Translate

Minggu, 21 September 2014

Benarkah Tugas Guru Adalah Memfasilitasi, Bukan Mengajari?

Saya sangat suka menyanyi. Namun, kesukaan saya dalam bidang tarik suara ini tidak lantas membuat saya menjadi mahir. "Dita tuh kalau nyanyi suka mengubah nada", komentar salah seorang teman. Aku menelan ludah. Tapi ya sudahlah, memang seperti itulah kenyataannya. Pahit memang. Tapi.. tapi... (siap-siap ngambil tisu)

Begitulah saya, ketika menyanyi. Sering kali tidak bisa mengikuti nada seperti yang didendangkan penyanyi aslinya. Saya menyadari itu. Tetapi saya merasa tidak masalah karena bagi saya menyanyi itu yang penting bisa menghayati isi lagunya. Jadi, menyanyi ya menyanyi saja. Du...dudu..dudu... (melenggang sambil kibasin rambut, eh bukan ding. Tapi kibasin jilbab hehee)

Salah seorang teman berkomentar lagi, "Suaramu kalau nyanyi tuh fals, Dit". Mendengar kata-kata itu, hati teriris perih, benar-benar perih. Separah itukah suara saya? Kalau tidak separah itu, mungkin ia tidak seterang itu mengkomplain suara saya. Huhuu... (mulai ngambil tisu selembar demi selembar)

Januari 2013 ada perlombaan menyanyi lagu-lagu Bima untuk anak-anak SD se-kabupaten Bima. Saya melihat ada beberapa anak didik saya yang memiliki bakat menyanyi. (Walapun tidak bagus dalam bernyanyi, saya cukup bisa melihat mana anak yang berbakat menyanyi atau tidak, lho!). Yosh, akhirnya saya memutuskan untuk mengikutkan Mita dan Sumi dalam kontes tingkat kabupaten itu.

Saya teringat sebuah doktrin yang saya pelajari ketika Pelatihan Intensif Pengajar Muda, yaitu bahwa tugas guru bukanlah mengajar melainkan memfasilitasi anak-anak agar mereka menemukan gaya belajarnya kemudian termotivasi untuk belajar secara mandiri. Saya merasa mendapat angin segar setelah teringat doktrin itu.

Saya pun bergerak cepat. Sumi dan Mita segera saya panggil untuk berlatih. Siapa yang melatih? Saya? Oh tentu tidak! Lha wong suara saya saja fals, bagaimana mau mengajari mereka? Saya tau diri. Maka, saya putarkan video beberapa lagu yang akan dilombakan. Mereka pun memilih satu lagu berjudul "Maira Dambe". Setiap sore saya perdengarkan lagu itu kepada mereka lalu saya minta mereka menirukan dengan benar dan kemudian menyanyikan dengan gaya mereka. Ketika berlatih seperti itu, saya undang semua teman sekelas mereka untuk melihat dan menilai. Jika mereka merasa ada yang kurang dengan penampilan Mita dan Sumi, mereka boleh mengkritik dan memberi saran bagaimana sebaiknya. Beberapa guru juga kadang datang saat latihan dan memberi masukan untuk penampilan mereka. Latihan seperti itu kami lakukan sampai lebih dari dua minggu. Empat hari sebelum lomba, penampilan Mita dan Sumi sudah cukup bagus. Tetapi saya masih merasa ada yang kurang. Lalu, saya menyampaikan ini kepada Ibu Kepala Sekolah.

"Ibu, penampilan Mita dan Sumi sudah cukup bagus. Tapi, selama ini mereka berlatih hanya dengan iringan musik dari DVD. Sedangkan nanti di perlombaan pengiringnya adalah live musik. Jadi, sebaiknya bagaimana ya Ibu?
Ibu diam sejenak. "Nanti biar saya minta Edy untuk melatih anak-anak pakai organ-nya". Saya jadi lega. Oh iya, Abang Edy adalah pemain organ yang cukup terkenal di daerah kami.

Bisa ditebak bagaimana ending cerita ini? Iyes, Sumi dan Mita tampil dengan sangat sempurna dan memuaskan sehingga berhasil meraih juara 2 di lomba yang berskala kabupaten itu. Alhamdulillah.

Jadi, hikmahnya adalah seorang guru tetap bisa membuat murid-muridnya mahir di bidang yang gurunya sendiri pun sama sekali tak mahir. Saya tersenyum bahagia.

Sumi dan Mita (Berbaju Kuning)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kangen sekali bareng sama ibu....😔