Translate

Selasa, 17 Maret 2015

School of Leadership

"Selesai penugasan Pengajar Muda, ada kelanjutannya? Langsung diangkat jadi PNS? Atau jadi gampang ketrima di perusahaan bagus ya?

Itulah yang sering orang-orang pertanyakan pada saya sejak saya masih berada di tempat tugas hingga saat ini, dua tahun setelah saya selesai bertugas menjadi Pengajar Muda. Ketika dihujani dengan pertanyaan semacam itu, saya biasanya tidak langsung menjawab. Saya justru kembali bertanya kepada si penanya, "dapat informasi itu dari mana?"

Seperti yang pernah saya ceritakan lewat tulisan-tulisan saya sebelumnya bahwa saya pertama kali mendengar informasi tentang Gerakan Indonesia Mengajar dari Mbak Rusel, teman saya di Komunitas Book For Mountain. Saat itu akhir tahun 2010, kami sedang dalam perjalanan ke shelter pengungsian letusan Merapi di Magelang untuk mengadakan kegiatan trauma healing pada anak-anak di pengungsian. "Kayaknya Mbak Dit cocok ikut Indonesia Mengajar deh", kata Mbak Rusel.

Dua bulan setelah itu, saya dengan penuh semangat menghadiri Open House Gerakan Indonesia Mengajar yang digelar di University Club, UGM. Di depan ratusan peserta yang hadir hari itu, Pak Anies Baswedan menguraikan dengan gamblang tentang seluk beluk gerakan yang beliau cetuskan itu. Saya pun menjadi semakin mantap setelah menyimak pemaparan beliau. Namun, saya terkendala satu hal, saya belum lulus. Ini kemudian melecut saya untuk segera menyelesaikan skripsi saya yang sudah dua semester berjalan namun belum selesai juga.

Bulan April 2011 pendaftaran Pengajar Muda angkatan III dibuka. Skripsi saya belum juga selesai. Namun saya nekat mendaftar. Saya buat semua esai yang diminta dan saya penuhi semua persyaratan, kecuali satu hal yaitu scan ijazah/surat tanda lulus. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya? Saya ditolak bahkan baru di tahap awal. Saya sempat kecewa namun setelah membaca surel penolakan dengan gaya bahasa yang sangat "membesarkan hati" dari Pak Anies, saya bertekad untuk mendaftar di angkatan selanjutnya.

Alhamdulillah Bulan Oktober 2011 saya menjalani sidang skripsi dan dinyatakan lulus. Sebulan kemudian saya wisuda. Tepat di bulan saya wisuda, dibukalah pendaftaran Pengajar Muda angkatan IV. Saya mendaftar dan mengikuti semua proses seleksinya dari seleksi dokumen dan esai, direct assesment dan terakhir medical check-up hingga dinyatakan sebagai bagian dari Keluarga Besar Indonesia Mengajar, alhamdulillah.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana setahun di Bima, tempat penugasan saya. Tapi saya perlu membahas satu pertanyaan yang cukup mengulik dan sering ditanyakan selama penugasan, "setahun di tempat pelosok sendirian gak galau ya?" "Galaunya gak ketulungan deh!", jawab saya. Bahkan, hal-hal sepele pun sering membuat galau. Hal-hal yang dulu sebelum menjadi PM tidak pernah memicu kegalauan, saat di penugasan ternyata bisa. Sulit diceritakan. Ini hanya bisa dimengerti oleh sesama PM. Bahkan orang tua, sahabat atau pacar sekalipun (bagi yang punya pacar) mungkin tidak akan mudah berempati ketika kami menceritakan kegalauan kami. Sudah galau, tak ada pula orang yang mengerti kegalauan ini. Galau kuadrat jadinya, haha! 

Namun, kondisi ini justru memperkuat hubangan antar teman-teman yang ditugaskan di kabupaten yang sama. Kami biasanya bertemu sebulan sekali di Kota Kabupaten untuk mengerjakan program kelompok dan tentu saja untuk saling curhat juga. Kesamaan nasib kami sebagai PM membuat hubungan kami menjadi sangat dekat, seperti keluarga sendiri, bahkan hingga saat ini. Inilah salah satu yang saya syukuri dengan menjadi Pengajar Muda.

Sepulang penugasan, kami kembali ke dunia masing-masing. Memulai segalanya dari nol lagi. Sempat saya minder dengan teman-teman seangkatan kuliah saya yang  rata-rata sudah bekerja di perusahaan bagus dengan penghasilan yang bagus pula. Sedangkan saya? Harus kembali menulis surat lamaran, memperbarui CV dan melayangkannya ke berbagai perusahaan. Mengikuti tes ke beberapa tempat, menunggu panggilan tahapan-tahapan tes dan menunggu hasilnya. Semua ini persis dengan apa yang dilakukan oleh para fresh graduated. Cukup melelahkan ternyata.

Pengalaman sebagai alumni PM apakah menjadi nilai tambah yang dilihat perusahaan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi menurut saya, ini tidak terlalu berpengaruh karena dunia kerja lebih melihat kemampuan kita di bidang yang memang dibutuhkan perusahaan tersebut. Sebagai contoh, sebagai lulusan Sastra Jepang yang hendak bekerja sebagai interpreter, tentu perusahaan melihat kemampuan saya dalam berbahasa Jepang. Tidak ada hubungannya apakah saya seorang alumni Pengajar Muda atau bukan! Ini yang membuat saya harus ekstra keras belajar Bahasa Jepang lagi karena sudah banyak yang terlupa setelah setahun lebih tak terpakai. Walaupun sudah belajar dengan keras, nyatanya Bahasa Jepang saya hanya pas-pasan sampai-sampai seorang senior saya di kantor pernah berujar, "Dita ini kurang pengalaman ya!" Kalian tau betapa sakitnya mendengar itu? T_T

Ternyata tidak hanya saya yang harus tertatih meniti karir pasca penugasan sebagai PM. Banyak yang bernasib seperti saya. Diah misalnya, teman saya yang seorang alumni Kedokteran Hewan sempat gemetaran saat memegang hewan yang akan ia suntik. Selain itu, di klinik tempatnya bertugas, beberapa dokternya adalah teman seangkatan dan junior Diah saat  kuliah. Saat Diah pulang dari penugasan PM dan mulai bekerja di klinik tersebut, posisi Diah berubah menjadi junior yang belajar dari nol lagi.

Lalu, sepulang penugasan apakah kami akan diangkat jadi CPNS? Orang yang bertanya atau berkomentar macam ini pasti tidak tau proses seleksi CPNS!

Hampir semua alumni PM harus kembali berjuang dari nol untuk memulai karier, kecuali bagi yang pernah bekerja dan mendapat cuti setahun saat mengikuti Indonesia Mengajar. Namun tidak semua yang sudah bekerja pun mendapat izin cuti untuk menjadi PM. Mereka umumnya mengajukan resign sehingga ketika pulang dari penugasan sebagai PM, mereka harus melamar pekerjaan lagi, mulai dari awal.

Jika sepulang penugasan ada yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri, pihak yayasan Indonesia Mengajar memang membantu kami dengan menuliskan rekomendasi berdasarkan rekam jejak kami sebagai PM. Akan tetapi, ini juga tidak menjamin akan memudahkan untuk lolos seleksi beasiswa ke luar negeri. Ada komponen-komponen lain yang tak kalah penting selain surat rekomendasi seperti nilai ujian Bahasa Inggris, proposal penelitian, pencapaian prestasi selama S1, dst.

Karena setelah lulus kuliah saya langsung mendaftar sebagai PM, praktis setelah selesai penugasan saya memulai kehidupan saya dari awal lagi, dalam Bahasa Jawa istilahnya nul puthul (benar-benar nol). Namun, kata-kata Pak Anies selalu teringiang-ngiang di kepala saya, "It's not about me, but about them." Yaitu bahwa yang telah kami kerjakan sebagai PM adalah bukan tentang kami, tapi tentang mereka: anak-anak di pelosok negeri. Kami hadir dengan niat untuk membersamai mereka melangkah menuju masa depan yang lebih cerah. Inilah yang kemudian menguatkan kami (terutama saya) dalam menghadapi masa-masa setelah penugasan dan tak pernah sekalipun menyesal telah menjadi PM! Setahun yang kami berikan kepada anak-anak Indonesia bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan.

Kami, masing-masing PM, memang memberikan waktu setahun untuk mereka, namun kenyataannya justru kamilah yang mendapatkan yang jauh lebih banyak. Setahun itu adalah kesempatan kami untuk menempa diri dan melatih kepemimpinan. Bidang tugas kami yang meliputi 4 hal yaitu pembelajaran kurikuler, pembelajaran ekstrakurikuler, pembelajaran masyarakat dan advokasi pendidikan telah mengembangkan dimensi kepemimpinan kami.

Kata Pak Anies suatu ketika, "Indonesia Mengajar adalah School of Leadership bagi anak muda kita. Harapannya alumni PM akan menjadi pemimpin masa depan berkelas dunia (world class leader) namun mempunyai pemahaman yang baik terhadap masyarakat akar rumput (grass root understanding)."

Selain "disekolahkan" selama setahun, satu hal yang juga sangat kami syukuri  dengan menjadi PM adalah kesempatan berjejaring dengan berbagai pihak, istilah keren-nya adalah networking. "Orang bodoh sibuk mencari kerja sedangkan orang pintar lebih memilih menjalin networking", kata-kata yang saya peroleh dari buku Notes From Qatar-nya Muhammad Assad. Ternyata memang networking begitu penting. Mungkin tidak dalam waktu dekat berguna, tetapi beberapa tahun mendatang pasti ada gunanya.

Ah, menulis ini membuat saya teringat teman-teman saya se-tim di Bima, tempat tugas saya. Teh Nani, Teh Morin, Budi, Kokoh, Petra, Gilar, Slam, Faisal, minna genki? Semoga Allah selalu menyayangi dan melindungi kalian dimanapun kalian berada ya!



2 komentar:

Annisa Novita mengatakan...

Haiiii dita ;) nice story

Perpustakaan Balita Ceria mengatakan...

Hi Vivi! Thanks for reading ya :-)