Translate

Selasa, 20 Agustus 2013

Dompu? Mana tuh?


             DOMPU. Ketika disebut nama itu, mungkin sebagian orang akan mengernyitkan dahi sambil berkata, “mana tuh?”. Berada di tengah-tengah pulau Sumbawa, Kabupaten Dompu seolah tertutup oleh nama tenar Sumbawa. Namun, jika kita sempat mengunjungi tanah Dompu ini, sungguh kita tidak akan pernah menyesal!


                Selama tahun 2012, saya berkesempatan bertugas di Kabupaten Bima, ujung timur pulau Sumbawa. Wow, bukan main senangnya saya ketika mendapat kesempatan ini. Betapa tidak, saya akan segera berkenalan dengan savana, kuda liar dan Tambora. Icon-Icon terkenal dari Pulau Sumbawa. Begitu pikir saya saat itu.


                Waktu penugasan pun tiba. Saya mendarat di Bandara Sultan Muhammad Shalahuddin, Kapupaten Bima. Saat itu cuaca sedang sangat cerah. Saat pesawat yang saya tumpangi hampir mendarat di Bandara tersebut, mata saya tiba-tiba menangkap pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit yang tetumbuhannya menguning oleh kemarau, langit biru sempurna dan teluk Bima yang menentramkan hati. Berkali-kali saya berdecak kagum.
                Setahun bukan waktu yang lama. Mengingat saya di sana bukan untuk jalan-jalan, melainkan bekerja. Ya, bekerja! So, saya harus pintar-pintar memanfaatkan waktu libur untuk menjelajah pulau Sumbawa, especially Dompu!
        Well, Pantai Ria! Itu tempat pertama di Dompu yang saya kunjungi. Pantai ini cocok sekali untuk rekreasi keluarga. Oh ya, orang Dompu sangat suka sekali berwisata bersama keluarga ke pantai. Biasanya mereka memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk berlibur bersama keluarga. Bisa waktu libur sekolah, setelah pembagian raport, hari raya Idul Fitri atau hari Minggu biasa. Nah, saat itulah biasanya mereka memboyong seluruh anggota keluarga sampai cucu-cucu yang masih balita pun tak boleh ditinggal. Mereka biasanya membawa bekal nasi dan makanan kecil dari rumah. Sedangkan lauknya? Ini yang unik, dengan angkutan yang mereka pakai, mereka sertakan ayam, bebek atau entok yang masih hidup. Unggas-unggas inilah yang kemudian dipotong dipinggir pantai, dicuci dengan air laut dan dibakar. Setelah matang, daging-daging unggas ini dinikmati dengan sambal khas Dompu yang dibuat dari irisan bawang merah, cabai dan jeruk nipis ditampah garam secukupnya. Atau bisa juga ditambah kecap. Hmmm... Caru poda!! (enak sekali).


                Destinasi ke II, Satonda. Yuhuuu.....  Pulau Satonda!!


                Dulu, semasa kuliah, saya pertama kali mendengar nama Satonda dari seorang teman saya, mahasiswa jurusan Geologi. Baginya, Satonda adalah fenomena Geologi yang menarik. Satonda hanyalah pulau kecil di sebelah utara Dompu. Apa menariknya?? Saya baru bisa berkata “Wow”, ketika akhirnya saya berkesempatan menapakkan kaki saya di Pulau yang ternyata cukup terkenal di kalangan wisatawan asing ini.


                Kira-kira 20 menit adalah waktu yang saya perlukan untuk menyeberang ke Pulau Satonda memakai perahu motor bermesin satu. Perahu yang saya tumpangi ini hanya berukuran 3 x 0,5 meter. Jadilah saya basah kuyup terkena cipratan air karena saking derasnya arus laut. Sungguh perjalanan yang menegangkan sekaligus menantang. Mendekati pulau Satonda ini, perahu mulai bergerak melambat. Saat itulah, mata saya menangkap pemandangan bawah laut yang sangat indah, terumbu karang berwarna-warni sangat jelas terlihat dari permukaan air laut yang jernih.


Ternyata, kekaguman saya masih berlanjut. Sesampainya di Satonda, saya dan rombongan segera menuju ke danau yang letaknya tepat di tengah-tengah pulau. Dari bibir pantai, danau tersebut tidak terlihat karena posisinya yang berada di tempat yang agak tinggi. Pengunjung harus menaiki tangga sejauh kurang lebih 600 m dari bibir pantai. Baiklah, saya pun dengan semangat menaiki setiap anak tangga itu.

Akhirnya, tibalah saya di danau vulkanik yang asin rasa airnya itu. Suasana yang tenang membuat danau itu sepertinya memunculkan suasana mistis, itu menurut saya, hehe... Mungkin orang lain akan berpendapat berbeda. Dan benarlah, serombongan turis asing tiba beberapa saat setelah saya. Apa yang mereka lakukan di sana? Dengan ceria, turis-turis itu berenang-renang hingga ke tengah danau. Hilang sudah kesan mistis yang sebelumnya menempel di pikiran saya.


Pantai, pulau dan danau sudah. Oke, sekarang giliran Gunung. Mana lagi kalau bukan Gunung Tambora, gunung yang 200 tahun lalu letusannya pernah menggemparkan dunia. Bahkan, konon, Eropa sampai mengalami paceklik berbulan-bulan karena langitnya tertutup debu letusan Gunung Tambora. Maha Dahsyat!!


Tambora, tanah yang hilang. Begitu kata orang-orang tua setempat. Secara administratif, Gunung Tambora berada di wilayah Kabupaten Dompu di belahan selatan dan Kabupaten Bima di belahan utara. Dulunya, Bima dan Dompu berasal dari satu nenek moyang, yaitu orang-orang dari Sulawesi Selatan. Maka, sampai sekarang Bima dan Dompu memakai Bahasa yang sama yaitu Bahasa Mbojo. Adat Istiadat, kuliner, sampai bentuk rumah pun sama, rumah panggung mirip milik orang-orang Bugis.


Secara geografis, bentangan alam Dompu dan Bima juga mirip. Sedikit perbedaannya adalah di Dompu lebih banyak terdapat savana-savana yang luas. Di savana-savana inilah hidup kawanan kuda liar, sapi, kerbau dan kambing. Saat musim kemarau, rumput-rumput di savana ini akan menguning. Jadilah bentangan luas yang serba kuning. Jika kita berada di sana saat itu, maka rasa-rasanya kita sedang berada di Afrika. Sayangnya, di savana Dompu ini tidak ada singa, hehe...

Savana-savana luas ini menjadi pemandangan yang saya nikmati sepanjang perjalanan dari ibu kota kabupaten Dompu hingga dataran tinggi Tambora. Saat perjalanan sudah mulai melewati dataran yang agak tinggi, pemandangan savana digantikan oleh pemandangan hutan yang tidak terlalu lebat, kemudian, berhektar-hektar pohon kopi, kopi khas Tambora. Kalau kita sempat ke Tambora, akan rugi jika tidak membeli kopi Tambora sebagai buah tangan. Oh ya, selain kopi, madu Tambora juga tidak kalah menarik untuk dijadikan buah tangan.


Perjalanan dari ibukota kabupaten Dompu kami tempuh dengan Bus hingga Kadindi, termasuk ke dalam wilayah kecamatan Pekat, Dompu. Perjalanan kami lanjutkan dengan ojek selama kurang lebih 50 menit menuju Dusun Tambora, tempat saya dan teman-teman akan memulai penadakian. Sebenarnya ada beberapa jalur pendakian Tambora. Kami waktu itu memilih melalui Dusun Tambora karena kami punya kenalan di sana. Maka, setelah persiapan usai ditunaikan, pendakian pun dimulai.

Dua hari dua malam kami berjibaku dengan medan Tambora yang mengesankan. Beberapa anggota tim kami terkena gigitan pacet dan tertusuk duri tumbuhan Meladi, Tumbuhan khas Tambora. Saya pun dua kali tidak sengaja merasakan sensasi gatal dan panas akibat tertusuk duri Meladi. Rasanya hampir menyamai sengatan lebah. Semua rasa capek dan sakit selama penadakian, tuntas terbayar saat kami tiba di Puncak Tambora. Sun Rise yang mempesona, kaldera yang mengagumkan.Tambora oh Tambora!

Tahun 2015 nanti kabarnya pemerintah pusat akan mengadakan festival Tambora untuk memperingati 200 tahun meletusnya Tambora. Kabarnya pula, utusan dari berbagai negara pun akan ikut serta dalam acara itu. Sudah saya niatkan, semoga saat itu sekali lagi saya bisa menyambangi puncak Tambora. Semoga ada kesempatan!












<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">&lt;a data-blogger-escaped-target="_blank" href="http://microsite.detik.com/minisite/sevenwonders/"&gt;&lt;/a&gt;</span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">&lt;img data-orig-src="http://o.detik.com/images/odetik_images/blogdetik-sevenwonders.gif" src="//images-blogger-opensocial.googleusercontent.com/gadgets/proxy?url=http%3A%2F%2Fo.detik.com%2Fimages%2Fodetik_images%2Fblogdetik-sevenwonders.gif&amp;amp;container=blogger&amp;amp;gadget=a&amp;amp;rewriteMime=image%2F*" /&gt;</span>





               

Tidak ada komentar: