Translate

Minggu, 28 September 2014

Istiqomah

Ende gut alles gut. Itu peribahasa Bahasa Jerman yang ku pelajari pertama kali saat aku SMA. Secara singkat, dia berarti "akhir bagus, semua bagus". Maksudnya, ketika kita melakukan suatu pekerjaan, jika di akhir kerja kita bagus, biasanya di awal dan di tengah-tengahnya juga bagus. Secara nalar, hanya orang yang benar-benar bekerja keraslah yang bisa mengejarkan suatu pekerjaan sampai titik akhir dengan baik. Orang yang tidak bekerja keras biasanya akan menyerah di tengah jalan atau bahkan ketika ia baru melangkahkan kaki. Jadi, jika akhir bagus, maka dapat dipastikan semua bernilai bagus. Dalam kitab suci, itu diwakilkan dengan kata "istiqomah". Sebuah kata sederhana tapi begitu sulit dilaksanakan.

Saat awal menjadi mahasiswa, aku mulai berkenalan dengan dunia dakwah kampus. Saat itu, para senior di Lembaga Dakwah Kampung (LDK) sering mengirim sms motivasi. Kata-kata yang sering mereka tuliskan adalah "Istiqomah di jalan dakwah ya dek". Apa sih maksudnya? Aku yang masih hijau masalah agama ini tidak begitu paham. Gak perlu disuruh istiqomah, aku akan tetap istiqomah di jalan Islam kok, pikirku waktu itu.

Waktu terus berjalan, orang-orang baru pun semakin banyak ditemui, orang-orang lama ada yang masih sering ditemui, adapula yang mulai jarang. Waktu berganti, kisah hidup orang pun berganti. Terdengarlah cerita-cerita yang kadang sulit dipercaya. Si A yang dulu waktu SMA rajin sholat, bahkan sholat dhuha juga, sudah berpindah agama. Si B, seorang perempuan yang suka olah raga maskulin tiba-tiba dikabarkan menjadi lesbian dan punya pacar seorang perempuan. Si C yang dulu memakai jilbab, sekarang.menjadi hobi mengunggah foto dengan tank top dan hot pant di social media.

Tidak ada tindakan yang tidak beralasan. Pun dengan teman-temanku yang kemudian memilih jalan yang semacam itu. Mereka tentu punya alasan, punya sebab. Terlepas dari apapun sebabnya, aku menjadi mafhum dengan apa yang dimaksud dengan istiqomah. Oh, ternyata memang tidak gampang menjadi istiqomah. Pantaslah dulu para senior sering mengingatkan tentang kata yang diserap dari Bahasa Arab itu.

Aku semakin paham ketika sebuah peristiwa besar menimpa salah seorang teman yang ku kenal baik. Di awal-awal pertemanan kami, aku mengenalnya sebagai mahasiswi berjilbab dan rajin sholat. Ia juga dikenal sebagai mahasiswa yang pintar, aktif dan ceria. Karena kami berlainan kampus dan kesibukan masing-masing kami yang terus bertambah, kami menjadi jarang bertemu. Komunikasi kami hanya sebatas lewat FB. Betapa tercengangnya aku ketika melihatnya tidak memakai jilbab di foto yang ia unggah di FB. Aku benar-benar sedih.

Aku berusaha mencari tahu tentangnya dari beberapa temanku. Belakangan, aku baru mendengar cerita utuh dari sahabatku yang sekaligus juga sahabatnya.

Ia, temanku yang pintar itu tadi, tumbuh dalam keluarga yang bermasalah, orang tuanya bercerai. Beratnya masalah yang ada di keluarganya itu membuat dia menjadi seorang yang rajin berdoa. Namun, dia merasa Tuhannya tidak pernah mendengarkan pintanya. Hidupnya semakin berantakan, tanpa ada rasa tenang hingga ia memutuskan untuk melepas jilbab dan memilih menjadi seorang yang aqnostic.

Tidak hanya itu, dia yang sangat pandai berbahasa Inggris dan sering bergaul dengan orang dari berbagai negara itu, mulai menyukai sesama jenis. Itu berlangsung beberapa saat hingga ia berteman dengan orang beragama dengan lambang salib. Ia menemukan kedamaian di agama itu. Ia menjadi rajin pergi ke gereja dan membaca alkitab. Begitulah pilihan hidupnya. Aku sedih tapi aku tak bisa berbuat apapun.

Aku kemudian flash back ke masa laluku. Aku dan dia mempunyai latar belakang keluarga yang hampir sama. Tentu saja aku bisa merasakan kesulitan yang ia rasakan. Ketika duduk di bangku SMP, bibit-bibit rasa berontak mulai bercokol di jiwaku. Aku tumbuh menjadi remaja yang keras dan mudah marah ketika berada di rumah. Selalu saja ada rasa ketidakterimaan kenapa orang tuaku bercerai dan aku hanya tinggal bersama ibuku. Untungnya, aku bersekolah di SMP yang bagus dengan guru-guru, teman-teman dan iklim belajar yang bagus juga sehingga ketika di sekolah aku merasa senang dan melupakan masalah keluargaku. Di sekolah banyak kegiatan positif dan guru-guru banyak memberikan PR. Oleh karena itu, waktuku banyak ku habiskan di sekolah. Ketika di rumah, banyak PR yang menunggu untuk dikerjakan.

Ketika naik kelas 2, Pak Jangkung Suwargono, guru Bahasa Jawa, menemukan bakatku yaitu story telling dan membaca geguritan (puisi dalam Bahasa Jawa). Diikutkanlah aku dalam beberapa lomba hingga di tingkat kabupaten. Alhamdulillah aku selalu membawa pulang piala untuk sekolah walaupun bukan juara I. Dan masa-masa itu pun aku menjadi sangat sibuk dan obsesiku untuk maju semakin bertambah besar. Aku menikmati semua itu.

Saat naik ke kelas 3, aku mendapat wali kelas yang sangat baik. Namanya Ibu Tri Syamsiyah, guru matematika yang sekaligus menjadi wali kelas kami. Di sela-sela mengajar, Ibu berkaca mata itu selalu menyempatkan untuk melakukan coaching pada kami. Sambil berkeliling kelas beliau biasanya bergiliran ngobrol dengan anak-anak secara bergantian. Itulah yang membuat kami, anak-anak kelas 3B menjadi sangat dekat dengan beliau.

Pada suatu kesempatan, beliau berbicara padaku, "Nanti masuk SMA Metias pakai jilbab aja ya! Pasti tambah cantik". Tanpa pikir panjang, aku pun mengangguk. Padahal saat itu aku belum mengerti bahwa hukum memakai jilbab bagi seorang muslimah itu wajib. Lain hari ketika sudah di SMA aku baru belajar tentang hukum itu. Walaupun begitu, aku hanya memakai jilbab saat di sekolah. Saat di rumah? Aku masih melenggang dengan rambut terutai kemana-mana.

Alhamdulillah di SMA aku bertemu dengan orang-orang yang semangat dalam beragama. Ada Mariana (akhirnya kami menjadi sahabat baik hingga saat ini) yang selalu getol mengajak teman-teman putri termasuk aku untuk ikut kajian setiap Jumat sepulang sekolah. Bahkan, saat Mariana tahu bahwa aku sering mangkir, dia selalu sigap mencegatku di depan kelasku (dia kelas B, aku C) beberapa detik setelah bel tanda pulang berbunyi. Jika sudah begitu, menyerah sudah aku.

Selain Mariana dan teman-teman lainnya, aku bersyukur dipertemukan dengan guru-guru yang juga agamis. Adalah Pak Aris Yunanta yang selalu mengajariku tentang dasar-dasar kebaikan: tentang Ketuhanan, disiplin, kejujuran, keaktifan, kerja keras dst. Beliau inilah salah satu inspirasiku ketika aku memutuskan untuk menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar.

Seperti yang ku ceritakan di awal tadi, saat di bangku kuliah aku bertemu dengan senior-senior yang juga bersemangat dalam berislam. Sungguh, aku merasa sangat beruntung.

Apa jadinya ketika aku tidak tumbuh di lingkungan yang seperti itu? Aku tak bisa membayangkan aku menjadi seperti apakah aku. Setelah ini, jalanku mungkin masih panjang. Apakah aku bisa tetap istiqomah dan bersemangat untuk memperbaiki diri? Tidak ada yang bisa menjamin. Maka, doa yang selalu ku dengungkan setiap selesai sholat adalah, "Ya Allah, selalu kumpulkanlah aku dengan orang-orang sholih dan sholihah, orang-orang yang hatinya selalu terpaut denganmu. Perjalankanlah kakiku ke tempat-tempat yang kau berkahi. Matikanlah aku dalam keadaan khusnul khotimah dan masukkanlah aku ke dalam surga Firdaus-Mu. Aamiin. "

Tidak ada komentar: