Translate

Senin, 20 Juni 2011

Yang Manis, Yang Indah, Yang Tak Terlupakan





Bromo Permai, Kami datang membawa cinta
1 Maret 2011

Bismillahhirrahmannirrahim ..
Kumulai ceritaku. Hari pertama di bulan Maret, hari yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Hari ini aku bersama teman- teman BOOK FOR MONTAIN kembali memulai aksi. Kali ini, SDN Ngadirejo, Kec Sukapura, Kab Probolinggo, Jawa Timur yang kami pilih. Sekolah ini terletak di lereng gunung Bromo, gunung yang keelokanannya tersohor di seluruh penjuru dunia. Kami memilih gunung ini sebagai objek aksi karena sejak bulan November tahun lalu hingga mengalami erupsi yang berkepanjangan. Tujuan kami satu; membawa cinta untuk anak-anak Ngadirejo, lereng Bromo!

Desa Ngadirejo, ketika kami tiba di sana mirip keperti Desa mati. Kenapa? Tak ada lagi hijau terlihat. Pepohonan semua menghitam, mati karena hujan abu dan pasir Bromo yang sudah berlangsung selama tiga bulan ini. Ladang kentang, kubis, strawberi, semua terkubur habis oleh pasir. Tak sebatang pun tersisa.  Pucuk-pucuk cemara yang berderet-deret sepanjang bukit hitam sudah. Jalanan juga penuh pasir. Di sisi kanan kirinya penuh timbunan pasir hasil pengerukan warga dari badan jalan. Sudah berkali-kali dikeruk, tetapi tetap saja pasir terus menutupi jalan karena hingga kami tiba di Ngadirejo sepertinya belum ada tanda-tanda hujan pasir akan segera berhenti.

Atap rumah juga penuh dengan pasir. Tiap hari kami melihat warga membersihkan pasir yang menutupi atap rumah. Jika tidak setiap hari dibersihkan, maka atap rumah akan roboh karena tak kuat menahan pasir yang terus menebal. Beberapa rumah bahkan sudah tak sempat lagi diselamatkan, roboh oleh beratnya pasir.  Amukan hujan pasir juga mengganggu aliran listrik dan air. Selama sepekan kami berada di Ngadirejo, hanya sehari listrik hidup. Begitu juga air. Kami harus sangat hemat menggunakan air karena jumlahnya yang terbatas.

Tiga bulan sudah warga Ngadirejo hidup dalam keterbatasan air, listrik dan bahan makanan. Tak tahu akan berapa lama lagi keadaan ini berlanjut karena tak ada yang tahu kapan erupsi Bromo akan berhenti. Kalaupun akan berhenti dalam waktu dekat ini, warga yang mayoritas adalah petani ini harus menunggu setidaknya setahun untuk mengolah tanahnya agar siap untuk kembali ditanami.

Kami datang ke Ngadirejo tak membawa sesuatu yang berharga untuk mereka kecuali hanya cinta. Cinta yang kami wujudkan berupa buku dan ilmu. Kami memang belum bisa membantu kesulitan mereka menghadapi bencana alam ini. Tapi kami datang untuk mengajak anak-anak kembali tersenyum, kembali meneguhkan cita-cita mereka, kembali melihat dunia melalui buku-buku yang kami bawa. Hanya itu, tidak lebih. Semoga yang tak seberapa ini bermanfaat untuk mereka, anak-anak lereng Bromo. 

Mereka disebut orang Tengger

Warga Nagadirejo adalah suku Tengger, suku yang secara umum mirip dengan suku Jawa. Bahasa yang mereka gunakan juga Bahasa Jawa. Akan tetapi, ada cukup banyak kosa kata yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Misalnya, kata “pakde” dalam bahasa Jawa pada umumnya berarti “paman”. Akan tetapi, dalam bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat Tengger “pakde” berarti “kakek”. Itulah keistimewaan Bahasa masyarakat Tengger.

Secara fisik, suku Tengger juga hampir sama dengan  suku Jawa. Perbedaaannya hanya pada matanya. Orang Jawa secara umum mempunyai kornea mata berwarna hitam walaupun ada sebagian yang berwarna kecoklatan. Sedangkan orang Tengger mayoritas mempunyai kornea mata berwarna kecoklatan yang khas. Kalau kita cermati mata mereka, terutama anak-anak akan jelas sekali keindahannya.

Lalu, kalau kita berbicara tentang agama orang Tengger, mereka adalah pemeluk agama Hindu. Pada prktiknya, agama Hindu orang Tengger cukup berbeda dengan agama Hindu orang Bali. Hindu di Tengger banyak mendapat pengaruh dari budaya Kejawen dan budaya nenek moyang mereka. Misalnya, adanya upacara Karo dan Kasada, yaitu upacara untuk menghormati leluhur mereka yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger. Orang Tengger percaya bahwa asal mula suku Tengger adalah keturunan dari kedua orang ini. Nama Tengger sendiri juga diambil dari kedua nama orang ini. TENGGER = Rara anTENG dan Jaka seGER . Untuk menghormati nenek moyang mereka ini, maka diadakanlah upacara Karo dan Kasada yang berupa pelarungan semua hasil pertanian ke dalam kawah gunung Bromo.

Add caption
Itulah sekilas tentang etnografi masyarakat Tengger. Sedikit banyak kami telah mempelajarinya ketika kami seminggu tinggal bersama masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sayuran ini. Sambutan yang hangat kami rasakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Desa Ngadirejo, lereng Bromo ini. Selama seminggu ini kami dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok lak-laki tinggal di rumah keluarga Pak Shinta sedangkan yang perempuan tinggal di keluarga Pak Kawula. Keduanya memberikan sambutan yang luar biasa pada kami.

Tak bisa kami lupakan kehangatan keluarga Pak Kawula. Tiap pagi Ibu Kawula bangun lebih pagi dari yang lainnya untuk memasakkan sarapan kami. Tak lupa juga dimasakkanya air hangat untuk mandi kami. Tapi, selalu saja kami tak berani mandi pagi karena begitu dinginnya udara pagi di Ngadirejo. Kami hanya menggunakan air hangat itu untuk cuci muka dan gosok gigi. Selesai berbenah diri, segelas susu hangat sudah tersedia untuk masing-masing kami. Juga, perapian sudah dinyalakan. Maka, Pak Wul, begitu kami menyapa Pak Kawula, langsung memepersilahkan kami duduk di depan perapian sambil menikmati segelas susu hangat dan biskuit.

Sarapan, makan siang dan makan makan malam nyaris tak pernah terlambat Ibu Wul siapkan untuk kami. Juga, air hangat untuk mandi sore. Kalau malam tiba, beliau benarkan selimut kami ketika selimut kami bergeser. Kami benar-benar diperlakukan seperti anak-anak Beliau sendiri. Beribu ucapan terima kasih rasanya tidak akan sebanding dengan kebaikan keluarga Pak Kawula pada kami. Arigatou gozaimasu, thank you so much, danke, xie xie ni, kamsa hamnida, syukron, mercy, terima kasih, matur nuwun, kuucapkan untuk keluarga Pak Wul.

Tidak ada komentar: