Beberapa hari lalu saya menonton video TEDx Tokyo episode Naomi Kawase, seorang sutradara film dan penulis novel ternama di Jepang. Di dalam video yang saya download dari situs Youtube tersebut Naomi berbercerita tentang perjalanan hidupnya dari lahir hingga menjadi sutradara terkenal seperti saat ini.
Di pedesaan di daerah Nara ia tumbuh dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Sejak kecil Naomi tidak pernah mengetahui siapa orang tuanya yang sesungguhnya. Dalam perjalanannya memasuki usia remaja, ia kemudian dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupannya. "Untuk apa saya lahir? Apakah sebaiknya saya tidak perlu ada di dunia ini? Saya ini sebenarnya siapa? Pertanyaan semacam itu terus menggelayut di fikiran mudanya.
Namun, lambat laun pemberontakan yang terjadi di dalam jiwanya itu teredamkan oleh kasih sayang yang begitu besar dari orang tua angkatnya. Ia sadar bahwa momen-momen kebersamaannya dengan orang tua angkatnya itu sangat berharga. "Yang seperti itu tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya, kan?"pikir Naomi suatu ketika. Saat itulah ia kemudian mulai membuat film dokumenter. Ia berharap melalui film ia bisa mengenang kembali peristiwa yang sudah terlewati. Rasa, nilai atau makna yang dulu ada dapat dihadirkan kembali saat ia melihat film dokumenternya. Awalnya memang sesimpel itu alasan Naomi membuat film.
Semakin lama Naomi menemukan bahwa sebagai karya seni, film adalah salah satu karya yang bisa dipakai oleh si pembuatnya untuk menyampaikan pesan tertentu. Maka, bagi Naomi, film tidak ada bedanya dengan alat komunikasi. Dengan kata lain, film adalah alat yang ia pakai untuk menuangkan ide dan perasaannya agar bisa ditangkap oleh orang umum. Kedalaman pesan yang ada di hampir semua film gubahannya inilah yang kemudian membuat Naomi beberapa kali menang di Festival Film Cannes, Perancis.
Jika Naomi membuat film untuk menyampaikan pesannya, maka Pramudya Ananta Toer menyampaikan pesannya dengan menulis novel. Penulis tetralogi Bumi Manusia itu pernah menulis, "Jika umurmu tak sepanjang dunia, maka sambunglah dengan tulisan...". Ya, merekalah seniman yang berkarya karena ada nilai dan pesan yang ingin mereka sampaikan. Maka, karya-karya mereka tidak lain adalah "pengingat" bagi para penikmat karya.
Lalu, bagaimana dengan kita? Sudah siap untuk berkarya atau masih merasa cukup menjadi penikmat karya?
Di pedesaan di daerah Nara ia tumbuh dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Sejak kecil Naomi tidak pernah mengetahui siapa orang tuanya yang sesungguhnya. Dalam perjalanannya memasuki usia remaja, ia kemudian dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupannya. "Untuk apa saya lahir? Apakah sebaiknya saya tidak perlu ada di dunia ini? Saya ini sebenarnya siapa? Pertanyaan semacam itu terus menggelayut di fikiran mudanya.
Namun, lambat laun pemberontakan yang terjadi di dalam jiwanya itu teredamkan oleh kasih sayang yang begitu besar dari orang tua angkatnya. Ia sadar bahwa momen-momen kebersamaannya dengan orang tua angkatnya itu sangat berharga. "Yang seperti itu tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya, kan?"pikir Naomi suatu ketika. Saat itulah ia kemudian mulai membuat film dokumenter. Ia berharap melalui film ia bisa mengenang kembali peristiwa yang sudah terlewati. Rasa, nilai atau makna yang dulu ada dapat dihadirkan kembali saat ia melihat film dokumenternya. Awalnya memang sesimpel itu alasan Naomi membuat film.
Semakin lama Naomi menemukan bahwa sebagai karya seni, film adalah salah satu karya yang bisa dipakai oleh si pembuatnya untuk menyampaikan pesan tertentu. Maka, bagi Naomi, film tidak ada bedanya dengan alat komunikasi. Dengan kata lain, film adalah alat yang ia pakai untuk menuangkan ide dan perasaannya agar bisa ditangkap oleh orang umum. Kedalaman pesan yang ada di hampir semua film gubahannya inilah yang kemudian membuat Naomi beberapa kali menang di Festival Film Cannes, Perancis.
Jika Naomi membuat film untuk menyampaikan pesannya, maka Pramudya Ananta Toer menyampaikan pesannya dengan menulis novel. Penulis tetralogi Bumi Manusia itu pernah menulis, "Jika umurmu tak sepanjang dunia, maka sambunglah dengan tulisan...". Ya, merekalah seniman yang berkarya karena ada nilai dan pesan yang ingin mereka sampaikan. Maka, karya-karya mereka tidak lain adalah "pengingat" bagi para penikmat karya.
Lalu, bagaimana dengan kita? Sudah siap untuk berkarya atau masih merasa cukup menjadi penikmat karya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar