Translate

Kamis, 23 Oktober 2014

Mereka Memanggil Saya "Ibu"

SDN Soro Afu adalah satu di antara 36 Sekolah Dasar yang ada di Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sekolah yang tepat berada di teluk Waworada inilah saya pernah bertugas menjadi guru selama setahun (Juni 2012-Juni2013). Bagi saya yang bukan berlatar belakang pendidikan keguruan ini, menjadi guru di daerah terpencil seperti itu memberi tantangan tersendiri. Namun, karena saya pada dasarnya menyukai anak-anak dan kegiatan belajar mengajar,saya bisa dengan cukup mudah menyesuaikan diri.

Kecintaan saya pada anak-anak dan dunia ajar-mengajar mulai saya rasakan sejak saya menjadi guru les privat anak-anak SD selama saya kuliah di Jogja.Lalu, pada pertengahan 2010 saya dan teman-teman membuat komunitas BOOK FOR MOUNTAIN yang ternyata membuat saya semakin cinta mengajar.Cinta itu rasanya semakin tumbuh subur hingga akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar sebagai Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar yang dicetuskan oleh Pak Anies Baswedan. Saat itu saya betul-betul mantap. Tak ada keraguan sedikitpun.



Setelah melalui serangkaian tes yang panjang, saya bersyukur karena saya akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari Pengajar Muda angkatan IV.Sebelum berangkat, kami 72 CPM (Calon Pengajar Muda) diberi pelatihan intensif selama 2 bulan di Purwakarta, Jawa Barat. Pada saat itu, Ibu Nia, Kepala Sekolah di camp pelatihan kami pernah mengatakan, "Melihat Dita itu ya melihat guru. Karena jiwa guru itu ada pada Dita". Saya terharu sekaligus terkejut. Terkejut karena kata-kata Ibu Nia itu seperti pengingat bahwa sebentar lagi saya akan dipanggil "ibu guru" oleh 151 siswa di SDN Soro Afu. Ibu guru? Ya, ibu guru, sebuah panggilan yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang bukan hanya dituntut ketika di dunia melainkan juga di akhirat.

Dan ternyata tanggung jawab sebagai guru itu memang besar. Efeknya, saya menjadi sangat berhati-hati dalam banyak hal.Dalam berbicara misalnya, saya harus berhati-hati memilih diksi yang baik saat berbicara dengan orang lain terutama dengan anak-anak. "Dita, hati-hati kalau bicara. Kamu itu guru!", begitu bisikan hati kecil saya. Perasaan akan tanggung jawab itu secara tidak langsung telah menjadi pagar bagi saya agar berjalan pada jalur yang benar.Awalnya memang berat. Misalnya, ketika saya marah, sebisa mungkin saya harus menahannya dan tidak menunjukkannya di depan anak-anak.Berlatih bersabar, itulah salah satu pelajaran paling berharga yang saya peroleh setelah menerima panggilan "ibu guru" dari anak-anak. Terima kasih sayang, selama setahun menjadi guru kalian, sesungguhnya ibulah yang banyak belajar.


***

Saat ini saya sudah tidak lagi berprofesi sebagai guru tetapi sebagai penerjemah di sebuah perusaahan asing di Jakarta. Kemarin sore, sepulang kerja saya membawa motor saya ke tempat cuci motor. Sembari menunggu motor dicuci, saya mengobrol dengan seorang perempuan muda yang juga pelanggan jasa cuci motor itu.

Si mbak : Habis pulang kuliah mbak?

Saya    : Enggak mbak, kerja.
Si mbak : Guru ya?
Saya    : Hah? emangnya saya keliatan kayak guru ya mbak?
Si mbak : iya, kayak guru.

Si mbak tadi adalah orang ke sekian kalinya yang mengira saya adalah guru. Di kantor, di angkot, di warung, di tempat cuci motor, hampir semua orang baru yang saya temui di Jakarta mengira saya adalah guru.Tetiba perasaan rindu untuk mengajar, kembali muncul. Ya, saya ingin kembali mengajar, suatu saat nanti. Saya akan menyiapkannya baik-baik karena bagi saya, mengajar itu bukan pekerjaan main-main. Bukan pula pekerjaan yang terakhir dipilih jika tidak bisa meraih pekerjaan lainnya. Mengajar harus dilakukan sepenuh hati. Mengajar harus menjadi pilihan pertama.






Tidak ada komentar: