Translate

Kamis, 12 Maret 2015

Tambora, Dua Tahun Lalu

Waktu itu hari sudah gelap, kami tiba di Pos 3 dalam perjalanan turun setelah menakhlukkan puncak Tambora. Di pos ini kami ber-14 menghabiskan sisa bekal kami, beberapa lembar roti tawar dan selai strawberry. Saat itu kami sengaja tidak sholat maghrib karena kami yakin tidak sampai jam 10.00 malam kami pasti sudah sampai di dusun Tambora dan berencana menjamak sholat maghrib dan isya' di sana.

Setelah mengganjal perut, perjalanan kami lanjutkan. Tak sampai 2 jam, kami tiba di Pos 2 dan hanya beristirahat sebentar. Di pos itu rombongan kami sudah mulai terpisah. Teman-teman yang masih energik, berjalan lebih dahulu. Saya dan 3 orang lainnya yaitu Teh Nani, Faisal dan Kokoh menjadi rombongan terakhir. Saat itu, saya dan teh nani sudah mulai berjalan dengan terseyok. Bahkan kami sampai memakai tongkat. Ketika harus melompati pohon besar yang tumbang dan menutupi jalan setapak yang kami lewati, rasa-rasanya hampir tidak kuat. Sudah campur-campurlah rasanya. Mata sepet karena hampir 24 jam tidak tidur sama sekali, urat betis pegal luar biasa, sekujur kulit kaki rasanya perih penuh lecet akibat beradu dengan bebatuan dan jarum-jarum halus daun Meladi. Semua itu  menghasilkan kombinasi rasa yang seumur-umur baru pertama kali saya alami saat itu. Gak ketulungan deh rasanya.

Karena berjalan sangat lambat dan banyak duduk beristirahat, kami baru tiba di pos 1 sekitar jam 11.00 malam. Dusun Tambora sudah dekat. Dari Pos 1 ke Pos 0 kami hanya melewati sedikit bagian hutan, selebihnya adalah perkebunan kopi. Hati kami mulai tenang saat sudah memasuki area yang mulai renggang susunan pepohonan besarnya karena sudah banyak yang ditebang dan ditanami kopi di sela-selanya.

Setelah berjalan beberapa lama, kebun kopi yang kami lewati sepertinya tidak ada habis-habisnya. Dan anehnya, kami merasa sudah melewati jalan itu beberapa waktu sebelumnya. Kami rasanya hanya berputar-putar di sana saja. "Lah, itu kan pohon yang kita lewati tadi", celetuk saya sambil menunjuk pohon besar di sisi depan kiri kami. Semua pun merasakan hal yang sama namun mereka berusaha menangkis, "Iya sih, tapi bukan ah!"

Keadaan semakin terasa mencekam saat kami tiba-tiba mengendus bebauan aneh. Tapi Faisal kemudian menyangkal, "Itu bau bunga kopi. Tenang aja!". Oh, gitu ya? Tapi bau kopi masa' seharum itu?, saya membatin, bulu kuduk mulai berdiri. Tak berani saya menimpali aneh-aneh karena takut membuat suasana semakin mencekam.

Kami terus berjalan, namun belum juga kami melihat tanda-tanda adanya jalan besar ujung kebun kopi. Apakah kami tersesat? Paniklah kami. Tak ada sinyal telepon di sana. Jadi tak bisalah kami berkomunikasi dengan rombongan awal atau orang tua angkat Faisal di dusun Tambora. Faisal mulai berteriak memanggil teman-teman rombongan awal dan Bapak angkatnya yang ia yakin pasti menjemput kami di jalan besar. Tak ada jawaban! Kami arahkan senter ke atas membentuk sinyal SOS, siapa tahu ada yang melihat. Tapi nyatanya tak ada!

Dalam keadaan hati yang bergumul dengan ketakukan dan kecemasan, kami terus merapal doa-doa sembari berjalan semampu kami. Akhirnya, jam 01.00 kami sangkil juga di Dusan Tambora dengan selamat sentosa. Syukur beribu kali syukur. Dan barulah kami tahu bahwa rombongan awal sudah tiba di dusun Tambora 2 jam sebelum kami. Kenapa mereka bisa sampai 2 jam lebih awal dari kami ya? Ah sudahlah, yang penting kami seluruh rombongan sudah kembali dengan lengkap dan selamat.

Kini, 2 tahun setelah peristiwa itu berlalu, saya masih ingat benar setiap detailnya, termasuk perasaan yang menyertainya. Tapi tentu saja, setelah berlalu, se-menegangkan apapun sebuah peristiwa, kita pasti akan mengingatnya sambil terkikik-kikik. Padahal dulu, saat mengalaminya, rasanya mungkin seperti antara hidup dan mati. (Emang pernah merasakan mati? Kok tau rasanya antara hidup dan mati?) Hihi.

Pun dalam waktu dan peristiwa lain. Se-menyakitkan atau seberat apapun, pasti semua itu akan berlalu. Dan syukurnya, kita bisa mengenang semua itu dengan tersenyum lebar karena berhasil melewati yang berat dan menyakitkan itu. Jadi, jika saat ini kita sedang dihadapkan dengan peristiwa semacam itu, percayalah, bahwa setelah satu kesulitan, ada dua kemudahan. Itu janji Allah. Dan janji Allah tak mungkin tidak ditepati.

Tidak ada komentar: