Bromo sedang bergejolak seperti akhir-akhir ini, Karcok tetap pada kebiasaannya semula; menjadi anak pertama yang tiba di sekolah. Padahal dalam kondisi yang seperti ini, satu hambatan lagi menghadang Karcok. Apa itu? Hujan pasir!  Hujan pasir yang terus-menerus turun sejak tiga bulan yang lalu. Kondisi ini akan semakin parah jika hujan air juga turun. Maka, akan berubah menjadi hujan lumpur karena hujan pasir bercampur dengan hujan air.  Namun, semua ini bagi Karcok tidak menjadi hambatan untuk menjumpai guru-gurunya yang luar biasa. Semua benar-benar simpel bagi Karcok.

Beberapa hari kami menjumpai Karcok tiba di sekolah sebelum jam 06.00 pagi. Lalu apa yang dilakukannya? Dibersihkannya lapangan Volly dari timbunan pasir yang terus turun semalaman. Itulah kehebatan Karcok! Kalau kita ingat Lintang dalam Laskar Pelangi, maka Karcok adalah Lintang versi Bromo.  Beruntung kami melihat langsung Lintang versi Bromo ini. Tidak akan pernah kami melupakanmu, Karcok!

Selanjutnya, giliran Timbul Slamet yang akan aku ceriatakan. Anak ini biasa dipanggil Akas oleh para guru dan teman-temannya. Akas, seorang siswa kelas VI yang mempunyai bakat seni yang luar biasa. Pandai menyanayi, membuat puisi, bermain teater dan bermain alat musik. Anak istimewa ini pernah menjuarai lomba baca puisi ketika festival Tengger pada hari Raya Karo. Pada saat itu, tutur teman-temanya, Akas bisa menjiwai puisi yang dibacakannya hingga benar-benar menangis. Selain lomba baca puisi, lomba teater di tingkat kabupaten Probolinggo pernah diikutinya. Namun sayang, karena properti panggung Akas roboh tanpa disengaja, juara I tak jadi dirahnya. Dia harus puas menjadi yang kedua.

Bakat seninya itu juga terlihat dari piawainya Akas memainkan alat-alat musik sederhana yang terbuat dari kaleng biscuit, kentongan, jirigen bekas wadah minyak, dan gallon air. Alat-alat sederhana itu dia dan teman-temannya mainkan sehingga menghasilkan alunan musik yang indah. Alat-alat itu sengaja disediakan oleh Pak Ghofur, Pak Kepala Sekolah untuk mewadai bakat musik para siswa. Pak Kepala Sekolah sendiri juga yang mengajarkan cara memainkan alat-alat itu agar bisa menghasilkan irama yang enak di dengar.  Kami sempat beberapa kali mencoba memainkan alat-alat ini. Walaupun kami memainkannya dengan cukup tak beraturan, ternyata memang sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Mungkin jika suatu saat nanti aku punya kesempatan untuk berkunjung kembali ke sekolah ini, hal pertama yang ingin kulakukan adalah memaikkan alat-alat itu bersama anak-anak. Natsukashii ne…!

Kembali pada Akas. Sekali lagi Akas menunjukkan bakat seninya dengan menciptakan sebuah lagu berjudul “Naga Betara”. Lagu inilah yang menjadi semacam jingle SDN Ngadirejo. Hampir semua anak di sekolah ini bisa menyanyikan lagu ciptaan Akas ini. Saking seringnya kami mendengarkan lagu ini, secara tidak sadar kami juga telah menghafal lagu yang enak didengar ini. Liriknya yang simpel membuat setiap orang yang mendengarnya akan tertarik dan mudah menghafalkannya.

Selain mempunyai bakat seni yang luar biasa, oleh teman-temannya Akas dikenal sebagai anak yang baik dan mengayomi teman-temannya. Anak yang sering mendapat rangking II di kelas ini tidak pelit ilmu kepada teman-temannya. Ketika teman-temanya ada yang tidak mengerti pelajaran, maka Akas tak segan mengajari mereka. Dia juga punya emosi yang stabil, jarang marah serta mau mengerti kesulitan orang lain.

Satu hal yang paling aku ingat tentang Akas adalah ketika hari Minggu, 6 Maret kami, anak-anak kelas 4, 5, 6 dan para guru berjalan-jalan naik ke bukit untuk melihat Puncak Bromo lebih dekat. Perjalanan sejauh 5 km dengan tanjakan-tanjakan yang cukup curam membuatku kelelahan dan kehabisan energi. Jadilah aku tertinggal cukup jauh dari rombongan. Pada saat itu, Akas dan tiga anak kelas VI dengan sabar membersamai langkahku yang terseok. Kalau tidak menungguku, mungkin mereka sudah bisa menyusul rombongan awal dengan langkah mereka yang gesit karena  sudah terbiasa melewati rute itu. Akhirnya, kami berlima bisa sampai di puncak bukit dan bersama-sama menikmati keindahan puncak Bromo yang terlihat jelas.

Karcok dan Akas sudah kucritakan. Sekarang giliran Ika yang akan aku ceritakan profilnya. Ika, si anak lucu ini duduk di kelas IV, sekelas dengan Karcok. Ika sedikit gendut dengan pipi yang sangat menggemaskan. Ia sangat gesit dan enerjik. Cukup banyak bicara tapi tidak pernah bicara yang tidak baik. Anak yang banyak gerak ini sering mendapat godaan dari teman-teman lelaki dan para guru. Walaupun begitu, Ika tak pernah benar-benar marah mendapat perlakuan yang seperti itu karena ia tahu bahwa teman-teman dan para guru hanya bercanda.

Dalam urusan pelajaran, Ika memang tidak terlalu pintar. Ketika mempelajari sesuatu yang baru, Ika terlihat cukup kesulitan. Namun, Ika adalah tipe anak yang tidak mudah menyerah. Dia terus mencoba, terus dan terus hingga dia bisa. “ Aku tidak boleh menyerah”, itulah kata-kata yang sering diucapkannya untuk meyakinkan bahwa dia pasti bisa. Hal ini terlihat saat kami mengajari anak-anak membuat bunga dari kertas krep. Beberapa kali aku mengajari Ika, tapi tetap saja ia belum juga bisa. Aku hampir-hampir menyerah jika Ika tidak berkata pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh menyerah”.  Semangatku seketika bangkit ketika ia ucapkan kata-kata itu. Alhasil, setelah mencoba berulang kali akhirnya Ika bisa membuat bunga yang sangat-indah. Senyumnya pun mengembang melihat hasil usaha kerasnya.

Semangatnya juga terlihat ketika jalan-jalan hari Minggu. Ika yang berbadan agak gendut terlihat agak kesulitan menakhlukkan bukit-bukit yang curam. Jadilah ia dan beberapa anak  ditemani, Halim, anggota BFM berada di urutan akhir rombongan. Mereka baru tiba di puncak bukit kira-kira 30 menit setelah rombongan pertama tiba. Ika, walaupun tampak capek, masih bisa tersenyum memamerkan pipinya yang lucu. Beberapa teman yang sudah tiba lebih dulu, menggodanya. Akan tetapi, Ika tidak menanggapinya. Senyum kepuasan karena berhasil mencapai puncak tetap dikembangkannya. Begitulah Ika, seorang anak yang telah mengajari kita tentang usaha keras, pantang menyerah, pantang putus asa dan keyakinan.

Tiga anak hebat! Karcok si anak tangguh, Akas yang si seniman cilik dan Ika si anak yang pantang menyerah. Baru dari tiga anak saja aku sudah belajar banyak hal. Tak terkira pelajaran yang aku peroleh dari ke-67 siswa sekolah ini. Sudah kubilang di awal bahwa masing-masing mereka adalah spesial. Satu hal yang menjadi kesamaan mereka, yaitu mereka semua punya cita-cita besar! Mereka punya mimpi masa depan yang cerah. Jujur, aku sangat terharu ketika mendengar mereka satu persatu dengan yakinnya menyebutkan cita-cita besar itu. Ingin sekali aku menjadi bagian dari usaha mereka mewujudkan cita-cita itu. Ingin sekali suatu saat nanti melihat mereka menjadi seseorang yang sesuai dengan yang mereka cita-citakan saat ini. Pasti bisa! Mereka pasti bisa meraih cita-cita itu.  

Tidak ada komentar: