Translate

Selasa, 21 Oktober 2014

Saya dan Luqman

Adalah sudah ketentuan Allah, saya tumbuh tanpa mengenal siapa ayah saya. Apakah ini berarti Allah menyia-nyiakan saya? Dulu, ketika baru memasuki usia remaja, saya berfikir begitu. Namun, lambat laun fikiran semacam itu pudar walau kadang masih sekilas datang dalam bentuk bayang-bayang.

Saya memang tidak mengenal siapa ayah biologis saya. Tapi, Allah mengirim para ayah ideologis untuk mengiringi langkah saya. Adalah Pak Jangkung Suwargono, guru idola saya sewaktu SMP yang pertama kali saya anggap sebagai ayah ideologis. Adalah Pak Aris Yunanta, guru SMA menyusul kemudian. Juga, Pak Parimin Seno Raharja yang kehadirannya sangat berarti bagi kehidupan saya semasa menjadi mahasiswa. Belum lagi, Pak Taje Palna, ayah angkat saya di Bima yang tampak tulus menyayangi saya yang berlainan suku dan latar belakang ini."Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar-Rahman: 13)

Ada satu hal lagi yang menurut saya lebih penting dari kehadiran para ayah ideologis itu. Dialah Luqman, sosok ayah yang secara langsung Allah ceritakan lewat Al-Quran. Entah kenapa, tiap kali membaca surat Luqman ini saya hampir selalu tak bisa menahan tangis.

(Lukman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Luas, Maha Teliti. Wahai anakku! Laksanakan salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS: Al-Luqman: 16-19)"


Saya merasa kata-kata Luqman itu ditujukan untuk saya. Maka, selalu saja hati saya bergetar membacanya. Saya takzim, saya tunduk, saya tidak bisa berkata "tidak". Sami'na wa ato'na. Saya mendengar, maka saya ta'at.Terima kasih Ya Allah. Ini lebih dari cukup.

Tidak ada komentar: