"Mumpung cerah, nanti nyuci motor ah", pikir saya. Maksudnya bukan nyuci sendiri ya, tapi menggunakan jasa pencuci motor, hehe.
Tersebutlah sebuah tempat cuci motor yang terletak di Jalan Meruya Utara, Jakarta Barat. Betawi Steam Motor (BTM) namanya. Pemiliknya seorang ibu muda berusia sekitar 35 tahun kalau saya tidak salah taksir. Ibu muda yang logat bicaranya kental dengan dialek Betawi ini, selalu ramah kepada para pelanggannya. Pada 3 orang anak muda pekerjanya, juga tampak demikian.
Ketika pertama kali menggunakan jasa tempat cuci motor ini awalnya saya kaget dengan ongkos yang dikenakannya. Tahun lalu, saat tempat lain memasang tarif Rp 8000 untuk sekali cuci, tempat ini berani memasang Rp 10.000. Lalu, tahun ini, ketika tempat lain Rp 10.000, tempat ini menjadi Rp 12.000. Namun, jika dilihat dari kualitas hasil cuciannya, tempat inilah yang terbaik jika dibandingkan dengan tempat lainnya. Saya sempat memperhatikan proses pencucian motornya. Dari ketiga pekerjanya itu, cara dan urutan kerjanya sama persis. Mungkin ada SOP (Standard Operating Procedure) khusus yang diberlakukan oleh pemiliknya sehingga proses dan output kerjanya bisa sama. Pelayanan yang baik dan kualitas hasil cucian yang super inilah yang sepertinya membuat BTM tak pernah sepi pelanggan. Selisih harga Rp 2000 sepertinya tidak jadi soal bagi pelanggan.
Sore itu, ketika saya datang, ada tiga motor sedang dalam proses pencucian dan tiga motor lainnya mengantri. Awalnya agak malas mengantri, tapi akhirnya saya tetap memarkir motor di tempat antrian. Saya pun duduk di ruang tunggu yang berupa balai-balai bambu bersama para pelanggan lainnya yang semuanya bapak-bapak. Tampaknya mereka sama seperti saya, baru saja pulang dari tempat kerja.
Baru beberapa menit duduk, perut saya sudah bergetar-getar (baca: lapar :-p). Getaran itu seolah berlomba dengan getaran ponsel yang sedang saya pegang. Muka saya mulai rusuh menahan lapar. Berganti-ganti mata saya melihat ke arah layar ponsel dan motor saya untuk memastikan motor saya dicuci sesuai dengan urutan kedatangan. Maksudnya, agar pekerja tidak salah menentukan motor mana dulu yang harus dicuci berdasarkan urutan kedatangan. Apalagi, setelah saya datang, ada beberapa motor yang menyusul terparkir di tempat antrian.
"Yosh, habis ini motor saya", kata saya dalam hati sambil tersenyum tipis. Mata saya kemudian kembali ke layar ponsel. Tak beberapa lama kemudian, tertangkaplah oleh mata saya motor berwarna dasar hitam-hijau diposisikan di tempat pencucian. Sontak saya langsung bereaksi, "Loh mas, harusnya kan motor saya dulu!", sambil menunjuk ke arah motor saya dengan mata nanar. Saya yakin seharusnya motor saya yang lebih dulu dicuci. Lalu si mas tadi menjawab, "Kan ini dulu yang datang mbak." Saya pun tak mau kalah, "Motor itu tadi di sebelah mana?". Dijawabnyalah, "Tuh, pas di sebelah kiri-depan mbak", katanya sambil menunjuk sebelah kiri-depan tempat saya duduk. Cepat-cepat saya mengingat-ingat apa benar tadi ada motor di sini. "Ah iya ding, tadi kan aku mau duduk tapi kehalang motor ini", saya hanya membatin, tak berani mengatakannya. "Oh gitu ya", jawab saya dengan muka merah karena malu. Rasanya ingin muka ini saya surukkan ke suatu tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Tapi kemana? Saya benar-benar malu!
Untung saja bapak-bapak yang sama-sama mengantri itu diam saja melihat ulah saya. Tak tau bagaimana ekspresi wajah mereka, tapi yang jelas tak ada sepatah katapun mereka keluarkan. Tak sanggup saya menoleh ke arah mereka. Sisa waktu menunggu itu akhir saya habiskan dengan muka menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel. Ah terkadang memang seperti itulah manusia (baca:saya), gajah dipeluk mata tidak terlihat tapi justru kuman di seberang lautan yang terlihat. Nyata-nyata motor itu tadi ada di kiri-depan saya, lha kok tidak kelihatan. "Besok lagi, kalau mau berkomentar tentang sesuatu, pikir baik-baik dan lihat kondisi dengan teliti dulu! Jangan reaktif! Jangan gegabah!", ujar saya pada diri sendiri.
Kejadian ini tampak sangat sederhana. Namun, ada pelajaran di sana. Rasanya benar sekali kata Pramudya Anantator dalam novelnya Rumah Kaca, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya." Semoga kita selalu bisa mengambil pelajaran dari yang sederhana-sederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar