Translate

Sabtu, 13 September 2014

Abdullah

Bulan Juni 2012, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima tempatku bertugas menjadi Pengajar Muda (PM). Sebagai PM angkatan ke-2 di Bima, selama 2 minggu aku mendapat kesempatan mendengar semua hasil kerja, pencapaian, kendala dan berbagai cerita dari Kak Mutia, PM pendahuluku di Langgudu. Selama 2 minggu itu pula kami berkeliling desa, berkenalan dengan warga dan para penggerak lokal, mengupas seluk beluk sekolah hingga memetakan harapan dan kekhawatiranku selama setahun ke depan.

Aku tentu saja merasa sangat bangga karena terpilih menjadi Pengajar Muda. Tapi, waktu itu aku takut apakah aku bisa menjalankan tugas berat itu. Ketakutan semakin terasa kian besar menjelang kepulangan kak Mutia ke Jawa karena masa penugasannya sudah selesai. Setelah kak Mutia pulang, aku akan bertugas sendirian di tanah yang benar-benar baru itu. Semua masih serba asing; lingkungan, orang-orang, bahasa, makanan dll. Apa aku bisa kuat selama setahun ke depan?

Dan tantangan pun datang tepat sehari setelah kak Mutia kembali ke Jawa. Sore itu aku untuk ketiga kalinya mengunjungi rumah Abdullah, siswa kelas VI SDN 2 Rupe yang mendapat beasiswa SMART Ekselensia Dompet Duafa untuk bersekolah SMP-SMA Percepatan di Bogor. 

Abdullah atau yang kerap dipanggil Dula adalah satu-satunya perwakilan NTB yang berkesempatan memperoleh beasiswa ini setelah melewati serangkaian proses seleksi yang panjang dan mengalahkan anak-anak lainnya termasuk anak-anak dari kota besar seperti Mataram. Menurut jadwal, Dula akan berangkat ke Bogor seminggu ke depan. 

Sebelum kunjungan sore itu, Kak Mutia sudah 2 kali mengajakku ke rumah Dula. Setiap kali kunjungan, Kak Mutia selalu memberi semangat dan dorongan kepada Dula agar tidak takut bersekolah di Bogor. Namun, sepertinya Dula belum sepenuhnya berani. Begitu pula dengan Ibunya. Sang Ibu sepertinya belum ikhlas melepas anak lelaki satu-satunya untuk belajar di tanah yang jauh. Apalagi, belum genap setahun Ayah Dula meninggal dunia. Jadilah Dula adalah satu-satunya laki-laki di rumah panggungnya yang sangat sederhana itu. 

Dula adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Dua orang kakak perempuannya sudah duduk di bangku SMA dan adik perempuannya kelas 3 SD.
Aku begitu kaget ketika sore itu aku sendirian berkunjung ke rumah Dula dan dengan nada menyedihkan dia mengatakan, "Ti cau lao ke Bogor" (Tidak mau pergi ke Bogor).

"Kenapa tidak mau? Kan kemarin-kemarin Dula bilang mau", kataku padanya. Kucoba membujuknya namun ia hanya menggelengkan kepala sambil duduk memeluk lutut di pojok ruangan sempit yang tidak bisa disebut sebagai ruang tamu itu. Samima, sang kakak ikut membujuk dengan Bahasa Bima, aku tak tau persis apa yang ia katakan. Hampir semua kata-kata yang keluar dari mulut si kakak ini, selalu dijawab dengan gelengan kepala. Aku menghela nafas.

Untungnya, beberapa saat kemudian datanglah Ibu Laila atau yang biasa dipanggil Ibu Lau, sang Kepala Sekolah SDN 2 Rupe. Setibanya beliau di rumah Dula, aku segera menjelaskan situasi yang baru saja terjadi. Beliau langsung menasehati Dula dan sepertinya beliau juga meyakinkan Ibu Dula. "Iyota, Ibu", begitu bebera kali Ibu Dula sambil mengangguk-angguk menanggapi perkataan Ibu Kepala sekolah.

Situasi menjadi kembali baik. Tapi, sepertinya keteguhan hati Dula masih bisa digoyahkan. Setelah menggali informasi dari beberapa pihak, aku tahu bahwa ada beberapa tetangga yang tidak setuju Dula pergi ke Jawa. Alasannya bermacam-macam, mulai dari ketakutan penipuan, aliran sehat hingga jaminan keselamatan Dula. Isu itulah yang membuat Dula dan Ibunya ragu. 

Wajar, di Kabupaten Bima Dula adalah anak pertama yang berhasil mendapatkan beasiswa Smart Ekselensia Dompet Dhuafa ini. Jadi, warga belum memiliki gambaran nyata tentang beasiswa ini. Untungnya, Ibu Lau dan para guru di SDN Rupe 2 tetap optimis untuk memberangkatkan Dula ke Bogor. 

Selama seminggu tersisa itu kami bersama-sama menyiapkan semua perlengkapan Dula. Dokumen-dokumen, baju seragam, tas, sepatu, semua kami persiapkan bersama-sama. Jika ada barang yang harus dibawa namun Dula tidak memilikinya atau yang ia miliki sudah tidak layak pakai, maka Ibu Kepala Sekolah dan para guru ini cepat tanggap mencarikan dan dengan cuma-cuma memberikannya pada Dula. Kebaikan Ibu Kepala Sekolah dan para guru ini membuatku trenyuh. Merekalah sosok nyata pahlawan tanpa tanda jasa.

Sejak sore itu, aku setiap hari menyempatkan untuk berkunjung ke rumah Dula. Para ibu guru SDN 2 Rupe juga bergantian berkunjung, memastikan semangat Dula agar tidak surut. Akan tetapi, yang terjadi adalah empat hari sebelum keberangkatan, Dula demam dan tidak mau makan. 

Aku datang membawakannya roti dan susu tapi ia hanya mau menyentuh sedikit saja sehingga pada hari berikutnya kondisi Dula memburuk. Salah seorang Ibu guru kemudian membawanya ke bidan desa. Hari berikutnya lagi, Dula semakin tampak pucat dan lemas. Setiap aku atau ibu guru atau ibu kepala sekolah datang ke rumahnya, ia tampak ketakukan dan terus berbisik kepada ibunya bahwa ia tidak mau pergi ke Jawa.

Sore hari, tepat 2 hari sebelum jadwal keberangkatan Dula, Ibu Aini menelponku, "Ibu Dita, Dula akhirnya kita infus di rumah, supaya tidak lemas dia. Tadi ibu bidan sudah datang pasang infus". "Oh gitu ya ibu, saya ke sana sekarang", jawabku singkat.

Sehari sebelum keberangkatan, keadaan Dula masih sama. Sore itu hujan gerimis. Aku pergi ke rumah Dula bersama Mita, salah seorang siswaku, menggunakan motor Bapak angkatku. Setibanya di sana, Dula dan ibunya menangis. Dengan bantuan Samima sebagai penerjemah, aku tahu bahwa sang Ibu tidak mengizinkan Dula berangkat. Ku coba bujuk mereka. Kembali ku buka layar laptoku dan ku tunjukkan foto-foto sekolah Smart Ekselensia beserta profil, kegiatan dan prestasi siswa. 

Ku yakinkan bahwa insyaAllah Dula akan baik-baik saja di sana. Mereka tetap tidak bergeming. Adzan maghrib berkumandang, ku tutup pembicaraan dengan berkata, "Besok pagi jam 06.00 kita berangkat ke Bandara ya, pakai mobil ibu Kepala. Sebelum jam 06.00 ibu Dita sudah akan tiba di rumah Dula." Aku pun bergegas pamit dari kamar tidur Dula yang remang-remang karena hanya bercahayakan lampu minyak itu. Ya Allah, izinkanlah Dula tetap berangkat kalau ini baik baginya. 

Pikiranku kacau saat itu. Langit sudah gelap, hujan gerimis masih tetap turun. Ku coba nyalakan motor tapi berkali-kali tak bisa. Mau meminta tolong orang tetapi keadaan kampung sudah sepi. Mita tampak agak panik. Ku coba menenangkannya walaupun aku sendiri juga panik. Lengkap sudah perasaanku sore itu. Tetap ku coba menyalakan motor sambil terus berdoa. Alhamdulillah, motor kami akhirnya menyala dan kami pun bisa pulang ke desa Karumbu, kira-kira 1 km dari rumah Dula.

Hari yang dinantikan itu datang juga. Ketika aku tiba di rumah Dula, para tetangga sudah banyak yang berdatangan. Beberapa berkata, "Itu Ibu Dita sudah datang!". Aku mulai menaiki tangga rumah panggung Dula. Terdengar Dula merengek, "ti cau, ti cau". Para tetangga semakin ramai dan berbisik-bisik entah apa yang mereka bisikkan. 

"Ini yang mau naik pesawat kok belum mandi?", tanyaku spontan karena waktu itu aku bingung harus berkata apa. Tiba-tiba kata-kata bujukan, rayuan, penyemangat dan yang semacamnya pun muncul berhamburan terlontar dari mulutku. Intinya, pagi itu Dula harus berangkat ke Bogor. Itu harapanku. Ibu kepala sekolah dan para guru sudah datang. Melihat kondisi itu, ibu kepala sigap mengambil tindakan.

"Harus berangkat, demi masa depan. Anak seperti Dulu ini harus kita dukung, biar sukses dia nanti. Bla bla bla.... ", rentetan kata-kata dalam bahasa Bima pun terus Ibu Laila keluarkan. Beliau terlihat sangat bertekad agar Dula berangkat demi masa depan yang lebih baik. Tampaklah beberapa sesepuh dusun berdatangan, saling berbicara dengan bahasa yang tidak ku mengerti. Sepertinya mereka juga sedang memberi pengertian kepada Ibu Dula. 

"Sudah-sudah, berangkat sudah.", mereka saling mengangguk. Seketika itu, ada yang melepas infus Dula, menganti pakaiannya walapun Dula terus meronta. Dula pun kemudian digendong menuju mobil bak terbuka milik Ibu Kepala yang akan mengantar kami ke bandara. Dula masih tetap meronta, menangis sambil berteriak-teriak tidak mau pergi. Beberapa orang yang hadir di sana pun tampak menitikkan air mata. 

Semua pengantar pun bergegas naik ke atas mobil. Dula, adik dan ibunya duduk di depan, sedangkan kakak, para tetangga, sanak saudara, para guru, teman-teman Dula, tak terkecuali aku di belakang. 

Di halaman depan rumah Dula semakin banyak orang berdatangan. Mereka ingin ikut melepas keberangkatan si anak yang jago matematika itu. Mobil mulai berjalan, menyusuri jalanan Desa Rupe. Hampir semua warga keluar dari rumah mereka, melambaikan tangan ke arah mobil kami dan menggumamkan doa-doa. Haru sekali suasana hari itu.

Kira-kira 2 jam perjalanan kami tempuh dengan mobil itu. Dula sempat menyunggingkan senyum saat tiba di Bandara Sultan Shalahudin Bima dan melihat pesawat. Pak Usman, utusan dari Dasi Mataram yang akan mengantarkan Dula ke Bogor pun sudah datang. 

Alhamdulillah Dula tidak canggung dengan Pak Usman. Selama kami di Bandara, tidak ada raut kesedihan. Semua pengantar memasang muka ceria di depan Dula, tak henti-henti memberi semangat. Begitu pun Dula, sisa-sisa air mata sama sekali sudah tak tampak. Ini seperti keajaiban.

Pesawat sudah mulai mengangkasa, meniggalkan tanah Bima. Semua pengantar melambaikan tangan penuh takzim, mengarahkan pandangan ke arah pesawat hingga pesawat itu mengecil dan tak tertangkap lagi oleh jangkauan mata kami. "Selamat belajar Dula. Semoga Allah memberkahi usahamu mencari ilmu", doaku dalam hati. 

Malam hari, ku terima sms dari Pak Usman yang mengabarkan bahwa selama perjalanan Dula baik-baik saja dan sempat berkata, "caru poda" ketika di dalam pesawat. (Caru poda berarti enak sekali). 


*Tulisan ini saya unggah saat Dula sudah duduk di kelas IX.

Tidak ada komentar: