Tak pernah kubayangkan akan bertemu dengan sosok seperti dia di Bima, tempatku bertugas selama 2012-2013. Namanya Iwan Supartana, putra pertama dari orang tua angkatku di sana. Usianya jauh di atasku sehingga aku memanggilnya "Abang Iwan".
Dia adalah orang yang sangat baik sehingga Allah lebih menyayanginya dengan cara memanggilnya dalam usia yang masih sangat muda, 35 tahun. Sama seperti kepergian orang baik pada umumnya, kepergian abangku membawa duka yang mendalam bagi banyak orang, tak terkecuali aku, adik angkat yang hanya dua musim mengenalnya.
Gurat wajahnya masih lekat di ingatanku. Pun suaranya, rasa-rasanya baru kemarin melintas ke telingaku. Namun, wajah dan suara itu tak akan pernah lagi bisa kulihat dan kudengar. Rindu? Sudah tentu aku merindukannya. Lalu dengan cara apa aku menawarkan rindu ini?
Menulis. Itulah salah satu caraku untuk kembali menghidupkan sosoknya. Raganya memang sudah tiada. Tapi aku mau jiwanya terus hidup bersama kami, orang-orang yang menyayanginya. Tanpa kutulispun, jiwanya sudah pasti akan tetap hidup di ingatan orang-orang yang pernah mengenalnya. Aku berani bertaruh bahwa ingatan yang tetap hidup itu adalah kenangan yang baik-baik karena semua orang mengakui abangku adalah orang baik, sangat baik bahkan.
Bapak sering bercerita bahwa Abang Iwan sejak kecil sudah terlihat potensi kebaikannya. Setelah lulus SD, abang Iwan sudah hidup mandiri di Kota Bima, jauh dari bapak dan ibu yang tinggal di Desa Karumbu. Bapak dan ibu sengaja membeli rumah di kota agar anak-anaknya bisa bersekolah di tempat yang lebih baik. Hampir semua anak bapak dan ibu mengenyam pendidikan SMP-SMA di Kota Bima, kecuali Akmal, si anak bungsu. Lalu, setelah lulus SMA, semua dikuliahkan di Makassar, kota dimana bapak berasal.
Masih menurut cerita bapak, sejak remaja Abang Iwan sudah rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Setiap hari selalu bangun jam 03.00 lalu sholat tahajud dan membaca Quran hingga Subuh. Sholat lima waktu pun hampir selalu ditunaikannya di masjid. Bahkan, Abang Iwan-lah yang kadang mengumandangkan adzan karena dia yang pertama kali datang ke masjid saat masuk waktu sholat. Jika punya waktu senggang, Abang Iwan mengisinya dengan membaca buku-buku Islami.
Setelah lulus kuliah, Abang Iwan diangkat menjadi pegawai bidang administrasi di kantor UPT (Unit Pelaksana Tugas) Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kecamatan Langgudu. Di lingkungan kantornya, ia dikenal sebagai pegawai yang sangat jujur, rajin dan disiplin.
Abang Iwan menikah dengan Kak Fatimah, guru di sebuah SMK di kecamatan kami. Mereka dikaruniai dua orang anak, Isma Fadillah dan Fais Assaukani. Pernikahan mereka tampak sangat bahagia. Mereka membuat sebuah rumah panggung di dusun Dana Kala, sekitar 1 km dari rumah bapak dan ibu. Di halaman rumah itu mereka tanami berbagai jenis bunga, sayur-mayur, umbi-umbian dan tanaman buah seperti pisang, pepaya, serikaya dan mangga. Di halaman depan dibangun sebuah selaja, semacam balai-balai bambu, untuk mencari angin saat siang hari yang terik. Jika sedang berkunjung ke rumah Abang Iwan, aku sangat suka duduk di selaja itu sambil menikmati semilir angin dan suasana kebun yang hijau menyejukkan mata.
Kedua suami istri ini sepertinya tidak punya rasa lelah. Di luar pekerjaan kantor dan berkebun, mereka masih sempat menggarap sepetak sawah milik bapak dan ibu. Bahkan Kak Fat kadang masih menerima pesanan abon ikan dan beraneka macam kue dari para tetangga. Oh ya, Kak Fat ini sangat pandai memasak.
Sebagaimana suami istri pada umumnya, Abang Iwan dan Kak Fat sesekali juga pernah bertengkar. "Tapi seringnya saya sih yang marah-marah, Bapak Isma selalu diam saja kalau saya marah-marah", begitu kata Kak Fat suatu ketika pada saya. Kak Fat menambahkan, "Dulu-dulu saja saya sering marah, tapi sekarang jarang-jarang karena kalau saya marah, temannya bapak Isma itu sering ganggu saya sih." Temannya?
Iya, temannya. Atau lebih tepatnya teman-temannya. Semua keluarga besar kami tahu bahwa Abang Iwan adalah seorang Indigo, bisa melihat makhluk halus. Bahkan beberapa setia mengikutinya, menjadi temannya. Dulu, saat Abang Iwan masih tinggal di rumah bapak dan ibu, teman-temannya itu kadang mengganggu adik-adik Abang Iwan. Kak Ida, adik ke-3 Abang Iwan pernah bercerita padaku bahwa barang-barang milik Kak Ida sering berpindah tempat. Yang memindahkan tidak lain adalah teman-teman Abang Iwan itu.
Pernah suatu ketika Kak Fat sedang marah pada Abang Iwan lalu menangis dan bersembunyi di kamar mandi. Tiba-tiba pintu kamar mandi terkunci dari luar. Siapa yang mengunci? Siapa lagi kalau bukan teman-teman Abang Iwan.
Itulah sekelumit kenang-kenanganku tentang Abang Iwan-ku. Dengan menuliskannya, aku menjadi lega. Semoga Allah memberikan kubur yang terang dan lapang untuk Abangku. Semoga Allah mengampuni semua kesalahannya dan menerima amal baiknya.
Semoga kita dipertemukan lagi di Surga-Nya kelak, ya abangku!
***
"Puja dan puji sebanyak jumlah bilangan pasir di pantai dan sebanyak buih di lautan hanya untuk-Mu ya Rabb...", status Facebook Abang Iwan sebulan sebelum Ia menghadap Rabb-Nya.
Dia adalah orang yang sangat baik sehingga Allah lebih menyayanginya dengan cara memanggilnya dalam usia yang masih sangat muda, 35 tahun. Sama seperti kepergian orang baik pada umumnya, kepergian abangku membawa duka yang mendalam bagi banyak orang, tak terkecuali aku, adik angkat yang hanya dua musim mengenalnya.
Gurat wajahnya masih lekat di ingatanku. Pun suaranya, rasa-rasanya baru kemarin melintas ke telingaku. Namun, wajah dan suara itu tak akan pernah lagi bisa kulihat dan kudengar. Rindu? Sudah tentu aku merindukannya. Lalu dengan cara apa aku menawarkan rindu ini?
Menulis. Itulah salah satu caraku untuk kembali menghidupkan sosoknya. Raganya memang sudah tiada. Tapi aku mau jiwanya terus hidup bersama kami, orang-orang yang menyayanginya. Tanpa kutulispun, jiwanya sudah pasti akan tetap hidup di ingatan orang-orang yang pernah mengenalnya. Aku berani bertaruh bahwa ingatan yang tetap hidup itu adalah kenangan yang baik-baik karena semua orang mengakui abangku adalah orang baik, sangat baik bahkan.
Bapak sering bercerita bahwa Abang Iwan sejak kecil sudah terlihat potensi kebaikannya. Setelah lulus SD, abang Iwan sudah hidup mandiri di Kota Bima, jauh dari bapak dan ibu yang tinggal di Desa Karumbu. Bapak dan ibu sengaja membeli rumah di kota agar anak-anaknya bisa bersekolah di tempat yang lebih baik. Hampir semua anak bapak dan ibu mengenyam pendidikan SMP-SMA di Kota Bima, kecuali Akmal, si anak bungsu. Lalu, setelah lulus SMA, semua dikuliahkan di Makassar, kota dimana bapak berasal.
