Salah satu kecerian dari masa kecilku yang masih tersimpan rapih di memoriku hingga saat ini adalah keceriaan lebaran. Di desaku setiap lebaran tiba ada tradisi "bancakan" yaitu dibagikannya makanan (nasi+urap+telur) dan uang (semacam angpao) kepada anak-anak. Selesai bancakan di satu rumah, segera saja bergegas ke rumah lainnya, begitu seterusnya. "Habis dari sini, nanti tempat mbak Umini ya", demikian pemberitahuannya. Selesai di tempat mbak Umini, disusul pemberirahuan selanjutnya, "Ke tempat bude Tri ya." Saking semangatnya, kami kadang-kadang sampai harus berlarian. Kalau sudah kesusahan membawa nasi bancakan, kami membawa pulang dulu nasi itu lalu buru-buru meluncur ke tempat bancakan berikutnya. Di sela-sela itu, kami biasanya menghitung perolehan uang dan saling membandingkan satu sama lain. Dan anak yang memperoleh uang terbanyak biasanya akan merasa jumawa.
Biasanya nasi bancakan yang kami peroleh itu tidak kami makan. Bisa dibayangkan harus memakan semua nasi itu? Dilihat dari jumlah nasi yang diperoleh, sudah bisa dipastikan kami tidak mungkin bisa menghabiskannya. Nasi-nasi itu pada akhirnya hanya menjadi makanan untuk ayam peliharaan. Ya, begitulah kenyataannya. Anak-anak seperti aku, obsesi tunggal mengikuti bancakan adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Pada suatu lebaran, entah waktu aku kelas 5 atau 6 SD, ada seorang kerabatku yang melakukan terobosan baru dalam bancakan. Namanya mas Sriyono Aji, seorang insinyur pembangunan yang tengah merintis karir cemerlang di ibukota. Begitulah orang-orang di desa kami sering menyebutnya. Pada waktu itu, ia meminta ibunya untuk tidak perlu membagi-bagikan nasi bancakan dan uang untuk anak-anak karena ia sudah menyiapkan alat tulis lengkap (buku, pensil, pulpen, penghapus, penggaris dan wadah pensil). Setiap anak diberi satu set alat tulis lengkap itu. Aku dan teman-temanku sangat senang menerima itu. Dan ternyata alat tulis jelas bermanfaat untuk kami daripada uang yang kadang hanya kami gunakan untuk membeli jajan atau mainan.
Kebermanfaatan. Mungkin itulah pesan yang ingin mas Aji sampaikan untuk kami warga desa. Bertambah bilangan tahun, karir mas Aji semakin bersinar. Bahkan ia berhasil membuat perusahaan kontraktor sendiri dan merekrut pemuda desa kami untuk bekerja di perusahaannya itu. Sekali lagi, apa yang ia kerjakan adalah berlandaskan asas manfaat. Bahwa segala sesuatunya harus membawa manfaat untuk banyak orang.
Mengingat fragmen masa kecilku ini, membuatku spontan mengingat fragmen lainnya. Lebih dari setahun yang lalu, Pak Anies Baswedan pernah berpesan sesuatu pada kami Pengajar Muda angkatan IV yang baru saja purna tugas. Beliau mengatakan bahwa pekerjaan yang baik itu, memiliki 3 ciri. Pertama, secara sosial ia bermanfaat besar untuk orang banyak (socially impactfull). Kedua, secara ekonomi ia membuat kita mapan (financially strong). Ketiga, secara intelektual ia memacu kita untuk semakin cerdas (Intelectually growing).
Apakah ciri-ciri di atas sudah ada pada pekerjaanku sekarang? Hmm.... sepertinya belum. Baiklah, memang harus segera menulis ulang mimpi-mimpiku dan bersungguh-sungguh meraihnya. Bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar