Translate

Kamis, 14 Juni 2012

Sebesi, Lampung Selatan (Catatan bersama BFM, 2011)


Sabtu, 11 Juli kami berdelapan bertolak dari Jogja, kota di mana selama ini kami menimba ilmu. Lima buah kardus berisi buku-buku cerita, eksiklopedi, dan buku-buku pengetahuan menjadi barang paling berharga kami saat itu. Kenapa? Karena kelima kardus berisi buku itulah yang akan kami hadiahkan untuk anak-anak pulau Sebesi.  Tak ketinggalan, kami juga membawa beberapa alat peraga pembelajaran sebagai bahan seminggu mengajar di pulau yang tak jauh dari gunung Anak Krakatau itu.
Kami tidak menumpang bus yang lansung menuju Lampung karena itu cukup mahal bagi kami. Jadi, kami mengkonsep perjalanan kami sehemat mungkin.  Sore itu kami menumpang kereta ekonomi Progo dari stasiun Lempuyangan sampai stasiun Senen, Jakarta. Kereta tiba di Jakarta tepat waktu, jam 03.30 dini hari. Setelah beristirahat sejenak di stasiun Senen, kami melanjutkan perjalanan ke stasiun Tanah Abang. Nah, dari sana kami kemudian menumpang kereta lagi menuju pelabuhan Merak, Banten.

Saat membeli tiket kereta yang menuju Merak kami cukup kaget melihat harganya. Di lembaran tiket bertuliskan “Kereta Patas, Jakarta-Merak”. Rp.5000. Wow, murah sekali! Pikirku seketika. “Hmmm… keretenya seperti apa ya? Kenapa bisa semurah itu? Bukankah jarak Jakarta-Merak itu cukup jauh?” Tanyaku dalam hati. Kucoba menapis pertanyaan-pertanyaan itu dan tetap berharap kereta yang akan kami tumpangi itu sedikit lebih nyaman dari Progo atau setidaknya sama. Aku sangat berharap!

Jam 7.30. Kami sudah bersiap di dekat jalur rel kereta yang akan mengantar kami kami ke Merak. Beberapa kereta yang penuh penumpang melintas di depan kami. “Jangan-jangan kereta kami nanti juga seperti itu?”, harapanku mulai menciut. Maka, kereta kami pun akhirnya datang. Melihatnya, aku hanya tersenyum getir. Kami cepat-cepat masuk ke dalam kereta karena kereta tidak berhenti lama di sana. “Tapi, bagaimana bisa masuk? Itu sudah sangat penuh! Sepertinya tak mungkin bisa ditambah penumpang lagi! Ah, masuk sajalah! Demi anak-anak Sebesi! “Ibu Guru Dita harus semangat!”, kataku pada diri sendiri. Kami pun akhirnya melangkahkan kaki ke dalam gerbong yang sarat muatan itu.
 Nyaris tidak ada tempat untuk kami di dalam kereta yang pintunya terus terbuka walaupun kereta sedang berjalan itu. Ok! Memang seperti ini, harus tetap dijalani dengan senyum dan semangat. Kami mengumpulkan dan menyusun barang-barang kami di tengah-tengah gerbong yang berisi ratusan orang itu. Kami berdiri sambil berpegangan pada barang-barang bawaan kami itu karena tak ada lagi tempat itu berpegangan.

Hampir semua penumpang gerbong itu tidak mendapat tempat duduk alias berdiri karena tempat duduk yang hanya disediakan di kedua sisi samping gerbong sudah terisi penuh. Mulai dari bayi hingga nenek-nenek ada di dalam gerbong itu. Belum lagi puluhan pedagang asongan dan pengamen yang ikut berdesak-desakan di sana. Benar-benar penuh sesak, panas dan semrawut. Keadaan semakin parah ketika kereta berhenti di stasiun. Betapa tidak? Para penupang yang ingin naik dan turun kereta saling berebut untuk mendahului.
Suasana kereta yang seperti itu cukup membuat kami stress dan semakin  lelah. Akan tetapi, buat apa larut dalam suasana? Kami coba tetap berkelakar untuk meringankan suasana. Tak terasa, hampir 3 jam kami berdiri di dalam kereta itu. Satu jam sebelum kami tiba di Merak, akhirnya kami mendapat tempat duduk karena banyak penumpang yang sudah turun di stasiun-stasiun sebelumnya. Mendapat tempat duduk setelah 3 jam berdiri rasanya seperti mendapatkan kado teristimewa.

Kira-kira jam 12.00 siang lebih beberapa menit kami tiba di stasiun terakhir, stasiun Merak. Di sanalah tempat yang kami tuju. Stasiun itu tidak jauh dari dari pelabuhan Merak, tempat kami akan menumpang Verry menuju daratan Sumatra. Setelah istirahat sejenak, makan siang dan sholat kami langsung lanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, untungnya kami mendapat kapal yang sangat nyaman sehingga kami bisa meregangkan otot-otot kami beberapa saat. Saat itu aku benar-benar lelah. Namun, aku tetap bersemangat saat melihat raut wajah semangat yang terpancar dari teman-teman seperjuangnku. Harus tetap bersemangat! Sekali lagi, demi anak-anak Sebesi!

Perjalanan belum berhenti di pelabuhan Bakauheni, Lampung saat kami tiba di sana menjelang maghrib. Malam itu kami tidak bisa langsung menuju pulau Sebesi karena kapal motor dari dermaga Canti yang menuju ke pulau itu hanya berangkat jam 01.00 siang. Itupun hanya ada 3 atau 4 kapal yang beroperasi setiap harinya. Jadi, malam itu kami menginap di rumah salah seorang teman di Tanjung Heran, Lampung Selatan. Esok harinya baru kita bisa bertolak ke Sebesi.   

Perjalanan dari dermaga Canti hingga pulau Sebesi ternyata cukup jauh. Dengan kapal motor, kami menempuh perjalanan itu selama kurang lebih 2 jam. Untungnya waktu itu ombak tidak terlalu besar sehingga kapal yang kami tumpangi melaju lancar perlahan-lahan meninggalkan tanah Sumatra. Langit yang biru sempurna, gugusan pulau-pulau kecil yang cantik dan  riak-riak gelombang laut yang bergerak senada menciptakan lukisan alam yang maha indah. Subhanallah, begitu eloknya alam negeriku, Indonesia.

Menjelang sore, kami tiba di pulau tujuan kami. Rasa haru dan bahagia menyelimuti seluruh ruang hatiku saat pertama kali kuinjakkan kakiku di tanah Sebesi. Pulau yang tidak terlalu besar ini sebenarnya adalah gunung yang berada di tengah laut, mirip seperti Krakatau. Perbedaannnya, gunung sebesi tidak terlalu tinggi dan bukan merupakan gunung berapi yang aktif. Dari kejauhan, gunung Sebesi hanya mirip sebuah bukit.

Pulau penghasil kelapa, pisang dan coklat ini dihuni oleh sekitar 2400 warga yang tersebar dalam beberapa dusun namun masih dalam wilayah satu desa, yaitu desa Tejang kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan. Hanya ada masing-masing 1 SD, SMP dan SMA di sana. Di SD itulah kami membuat sebuah perpustakaan dan mengajar selama seminggu. Buku dan semua amunisi untuk seminggu kegiatan kami di sana sudah kami persiapkan dengan rapih sejak dari Jogja.

Secara fisik, SDN Tejang sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Beberapa ruangan kelas bercat merah putih berederet-deret rapih sehingga dari kejauhanpun semua orang akan tahu bahwa itu adalah gedung sekolah. Di depannya terdapat halaman yang cukup luas tempat anak-anak bermain saat jam istirahat sekolah. Tidak jauh dari sana terdapat sebuah lapangan sepak bola yang menyatu dengan hamparan lahan berlumpur tempat kawanan kerbau berkubang. Jika berdiri di depan sekolah menghadap ke arah barat maka akan terlihat gunung Sebesi yang eksotik. Sedangkan jika menghadap ke timur maka akan terlihat puluhan kerbau yang tengah asyik bermandi lumpur dan kambing yang merumput dengan nikmatnya. Ini yang membuat suasana sekolah itu sangat menarik bagiku.

Selasa, 12 Juli adalah hari pertama kami mulai mengajar di sekolah anak-anak pulau itu. Hari itu aku mendapat jadwal mengajar di kelas II. Karena sekolah ini kekurangan ruang kelas, maka kelas II harus menumpang di gedung madrasah yang letaknya terpisah dari komplek SDN Tejang. Setelah diberi petunjuk oleh seorang guru, aku bergegas menuju kelas yang kucari.
Saat kususuri selasar gedung madrasah itu samar-samar terdengar keriuhan suara anak-anak. Semakin dekat, semakin jelas. Maka, tibalah aku di kelas yang berisi tidak kurang dari 50 siswa itu. Senang, bangga dan bercampur sedikit gugup kurasakan saat itu. Bagaimana caranya aku mengajar anak sebanyak ini? Ini adalah pertama kali aku mengajar di kelas yang sebesar ini. Tapi, kutetap mencoba memberanikan diri.

Pertama-tama seperti biasa aku memperkenalkan diriku secara lisan. Lalu kuminta seorang anak untuk menuliskan namaku di papan tulis. Setelah anak itu menuliskannya dengan tepat, kuminta semua anak serentak membaca tulisan yang baru saja ditulis oleh salah satu anak itu. Dari sana aku tahu bahwa sebagian besar penghuni kelas II sudah bisa membaca walaupun masih ada beberapa anak yang terbata-bata. Syukurlah.

Dalam rencana pembelajaranku, hari itu di kelas II aku akan mendongeng, menyanyi bersama dan memberi motivasi kepada anak-anak agar mencintai buku. Nah, sebagai awalan, aku ajarkan beberapa ice breaking kepada mereka. Maka, suasana kelas pun menjadi cair sehingga mereka menjadi lebih siap belajar bersamaku.

Mula-mula aku meceritakan kisah tentang seorang anak perempuan yang bercita-cita berkeliling dunia. Dengan gaya berceritaku yang penuh ekspresif dan sedikit berlebihan alhamdulillah hampir semua anak tersihir oleh aksiku. Senang sekali ketika melihat satu persatu sorot mata mereka yang mereka tujukan kepadaku tanda bahwa mereka memperhatikan ceritaku. Beberapa kali decak tawa mereka bergelora saat ada beberapa bagian dari ceritaku yang mungkin mereka anggap lucu. Atau apakah sebenarnya mungkin mereka hanya merasa  aneh melihat ekspresiku yang lebay saat bercerita? Wallahu ‘alam. Sampai di sini kelas cukup aman dan terkendali.

Cerita selesai, maka berlanjut ke motivasi agar anak-anak mau membaca dan mencintai buku. Motivasi juga kusampaikan dengan gaya yang atraktif. Awalnya perhatian mereka masih terlihat penuh. Namun, semakin lama mulai tampaklah beberapa anak laki-laki yang ramai sendiri dan nyletuk sana-sini. Kelas menjadi kurang kondusif. Aku sedikit merasa kesulitan mengusai lebih dari 50 kepala itu. Hmm… kelihatannya mereka sudah tidak fokus. 

Waktu sudah hampir berjalan satu jam saat pertama kali aku masuk ruang kelas itu. Keringatku sudah mulai bercucuran karena sejak pertama kali masuk aku harus berbicara dengan volume agak keras. Aku juga berpindah-pindah ke setiap penjuru kelas karena seperti itulah gaya mengajarku, ingin selalu bergerak.

Giliranku mengajar di kelas II saat itu adalah adalah 90 menit. 60 menit sudah berjalan. Maka, 30 menit yang tersisa kugunakan untuk mengajarkan sebuah lagu berjudul “Jangan Takut Gelap “ yang dahulu pernah dipopulerkan oleh Tasya dan Duta Sheila on Seven. Syukurlah, anak-anak kembali fokus. Mereka terlihat senang menyanyikan lagu itu.

Saat kami tengah asyik bernyanyi, ada sebuah kejadian yang cukup membuat heboh seluruh isi kelas. Tiba-tiba masuklah ke kelas kami seekor ular berukuran kira-kira sebesar ibu jari orang dewasa dan sepanjang kurang lebih 30 cm. Aku kaget bukan main. Aku tidak tahu apa nama ular itu. Aku menjadi sangat panik karena ular adalah salah satu hewan yang aku takuti. Namun, apa yang dilakukan anak-anak? Mereka justru mengejar-ngejar ular yang melata dengan sangat cepat di lantai kelas kami itu. “Awas, awas nak!!! Hati-hati!! “, aku hanya bisa berseru-seru demikian. Bukan menghindar, mereka justru semakin bersemangat mengejar ke mana ular itu berlari. Hampir semua isi kelas, terutama anak laki-laki berjamaah memburu ular itu. Tidak sampai 3 menit akhirnya beberapa anak bisa menginjak kepala ular itu dengan sepatu mereka. Akhirnya, mati sudah ular naas itu. Hari pertama kelas kami ditutup oleh tragedi pembunuhan seekor ular!! Aku keluar kelas dengan perasaan bercampur-campur.

Selama seminggu aku mengajar di sana selalu saja ada kejutan-kejutan yang aku dapatkan tiap harinya. Hari kedua, aku masuk ke kelas satu, kelas yang penghuninya sedikit lebih banyak dari kelas II. Kalau di kelas II satu bangku rata-rata dipakai oleh 3 anak, sementara di kelas I rata-rata dipakai oleh 4 anak. Kelas itu benar-benar terasa sangat penuh. Walaupun begitu, anak-anak tampak begitu berseri-seri belajar di dalam kelas. Senyum mereka itulah yang membuatku semakin bersemangat.

Hari itu, satu kejutan lagi datang. Seorang anak laki-laki tiba-tiba menangis. Aku cepat-cepat mendekatinya. Kutanya kenapa, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Lalu, teman sebangkunya berkata bahwa tadi si anak yang menangis itu ditunggu oleh ibunya. Akan tetapi, sekarang ibunya sudah pulang. Kucoba berbagai cara untuk mendiamkannya. Syukurlah dia mau berhenti menangis. Maka, pelajaran kami lanjutkan. Berapa waktu berlalu, dia menangis lagi dengan alasan yang sama. Kudekati lalu diam, tapi tak selang lama menangis lagi. Begitu seterusnya hingga lonceng diperdengarkan tanda kelas I sudah selesai. Hari itu krestifitas dan kesabaranku sebagai guru benar-benar tengah diuji. Dan aku merasa aku belum lulus dari ujian itu. Aku masih harus banyak belajar.

Kegiatam kami di pulau itu tidak hanya di sekolah. Sepulang sekolah, siang, sore bahkan hingga malam hari anak-anak datang ke rumah warga tempat dimana kami tinggal sementara. Di sana kami mengajak anak-anak berkenalan dan bersahabat dengan buku. Kami membaca, menyanyi, mendongeng, melihat video-video edukatif dan bermain bersama. Rasa haru dan bahagia memenuhi hatiku saat melihat mereka mebolak-balik lembar demi lembar buku dengan penuh antusias, bernyanyi dengan gembira dan sesekali melontarkan pertanyaan saat ada sesuatu yang kurang mereka pahami.

Mereka pun ternnyata juga ingin berbagi ilmu dengan kami. Hampir setiap sore mereka mengajak kami menyusuri sisi demi sisi pulau itu. Dari sana kami belajar bagaimana berkenalan dan bersahabat dengan alam. Tanpa kami sadari, seminggu ini telah terjadi simbiosis mutualisme yang mempesona diantara kami, avoturir BOOK FOR MOUNTAIN dan anak-anak petualangan dari Sebesi. Kami saling belajar tentang banyak hal.
Seminggu keberadaan kami bersama anak-anak petualang itu terasa begitu singkat. Sampailah kami di penghujung waktu. Berat rasanya meninggalkan anak-anak yang penuh cita-cita itu. Kami hanya bisa berdoa semoga Allah SWT mengabulkan setiap mimpi mereka.

“Berpetuanglah ke seluru penjuru dunia ini, Nak! Bumi Allah yang luas ini menunggu untuk kalian jelajahi”. Itu sedikit pesan yang aku sampaikan kepada mereka.

Tidak ada komentar: