Translate

Kamis, 06 November 2014

Petra Aprilia Monica

Sebelum deployment PM, Juni 2012
Memasuki pekan ke-5 Pelatihan Intensif Pengajar Muda (PM) angkatan IV. Itu Senin sore, hari yang kami tunggu-tunggu karena saat itu adalah waktu diumumkannya lokasi penugasan kami, 71 calon PM .Setelah melewati pengumuman yang cukup mendebarkan, aku mendapat lokasi penugasan di Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat) beserta 8 teman lainnya yaitu Teh Nani, Teh Morin, Budi, Kokoh, Petra, Slam, Gilar dan Ical. Untuk lokasi penempatan, insyaAllah aku tidak keberatan karena dari awal aku memang tidak masalah akan ditempatkan dimanapun. Setelah tahu mendapat lokasi Bima, aku justru senang karena Bima berada di antara Pulau Lombok dan Flores yang terkenal itu. Belum lagi,Tambora dan Komodo,dua tempat eksotik yang nama besarnya tersohor di seluruh dunia menambah rasa bahagiaku. (Hmmm... ini mau ngajar apa jalan-jalan, Dita? hehe..)

Namun, membaca nama-nama teman yang akan menjadi teman se-timku setahun berikutnya, ada sedikit kekhawatiran. Ada satu nama yang membuatku khawatir apakah aku bisa berteman baik dengannya atau tidak. Dialah Petra Aprilia Monica. Pada dasarnya aku adalah orang yang bisa berteman dengan siapa saja. Akan tetapi, sebulan sudah aku mengenal Petra, aku merasa kesulitan mengakrabinya.

Menjadi Pengajar Muda adalah kesempatan pertamaku untuk berhubungan langsung dengan teman-teman dari berbagai universitas terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Mereka ternyata punya karakteristik yang cukup berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa Jogja seperti aku ini.Ya, sebulan pertama di camp pelatihan aku cukup sulit untuk berteman dengan masing-masing dari mereka.Salah satu yang paling sulit adalah Petra. Sebulan awal itu, kami hanya saling menyapa ringan, belum pernah mengobrol panjang lebar.

Di mataku, Petra adalah orang yang keras kepala (belakangan setelah kami se-tim, ia mengakui sifat keras kepalanya itu), selalu dominan dalam tim, sangat logis dan thinking (tidak seperti aku yang feeling),serta kurang mau mendengar pendapat orang lain.Semua itu membuatku secara tak sadar memasang sekat dengannya. Dia begitu berbeda denganku, pikirku saat itu. Namun, lambat laun aku sadar. Aku tidak boleh seperti itu. Bagaimanapun, kami akan menjadi rekan kerja setahun ke depan. Maka, aku pun berusaha membuka diri.

Paruh kedua di camp pelatihan, fasilitator tim kami selalu membantu kami untuk bisa menjadi tim yang solid. Kami bersembilan berusaha saling mengenal lebih dalam, memberi dan menerima masukan satu sama lain sehingga ketika masa deployment kami tiba, tim kami menjadi lebih solid.

Ternyata, kecamatan tempatku bertugas adalah yang paling dekat dengan kecamatan Petra. Kami pun sering ke kota bersama, mengerjakan program tim. Aku mengunjunginya, ia pun mengunjungiku. Kami menjadi sangat akrab, sesuatu yang awalnya seperti tidak mungkin terjadi.

Lama-lama kami saling tahu bahwa kami mempunyai cerita hidup yang hampir mirip, kami sama-sama dibesarkan oleh orang tua tunggal, Ibu. Namun, kami tumbuh dewasa dengan sifat yang berbeda. Ia menjadi perempuan yang tegas dan kuat sedangkan aku menjadi perempuan yang lemah dan mudah menangis. Aku ingat betul suatu siang di Arta Bima Mall, kami berdua minum susu kedelai sambil bercerita tentang masa kecil masing-masing. Ia yang mengawali. Ia bercerita dengan santai dan terkesan tanpa beban. Sedangkan aku? Saat giliranku bercerita, sekuat tenaga aku menahan air mata biar bisa terlihat tegar seperti dia. Tapi ternyata aku tidak bisa, akhirnya jebol juga bendungan air mataku.

"Kamu tuh gak pernah nangis, Pet?", tanyaku.
"Pernahlah. Tapi nangis habis sholat aja. Setelah itu biasa-biasa lagi", jawabnya tegas.

Aih, aku malu sekali. Selama di Bima saja, sudah beberapa kali aku menangis di depan teman-teman. Petra, siang itu kamu mengajariku tentang ketegaran.

Mengerti aku yang seperti ini, Petra tahu bagaimana memperlakukanku. Dia juga ternyata adalah seseorang yang sangat perhatian dengan teman-temannya. Satu hal yang tidak bisa ku lupakan adalah saat hari ulang tahunku. Dengan mengendarai motor yang ia pinjam dari Ibu Kepala Sekolahnya, 2 jam perjalanan melalui jalan pengunungan yang terjal, ia datang ke rumahku membawa kue ulang tahun yang sengaja dibuatkan oleh ibu angkatnya. Aku sangat terharu.Terima kasih Petra, terima kasih.

Satu tahun di Bima pun berlalu. Aku banyak belajar darinya. Setelah pulang dari penugasan, kami menjadi jarang bertemu karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Meskipun begitu, masih banyak hal yang bisa ku pelajari darinya. Pada suatu petang di Bulan Mei lalu, mamanya dipanggil oleh Allah SWT. Setelah menerima kabar itu, aku langsung menelponnya. Suara ambulan meraung-raung di ujung telepon. Aku gemetar, air mataku jatuh. Namun, dengan tegarnya Petra berkata, "Aku gak papa dit, Aku Ikhlas". Sama sekali tak ada isak tangis terdengar.

Allah adalah sebaik-baik perencana dan pengatur. Sebelum mamanya dipanggil, Awal Januari lalu Petra menikah, dengan lelaki baik sekaligus pintar. Gilang namanya. Aku hadir di pernikahan mereka itu.Terlihat aura kebahagiaan di mata Petra dan juga sang mama yang sebenarnya sudah mulai sakit beberapa bulan sebelumnya.

Oktober lalu, Gilang sudah berangkat ke negeri para Samurai untuk belajar S2 di Universitas Tokyo dengan beasiswa dari Kementrian Pendidikan Jepang, Monbokagakusho. Dalam waktu dekat ini Petra akan segera menyusul sang suami untuk membersamai studi sang suami. Ah Petra,kehidupanmu selalu menginspirasi. Semoga esok dan seterusnya juga selalu begitu. Tidak hanya menginspirasi untukku, tetapi juga untuk banyak orang.
17 April 2013


1 komentar:

Unknown mengatakan...

mba pipit.. skrg berhijab ya.. masih inget aku ngga.. vera smp 30 dulu 😊