Masih menurut cerita bapak, sejak remaja Abang Iwan sudah rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Setiap hari selalu bangun jam 03.00 lalu sholat tahajud dan membaca Quran hingga Subuh. Sholat lima waktu pun hampir selalu ditunaikannya di masjid. Bahkan, Abang Iwan-lah yang kadang mengumandangkan adzan karena dia yang pertama kali datang ke masjid saat masuk waktu sholat. Jika punya waktu senggang, Abang Iwan mengisinya dengan membaca buku-buku Islami.
Setelah lulus kuliah, Abang Iwan diangkat menjadi pegawai bidang administrasi di kantor UPT (Unit Pelaksana Tugas) Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kecamatan Langgudu. Di lingkungan kantornya, ia dikenal sebagai pegawai yang sangat jujur, rajin dan disiplin.
Abang Iwan menikah dengan Kak Fatimah, guru di sebuah SMK di kecamatan kami. Mereka dikaruniai dua orang anak, Isma Fadillah dan Fais Assaukani. Pernikahan mereka tampak sangat bahagia. Mereka membuat sebuah rumah panggung di dusun Dana Kala, sekitar 1 km dari rumah bapak dan ibu. Di halaman rumah itu mereka tanami berbagai jenis bunga, sayur-mayur, umbi-umbian dan tanaman buah seperti pisang, pepaya, serikaya dan mangga. Di halaman depan dibangun sebuah selaja, semacam balai-balai bambu, untuk mencari angin saat siang hari yang terik. Jika sedang berkunjung ke rumah Abang Iwan, aku sangat suka duduk di selaja itu sambil menikmati semilir angin dan suasana kebun yang hijau menyejukkan mata.
Fais dan Isma sebelum berangkat ke sekolah. Foto ku ambil beberapa bulan sebelum aku pulang ke Jawa |
Kedua suami istri ini sepertinya tidak punya rasa lelah. Di luar pekerjaan kantor dan berkebun, mereka masih sempat menggarap sepetak sawah milik bapak dan ibu. Bahkan Kak Fat kadang masih menerima pesanan abon ikan dan beraneka macam kue dari para tetangga. Oh ya, Kak Fat ini sangat pandai memasak.
Sebagaimana suami istri pada umumnya, Abang Iwan dan Kak Fat sesekali juga pernah bertengkar. "Tapi seringnya saya sih yang marah-marah, Bapak Isma selalu diam saja kalau saya marah-marah", begitu kata Kak Fat suatu ketika pada saya. Kak Fat menambahkan, "Dulu-dulu saja saya sering marah, tapi sekarang jarang-jarang karena kalau saya marah, temannya bapak Isma itu sering ganggu saya sih." Temannya?
Iya, temannya. Atau lebih tepatnya teman-temannya. Semua keluarga besar kami tahu bahwa Abang Iwan adalah seorang Indigo, bisa melihat makhluk halus. Bahkan beberapa setia mengikutinya, menjadi temannya. Dulu, saat Abang Iwan masih tinggal di rumah bapak dan ibu, teman-temannya itu kadang mengganggu adik-adik Abang Iwan. Kak Ida, adik ke-3 Abang Iwan pernah bercerita padaku bahwa barang-barang milik Kak Ida sering berpindah tempat. Yang memindahkan tidak lain adalah teman-teman Abang Iwan itu.
Pernah suatu ketika Kak Fat sedang marah pada Abang Iwan lalu menangis dan bersembunyi di kamar mandi. Tiba-tiba pintu kamar mandi terkunci dari luar. Siapa yang mengunci? Siapa lagi kalau bukan teman-teman Abang Iwan.
Itulah sekelumit kenang-kenanganku tentang Abang Iwan-ku. Dengan menuliskannya, aku menjadi lega. Semoga Allah memberikan kubur yang terang dan lapang untuk Abangku. Semoga Allah mengampuni semua kesalahannya dan menerima amal baiknya.
Semoga kita dipertemukan lagi di Surga-Nya kelak, ya abangku!
***
"Puja dan puji sebanyak jumlah bilangan pasir di pantai dan sebanyak buih di lautan hanya untuk-Mu ya Rabb...", status Facebook Abang Iwan sebulan sebelum Ia menghadap Rabb-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar