Translate

Minggu, 15 November 2015

Sekali Lagi, Islamofobia

Tahun ini, 2015, dibuka dengan berita serangan pada kantor redaksi majalah satire Perancis, Charlie Hebdo. Bisa ditebak, kepolisian Perancis menyatakan bahwa pelaku serangan tersebut adalah sekelompok muslim, bagian dari jaringan Al-Qaeda katanya. Sejak peristiwa itu, gelombang Islamofobia di negara-negara barat makin menguat. 

Masih segar ingatan kita pada peristiwa tersebut, kita kembali dikejutkan dengan berita senada yang juga terjadi di Perancis. Kali ini, korbannya semakin banyak. Lebih dari 100 orang tewas dalam serangan yang lagi-lagi menurut otoritas keamanan setempat dilakukan oleh sekelompok muslim tertentu. Laman BBC Indonesia menyebutkan bahwa, "Penyelidik Prancis sudah mengungkap identitas seorang penyerang yang menewaskan 129 orang di Paris. Nama warga negara Prancis Omar Ismail Mostefai disebut oleh media lokal dan parlemen Prancis."

Media sosial seketika dipenuhi dengan ungkapan simpati pada peristiwa tersebut. Dan muslim pun seolah sedang dipojokkan atas peristiwa tersebut sehingga sebagian merasa perlu ikut bersalah. 

Ada sebuah ironi di sini. Ketika Palestina bertubi-tubi diserang oleh Israel dan kawanannya, mengapa warga dunia seolah tutup mata dan tak bereaksi apa-apa? Ketika dalam waktu yang hampir bersamaan dengan serangan Paris, terjadi pula serangan mematikan di Beirut, mengapa mata dunia seolah hanya tertuju pada Paris? 

Media massa pun tidak berimbang memberitakan semua itu. Jika yang menjadi korban adalah barat, sepertinya sah-sah saja menjadikan muslim sebagai satu-satunya tersangka. Media kompak melabelkan muslim sebagai teroris. Sementara itu, Amerika Serikat yang jelas-jelas menyerang Iraq dan Afganiskan sehingga menewaskan puluhan ribu jiwa, tak pernah dilabeli sebagai teroris! Yang terjadi justru sebaliknya, "Amerika adalah pembasmi teroris." Dan anehnya, dunia sepakat dengan label itu.

Kita (muslim) tanpa sadar kadung ikut menerima pandangan itu. Semua pemberitaan yang memojokkan Islam kita telan mentah-mentah. Padahal, jika kita mau berfikir sedikit saja, banyak kejanggalan yang ada pada berita-berita yang dirilis oleh media massa. Seperti yang kita baca pada laman BBC Indonesia berikut ini. 



Dikatakan bahwa, "Sebuah paspor Suriah, ditemukan dekat jasad seorang pelaku penyerangan di Stade de France, dipakai untuk melewati Pulau Leros, Yunani, bulan lalu, kata pejabat Yunani". Bukankah ini aneh? Di belahan bumi manapun, pelaku kejahatan selalu sebisa mungkin menghapus jejak mereka agar meraka atau kelompok mereka tidak tertangkap. Jika benar pria Suriah ini adalah salah satu pelaku serangan tersebut, apakah mungkin ia sengaja membawa paspornya saat aksi itu ia lakukan? Dan lagi, mengapa paspor tersebut bisa tetap utuh sementara jasad semua yang dinyatakan sebagai pelaku itu sudah hancur berkeping-keping? Benar-benar sebuah lelucon yang menggelikan!

Episode penyulutan Islamofobia mungkin belum akan berhenti pada aksi Perancis kali ini. Sebagai orang awam, kita mungkin tidak akan benar-benar tau siapa sesungguhnya sutradara dari semua aksi semacam itu. Tapi, setidaknya kita perlu selektif menyaring berbagai berita yang menyudutkan Islam. Dan sepertinya, kita pun perlu punya keberanian untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang menyudutkan agama kita (Islam).

Tidak ada komentar: