Serial drama Love in Tokyo berlanjut ke season 2! Dan minggu ini episode teranyarnya sudah sampai episode 14! Naga-naganya drama ini masih akan panjang jika dibandingkan dengan drama Jepang lainnya yang hanya berkisar 10 episode. Tapi tidak apa-apa, saya akan tunggu kelanjutannya karena tidak akan sepanjang Cinta Fitri atau Tukang Bubur Naik Haji, hehe. (Salam dua jari ya!)
Karena merupakan drama yang diadaptasi dari komik, karakter dan jalan cerita Love in Tokyo sangat komikal (baca:imajinatif). Bahkan beberapa bagian cenderung berlebihan dan kurang masuk akal. Salah satu cotoh yang menurut saya berlebihan adalah peran Kotoko (tokoh utama wanita). Kotoko digambarkan sebagai wanita yang kurang pintar yang kemudian jatuh hati kepada Naoki (tokoh utama pria) yang notabene seorang pria tampan nan pintar serta menjadi idola banyak wanita. Saking sukanya pada Naoki, Kotoko melakukan banyak hal konyol untuk memikat hati Naoki.
Saya sempat berfikir bahwa peran Kotoko tersebut merendahkan martabat wanita. Tapi, kenapa saya sangat suka menonton drama ini? Ke-ekspresif-an para pemainnya dan kelucuan adegannya-lah yang saya suka. Kedua hal ini memancing gelak tawa saya. Pernah saya bercerita pada salah seorang teman saya tentang kesukaan saya pada drama yang satu ini. "Kamu kok kayak ABG sih Dit, suka drama yang kayak gitu. Ingat umur!" Haha, tidak apa-apa, biar awet muda!
Sama seperti drama Jepang lainnya, Love in Tokyo juga membawa beberapa pesan tertentu. Salah satu pesan yang saya tangkap adalah tentang pentingnya membaca. Dalam kesehariannya, Naoki adalah seorang yang sangat cerdas dan gemar membaca. Di beberapa episode dimunculkan adegan Naoki tengah asyik membaca buku dan surat kabar berbahasa Inggris. Yuki, adik laki-laki Naoki yang juga seorang siswa prestatif di sekolah, di sela-sela waktunya juga diisi dengan membaca buku. Sementara itu, Kotoko adalah antitesis Naoki dan Yuki. Kotoko tidak sekali pun digambarkan tengah membaca buku dengan asyik. Yang ada justru sebaliknya. Kotoko selalu tampak "menderita" membaca text book sekolah/kuliah tiap kali mendekati waktu ujian.
Drama ini seolah menyampaikan pesan, "Mau pintar seperti Naoki? Ayo baca buku!" Pesan ini mengingatkan saya pada Film Assalamu'alaikum Beijing. Film besutan sutradara Guntur Soeharjanto ini juga menyelipkan pesan "gemar membaca". Ara, tokoh utama dalam film ini adalah seorang perempuan muda yang pintar, gemar membaca dan berprofesi sebagai penulis.
Menurut saya, "menyampaikan pesan" lewat sebuah karya seni, seperti film atau drama misalnya, adalah cara yang elegan, cenderung tidak menggurui dan mudah ditangkap oleh masyarakat luas. Pesan tersebut bahkan bisa mengubah mindset (pola pikir) dan menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Dan apapun pesan yang disampaikan melalui sebuah karya, baik pesan positif atau negatif (dalam hal ini ukurannya bisa jadi variatif, entah berdasarkan agama, hukum atau norma lainnya) pasti akan tertangkap oleh penikmat karya walaupun kadang tidak 100% tertangkap. Maka, sudah seyogyanyalah para pembuat karya mengedepankan "pesan positif" dalam setiap karya mereka. Bukan begitu?
3 komentar:
Iya, saya jg sependapat.
Karya seni itu sbg alat untuk menyampaikan pesan positif, jd tidak hanya karyanya yg kita sukai tapi jg teladannya yg dapat kita contoh.
Aku jg msh belajar bikin karya yg kya gtu... hehehe
Mari kita sama-sama belajar ya Mbak Ratna :-)
Posting Komentar