Dia dipanggil Tami. Nama panjangnya Uli Tri Utami. Aku pertama kali mengenalnya sekitar 12 tahun yang lalu, saat kami duduk di kelas yang sama yaitu kelas 2B SMPN 1 Karanganom. Saat itu kami tidak terlalu akrab. Dia masuk dalam golongan "anak gaul", sedangkan aku "anak rajin". Di sekolah kami, 2 golongan ini bak air dan minyak, tidak bisa bersatu.
Aku tidak punya kenangan khusus tentang Tami pada masa SMP kecuali saat kami seluruh anak kelas 2 mengikuti study tour di Bali. Waktu itu Tami memaksakan diri untuk tetap ikut pergi ke Bali padahal ia baru saja jatuh dari motor 2 hari sebelumnya. Jadilah selama study tour itu Tami berjalan terbata-bata karena masih ada luka di kakinya. Bahkan, saat naik-turun bus ia harus dibantu oleh teman-teman. Ya, itu saja yang ku ingat. Karena saat kelas 3 kami tak lagi duduk di kelas yang sama, praktis hampir tak ada komunikasi di antara kami.
Saat masuk SMA, tak disangka-sangka kami kembali menjadi teman sekelas. Lagi lagi kami tak terlalu akrab. Aku yang sedari kecil dilabeli sebagai "anak rajin dan prestatif" semakin ambisius saat SMA. Tiada hari tanpa belajar dan berorganisasi. Hampir tak pernah aku berfikir tentang main-main atau pacaran sebagaimana anak-anak gaul. Justru, saat itu satu label lagi melekat padaku yaitu "anak ROHIS".
Sebagai anak gaul, saat SMA ini Tami semakin menunjukkan eksistensinya. Dari cara berpenampilan misalnya, Tami me-rebonding rambutnya, memakai rok ketat dengan sabuk yang agak lebar, dan hem seragam dengan lengan sedikit pendek. Gaya seperti itu sangat populer di zaman itu.
Kami seolah hidup di dunia yang berbeda. Namun, siapa sangka setelah lulus SMA Tami berubah. Setelah lulus SMA, Tami berkuliah di UNY sedangkan aku di UGM. Pada suatu hari saat kami sudah semester 2 ia tiba-tiba menghubungiku dan betapa kagetnya aku saat akhirnya bertemu lagi dengannya. Ia sudah berjilbab rapih, lengkap dengan baju dan rok panjang nan longgar. Aku benar-benar sulit mempercayai perubahannya itu.
Tak berapa lama kemudian, kami bersepakat untuk mengontrak rumah bersama teman-teman muslimah lainnya. Kontrakan itu kami beri nama El-Zahra. Di tempat inilah kami bersama-sama belajar untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Rasa penasaranku terhadap perubahan Tami belum sepenuhnya terjawab hingga setahun kami di El-Zahra dan aku kembali dibuatnya tercengang saat ia memutuskan untuk nyantri di Ponpes mahasiswi Asma Amanina. Serius, Tam? Berkali-kali aku menanyakan tentang kesungguhannya.
Ternyata ia benar-benar mantap nyantri di bawah bimbingan Ustad Sholihun itu. Baiklah, aku mengapresiasi niatnya untuk menuntut ilmu. Semoga ia istiqomah, pikirku saat itu. Akan tetapi, tetap saja pertanyaan "kenapa" yang ada di benakku, belum tuntas terjawab.
Tanpa kami sadari, perlahan persahabatan kami berjalan samakin baik. Kami saling bercerita tentang apapun masalah kami. Kami menjadi pengingat satu sama lain. Kami tertawa dan menangis bersama. Akhirnya, benang merah proses hijrahnya Tami mulai sempurna terlihat. Ya, benang merah dari peristiwa batin yang amat panjang. Untungnya, rangkaian peristiwa batin itu mengantarkannya untuk mendekati Tuhannya. Semakin dekat dan terus mendekat.
Beberapa waktu yang lalu, Tami memintaku untuk menuliskan 3 hal baik yang ada pada dirinya yang sebaiknya dia lanjutkan. Maka, aku menulis tiga hal di bawah ini:
1. Tami selalu mendahulukan kepentingan sahabat daripada kepentingan pribadi
2. Tami selalu bersemangat mencari dan mendatangi majelis ilmu
3. Tami tidak pernah menyerah mengejar mimpi-mimpinya.
***
Pada akhir Agustus lalu, Tami berhasil menjadi salah satu pemakalah di sebuah konferensi Internasional bidang pengajaran Bahasa Inggris di Kuching Malaysia. Sebelum itu, Tami sudah berkali-kali mencoba mengikuti kegiatan serupa namun belum berhasil. Konferensi di Kuching tersebut adalah debut pertamanya untuk go international. *Berasa seperti Agnez Mo, hehee*
Tami sahabatku, teruslah berproses menjadi seseorang yang semakin baik. Baik di mata Allah, juga baik di mata manusia.
Aku tidak punya kenangan khusus tentang Tami pada masa SMP kecuali saat kami seluruh anak kelas 2 mengikuti study tour di Bali. Waktu itu Tami memaksakan diri untuk tetap ikut pergi ke Bali padahal ia baru saja jatuh dari motor 2 hari sebelumnya. Jadilah selama study tour itu Tami berjalan terbata-bata karena masih ada luka di kakinya. Bahkan, saat naik-turun bus ia harus dibantu oleh teman-teman. Ya, itu saja yang ku ingat. Karena saat kelas 3 kami tak lagi duduk di kelas yang sama, praktis hampir tak ada komunikasi di antara kami.
Saat masuk SMA, tak disangka-sangka kami kembali menjadi teman sekelas. Lagi lagi kami tak terlalu akrab. Aku yang sedari kecil dilabeli sebagai "anak rajin dan prestatif" semakin ambisius saat SMA. Tiada hari tanpa belajar dan berorganisasi. Hampir tak pernah aku berfikir tentang main-main atau pacaran sebagaimana anak-anak gaul. Justru, saat itu satu label lagi melekat padaku yaitu "anak ROHIS".
Sebagai anak gaul, saat SMA ini Tami semakin menunjukkan eksistensinya. Dari cara berpenampilan misalnya, Tami me-rebonding rambutnya, memakai rok ketat dengan sabuk yang agak lebar, dan hem seragam dengan lengan sedikit pendek. Gaya seperti itu sangat populer di zaman itu.
Kami seolah hidup di dunia yang berbeda. Namun, siapa sangka setelah lulus SMA Tami berubah. Setelah lulus SMA, Tami berkuliah di UNY sedangkan aku di UGM. Pada suatu hari saat kami sudah semester 2 ia tiba-tiba menghubungiku dan betapa kagetnya aku saat akhirnya bertemu lagi dengannya. Ia sudah berjilbab rapih, lengkap dengan baju dan rok panjang nan longgar. Aku benar-benar sulit mempercayai perubahannya itu.
Tak berapa lama kemudian, kami bersepakat untuk mengontrak rumah bersama teman-teman muslimah lainnya. Kontrakan itu kami beri nama El-Zahra. Di tempat inilah kami bersama-sama belajar untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Rasa penasaranku terhadap perubahan Tami belum sepenuhnya terjawab hingga setahun kami di El-Zahra dan aku kembali dibuatnya tercengang saat ia memutuskan untuk nyantri di Ponpes mahasiswi Asma Amanina. Serius, Tam? Berkali-kali aku menanyakan tentang kesungguhannya.
Ternyata ia benar-benar mantap nyantri di bawah bimbingan Ustad Sholihun itu. Baiklah, aku mengapresiasi niatnya untuk menuntut ilmu. Semoga ia istiqomah, pikirku saat itu. Akan tetapi, tetap saja pertanyaan "kenapa" yang ada di benakku, belum tuntas terjawab.
Tanpa kami sadari, perlahan persahabatan kami berjalan samakin baik. Kami saling bercerita tentang apapun masalah kami. Kami menjadi pengingat satu sama lain. Kami tertawa dan menangis bersama. Akhirnya, benang merah proses hijrahnya Tami mulai sempurna terlihat. Ya, benang merah dari peristiwa batin yang amat panjang. Untungnya, rangkaian peristiwa batin itu mengantarkannya untuk mendekati Tuhannya. Semakin dekat dan terus mendekat.
Beberapa waktu yang lalu, Tami memintaku untuk menuliskan 3 hal baik yang ada pada dirinya yang sebaiknya dia lanjutkan. Maka, aku menulis tiga hal di bawah ini:
1. Tami selalu mendahulukan kepentingan sahabat daripada kepentingan pribadi
2. Tami selalu bersemangat mencari dan mendatangi majelis ilmu
3. Tami tidak pernah menyerah mengejar mimpi-mimpinya.
***
Pada akhir Agustus lalu, Tami berhasil menjadi salah satu pemakalah di sebuah konferensi Internasional bidang pengajaran Bahasa Inggris di Kuching Malaysia. Sebelum itu, Tami sudah berkali-kali mencoba mengikuti kegiatan serupa namun belum berhasil. Konferensi di Kuching tersebut adalah debut pertamanya untuk go international. *Berasa seperti Agnez Mo, hehee*
Tami sahabatku, teruslah berproses menjadi seseorang yang semakin baik. Baik di mata Allah, juga baik di mata manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar