Translate

Senin, 22 Oktober 2012

Awal dari Perjalanan Panjang; Sebuah Refleksi


Bulan Oktober  2010, Jogja kembali menangis. Sepertinya belum lama dia berduka saat gempa besar mengguncangnya, tahun 2006 lalu.  Ya, kali ini giliran Merapi yang membuat Jogja kembali menangis. Tidak kurang dari 3 bulan Merapi terus-menerus menyemburkan lava pijar. Ini membuat puluhan ribu orang mengungsi, ribuan orang kehilangan rumah dan mata pencaharian. Juga,  puluhan orang meninggal dunia saat terjadi puncak letusan.

Bagiku, ini adalah bencana alam terdahsyat yang pernah ku alami. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melihat orang berbondong-bondong mengungsi dalam keadaan panik, orang-orang tidur di tenda-tenda pengungsian berlindung dari dinginnya malam dan hujan debu abu vulkanik yang terus menerus turun.
                
Akibat peristiwa itu juga, aktivitas ekonomi, perkantoran dan transportasi umum di sekitar Merapi sempat lumpuh selama berminggu-minggu. Bahkan, kampusku yang berjarak lebih kurang 20 km dari puncak Merapi diliburkan selama 2 Minggu karena terkena abu vulkanik yang cukup tebal dan dijadikan lokasi pengungsian. Tidak sedikit mahasiswa yang kemudian menjadi relawan untuk menolong para pengungsi baik yang berada di kampusku maupun lokasi-lokasi pengungsian lain.
                
Bersyukur saat itu aku mempunyai teman-teman yang sigap merespon peristiwa ini dengan sangat positif. Tanpa banyak bicara, kami segera berkumpul memikirkan langkah apa yang bisa kami lakukan sesegera mungkin. Maka, kami pun memutuskan untuk membuat perpustakaan keliling bagi anak-anak yang berada di pengungsian. Kenapa perpustakaan keliling? Pertama, itu yang paling memungkinkan karena mengingat kami semua mempunyai buku-buku bacaan. Kedua, anak-anak di pengungsian tidak bisa lagi masuk sekolah padahal mereka pun masih tetap butuh asupan pengetahuan pada saat di lokasi pengungsian. Ketiga, untuk kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang sudah banyak dipikirkan oleh relawan-relawan lain. Maka, akhirnya perpustakaan keliling menjadi pilihan. Hanya bermodalkan buku-buku bacaan yang kami punya, kami membuka perpustakaan di tempat-tempat pengungsian di sekitar Kabupaten Sleman dan Magelang.
                
Awalnya hanya perpustakaan keliling, kemudian ditambah kegiatan trauma healing berupa permainan-permainan edukatif bagi anak-anak. Setelah kegiatan ini berjalan beberapa hari, kami menyadari bahwa situasi Merapi belum bisa diprediksi kapan akan membaik. Ini berarti belum bisa dipastikan kapan anak-anak akan bisa kembali ke rumah dan memulai lagi aktivitas belajar di sekolah. Oleh sebab itu, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran tambahan bagi mereka di lokasi pengungsian. Maka, sejak itu kami menamai kegiatan kami menjadi “Sekolah Darurat Merapi”. Semua mengalir begitu saja. Semakin hari, semakin banyak ide-ide kreatif muncul dari teman-teman untuk membuat kegiatan ini semakin menarik dan tentu saja bermanfaat bagi anak-anak di pengungsian. Juga, semakin banyak teman-teman yang bergabung bersama kami menjadi relawan yang berkeliling ke pusat-pusat pengungsian.
                
“Selalu saja jalan untuk setiap niat baik”. Itu hikmah yang kami peroleh. Selama kegiatan ini kami jalankan, selalu saja ada tangan-tangan tak terlihat yang membuat kegiatan kami tetap berjalan. Satu hal yang tak bisa aku lupakan adalah saat kebun binatang Germbiraloka Jogja memberi kesempatan kepada anak-anak pengungsi untuk berwisata ke sana dengan cuma-cuma. Kami segera menyambut tawaran itu. Maka, kami merencanakan perjalanan wisata bagi anak-anak di pengungsian desa Borobudur, Magelang. Seketika itu pula, ada relawan yang menyumbang dana untuk menyewa bus yang akan kami gunakan dari Magelang sampai Gembiraloka. Selain itu, ada juga relawan yang mau menyediakan konsumsi bagi anak-anak selama perjalanan wisata itu. AlhamdulillahJ.
                
Dan hari yang direncanakan itu pun tiba. Anak-anak berangkat dengan penuh semangat dan antusiasme. Sepanjang perjalanan kami bernyayi dan bertepuk-tepuk semangat. Sesampainya di lokasi yang kami tuju, anak-anak bersemangat melihat-lihat hewan-hewan koleksi Gembiraloka. Sesekali mereka bertanya, tertawa, berlari-lari saat melihat ada hewan yang menarik perhatian mereka. Sungguh, melihat tawa mereka adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi kami.   
                
Bagiku, ini adalah pengalaman yang luar biasa. Sebelumnya, bisa dikatakan aku sangat jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan semacam ini. Melalui peristiwa Merapi ini sepertinya Allah memberiku kesempatan besar untuk belajar berbagi, belajar berempati dalam pengertian yang lebih jelas. Ya, aku sangat bersyukur.
                
Aku juga sangat bersyukur karena Allah mempertemukanku dengan teman-teman yang hebat. Mereka tidak banyak cakap, tapi banyak berbuat. Mereka konkrit. Setiap ide yang muncul selalu diwujudkan. Ide-ide sederhana yang kemudian diwujudkan dengan tindakan nyata.
                
Saat ini tahun 2012. Tak terasa sudah 2 tahun peristiwa Merapi berlalu. Sungguh, aku tidak menyangka kebersamaan kami sejak 2 tahun lalu itu melahirkan sebuah komunitas bernama BOOK FOR MOUNTAIN (BFM) yang hingga detik ini masih aktif berkegiatan. Bahkan, semangat kami tak secenti pun berkurang, justru semakin bertambah dengan kehadiran teman-teman baru yang dengan ikhlas bergabung bersama kami di BFM.
                
Setiap orang mempunyai titik balik, titik yang membuatnya meloncat lebih tinggi, berlari lebih jauh. Dan bagiku, titik balikku adalah pertemuanku dengan teman-teman BFM. Aku merasa hidupku menjadi lebih berarti, bermakna dan berwarna. Bersama BFM, aku berkesempatan belajar menyelami tempat-tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru dan memperoleh pengalaman-pengalaman yang juga baru. Inilah awal perjalananku, perjalanan yang insyaAllah akan membawaku menjadi seseorang yang lebih baik.

Terima kasih teman-teman BFM <3




               

Tidak ada komentar: