Indramayu, hampir tengah malam. "Dita, bangun!", mbak Nova membangunkan saya. Saya terkejut, "kenapa mbak?" Dengan mimik wajah sedikit cemas mbak Nova menjawab, "Pendarahanku makin banyak, Dit. Mirip darah haid." Spontan saya respon, "Terus gimana mbak?" Saya perlu beberapa detik untuk bisa menyadari apa yang sedang terjadi. "Aku panggil Dimas dulu ya mbak."
Itu adalah minggu ke-2 kami berada di Indramayu. Di kota mangga itu, kami menjadi asisten penelitian kualitatif yang diselenggarakan oleh sebuah pusat studi di kampus kami, UGM. Tim kami beranggotakan 3 orang, Mbak Nova sebagai ketua tim lalu saya dan Dimas sebagai anggotanya. Karena merupakan penelitian kualitatif, metode yang kami pakai adalah semi etnografi yang mana mengharuskan kami tinggal langsung di rumah warga.
Tepat sehari sebelum pemberangkatan kami ke Indramayu, Mbak Nova baru mengetahui bahwa ia sedang hamil. Menurut dokter, usia kehamilan Mbak Nova sudah 7 minggu. Mbak Nova sempat akan mengundurkan diri dari penelitian ini karena khawatir akan kehamilannya itu. Namun, segala persiapan kami sudah matang dan jika ada salah satu yang mundur, maka akan menghambat proses penelitian ini. Akhirnya, kami tetap berangkat bertiga di hari yang sudah ditentukan.
Tidak ada yang menyangka jika kemudian Mbak Nova mengalami pendarahan hebat itu. Kami cukup panik. Itu tengah malam, hanya rumah sakit di kota kabupatenlah yang buka 24 jam. Ditambah lagi, keluarga tempat kami menginap saat itu tidak memiliki kendaraan bermotor. Dengan apa kami bisa pergi ke rumah sakit? Saya kemudian menelpon Pak Kepala Desa, menjelaskan perkara yang sedang kami alami. Alhamdulillah, tak sampai 30 menit, beliau datang dengan motor.
Beliau menyarankan kami agar menemui bidan desa tersebih dahulu, mungkin ada tindakan medis yang bisa dilakukan. Lalu diboncengkanlan kami berdua (saya dan mbak Nova) ke rumah bidan desa. Alhamdulillah-nya lagi, ibu bidan berusia setengah baya ini belum tidur. Mbak Nova cepat-cepat diminta masuk ke ruang praktiknya. Setelah diperiksa, pendarahan memang sudah sangat parah. "Sepertinya harus dibawa ke rumah sakit mbak. Biar di-USG apakah janinnya masih bisa diselamatkan atau tidak", kata ibu bidan dengan sabar.
Ibu Bidan kemudian menelpon supir ambulans puskesmas kecamatan. Ambulans pun datang dan segera membawa kami ke rumah sakit kota. Singkat cerita, janin yang dikandung Mbak Nova tidak bisa diselamatkan dan harus dikuret. Saya yakin, pastilah berat perasaan Mbak Nova. Namun, ia sama sekali tak menangis. Malahan ia berkali-kali menghawatirkan saya, "Dita pasti capek, maaf banget ya. Jadi repot gini".
Esok harinya, sekitar jam 09.00 pagi, suami dan saudara Mbak Nova datang dari Cianjur. Pecahlah tangis Mbak Nova saat sang suami masuk ke ruangan dimana ia dirawat. "Sudah, sudah", kata sang suami berkali-kali sambil mengusap-usap tangan senior saya ini. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Mbak Nova, hanya isak lirih. Saya tak sanggup melihat semua itu, berat sekali rasanya. Saya pun minta izin keluar. Mungkin mereka butuh waktu untuk berbicara berdua saja.
Pagi ini, 1,5 tahun setelah peristiwa itu terjadi, saya mendapat sebuah pesan singkat dari Mbak Nova. "Ass. Alhamdulillah telah lahir putra pertama dan kedua kami, pada tgl 13 Jan 2015 pkl 16.10 dan pkl 16.20 di klinik citra harapan bunda Cianjur. Semoga menjadi anak sholeh dan berbakti, amin (Nova& Roni)."
Tiba-tiba rasa haru menyeruak dari hati saya. Duhai Allah, dulu Engkau mengambil 1, sekarang menggantinya, bukan diganti dengan 1 namun 2 sekaligus. Sungguh Engkaulah sebaik-baik perencana, yaa Rabb. Ajarkan kami untuk selalu bisa mengambil hikmah dari setiap duka yang kami alami. Ilhamkan kepada kami untuk selalu ingat akan firman-Mu, "fa-inna ma'a al'usri yusraan" --Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan-- (QS. Alam Nasyrah: 5).
2 komentar:
terharuuuu dit >_<
Iya viii... terharu banget. Makanya aku tulis di blog.
Posting Komentar