Translate

Sabtu, 05 Maret 2016

Langkah Kecil Purina

Kami adalah teman sekantor. Purina bertugas di lantai 4, sedangkan saya di lantai 7. Perbedaan ruang kerja ini membuat kami sangat jarang bertemu dan kurang begitu akrab. Sesekali bertemu di lobi kantor, saya hanya sekedar menyapanya, "Halo Puri!"

Awal pekan lalu kami mengikuti diklat sebagai persyaratan pengangkatan pegawai di kantor kami. Tak disangka, di asrama kami ditempatkan di kamar yang sama.

Kami tiba di balai diklat menjelang asar. Setelah mendapat informasi bahwa kami ditempatkan di kamar yang sama, kami berjalan perlahan menuju kamar, di lantai 2. Saat itulah saya baru benar-benar memperhatikan bagaimana Puri berjalan. Kaki kanannya sepertinya agak sulit digerakkan. Ada dua pilihan jalur menuju lantai 2; anak tangga biasa dan jalur landai namun lebih panjang yang biasanya dipakai oleh pengguna kursi roda. Puri memilih yang kedua. 

Tiba di kamar dan membereskan barang bawaan, kami bersiap untuk sholat asar. "Kita berjama'ah yuk?", ajak saya. "Hayuk!", jawab Puri singkat. 

Saya mengimami sholat asar kami sore itu. Jujur, saya kurang berkonsentrasi saat gerakan sholat kami sampai pada posisi "duduk di antara dua sujud". Puri tidak duduk secara sempurna. Ia duduk seperti posisi setengah berlutut. Sepertinya sendi bagian mata kakinya tidak bisa ditekuk. Saya semakin tidak bisa konsentrasi saat kami sampai pada posisi takhiyat. Kaki Puri nampak kesusahan menopang berat badannya. 

Berhari-hari saya tidak berani menanyakan ada apa sesungguhnya dengan kaki kanan Puri. Bukankah setiap orang mempunyai hal-hal tertentu yang kurang nyaman untuk dibahas? Bisa jadi, bagi Puri, memberi penjelasan tentang kondisi kakinya pada orang baru seperti saya ini akan membuatnya kurang nyaman. Maka, saya simpan pertanyaan itu dalam hati.

Saya semakin penasaran karena Puri selalu mengenakan kaos kaki selama di kamar. Saat keluar dari toilet pun Puri selalu sudah mengenakan kaos kaki. 

Rasa penasaran saya terjawab sudah pagi tadi. Saat saya selesai Sholat Sunah Fajar, saya melihat Puri keluar dari toilet tanpa kaos kaki. Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Ya Allah, ternyata Puri memakai kaki palsu sebagai pengganti kaki kanannya yang kurang sempurna. Seketika saya ingin menangis tapi saya tahan karena mungkin itu justru akan mengecilkan perasaan Puri.

Siang harinya, saat kami istirahat siang, kami mengobrol tentang teman-teman kami yang disabilitas. Lalu, pelan-pelan saya bertanya, "Kalau Puri, kakinya sakit sejak kapan?" Dengan ringan Puri menjawab, "Ini udah sejak lahir, Mbak. Bagiku ini udah biasa sih Mbak. Soalnya sejak aku lahir kakiku memang udah begini, jadi gak ada yang berubah. Yang mungkin sulit itu seperti kasusnya Mas Bina. Soalnya dia kan lagi kuat-kuatnya, terus kecelakaan dan sekarang gak bisa jalan. Itu pasti bikin down banget."

Sungguh, saya sangat kagum dengan Puri. Keterbatasan fisik tidak membuatnya berputus asa akan rahmat Allah. Setelah lulus SMA dari Lampung, kampung halamannya, ia memilih merantau sendirian ke Semarang. Jurusan Statistika Universitas Diponegoro dipilihknya untuk menimba ilmu. Tepat 4 tahun anak bungsu dari 4 bersaudara ini meraih gelar sarjananya. Saat ini Puri sudah menikah dan tengah mengandung 2 bulan.

Mengenal dan mengakrabi Puri adalah cara yang sepertinya Allah berikan bagi saya untuk semakin bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan pada saya. Dan bersyukurnya anggota badan adalah dengan dimanfaatkannya untuk beramal kebaikan. Kaki yang kuat, semoga selalu dipakai untuk melengkah ke tempat-tempat baik. Lisan yang fasih semoga tidak dipakai untuk melukai hati sesama. Dan seterusnya, dan seterusnya. Semoga Allah Yang Maha Pengampun, mau mengampuni anggota badan yang masih sering lalai bagaimana caranya bersyukur ini. 



Tidak ada komentar: