Translate

Jumat, 28 November 2014

Ini Namanya Jodoh

Bengkei. Itu adalah kata dalam Bahasa Bima yang mewakili sifat seorang anak yang nakal, susah diatur dan suka memancing keributan. Pertama kali mendengar kata "bengkei" itu, fungsi save dalam otak saya sepertinya secara otomatis menyimpannya. Memang begitulah keunikan bahasa. Kata-kata yang berarti negatif atau kasar cenderung mudah diingat. Seperti teman-teman saya penyuka anime atau drama Jepang, kata yang paling mudah diingat oleh mereka adalah yang semacam baka, baka yaro, teme, dll yang semuanya itu bernada negatif. Demikian juga dalam Bahasa Inggris. Kata-kata seperti, maaf, fuck atau bitch, cenderung lebih mudah tersangkut di otak. Hmmm... mungkin karena otak kita saja yang agak kotor? Bisa jadi, tapi entahlah. :-D

Walaupun kata-kata seperti itu sangat mudah saya ingat, saya selalu berusaha tidak menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari lho. Sungguh! Hehe.. Apalagi, selama di Bima, saya kan posisinya sebagai pendidik. Jadi, alangkah tidak baiknya jika saya menggunakan kosakata yang semacam itu.

Di sekolah, saya sering mendengar anak-anak mengucapkan kata-kata yang tidak baik itu, misalnya bengkei, lako (anjing) dan setan saat bertengkar dengan teman-temannya. Selain mengeluarkan kata-kata kasar, mereka (terutama anak laki-laki) ketika bersitegang dengan teman-temannya tak jarang berujung hingga perkelahian. Di setiap kelas (terutama kelas tinggi seperti kelas IV, V dan VI) pasti ada satu atau dua orang anak yang menjadi sumber keributan. Anak-anak inilah yang dilabeli sebagai anak "benkei". Saya prihatin mendengar itu. Bukankah di dunia ini sebenarnya tidak ada yang namanya anak nakal? Tapi kenapa di sini orang senang sekali melabeli seorang anak sebagai anak nakal? Apakah mereka tau dampak psikologis yang timbul pada anak yang mendapat label nakal itu?

Awalanya saya begitu idealis. Materi pedagogis dan psikologi pendidikan yang saya dapatkan dari Pelatihan Intensif Pengajar Muda dan buku-buku yang saya baca masih hangat-hangatnya di kepala saya. Apalagi, menjadi Pengajar Muda di Bima adalah pengalaman pertama saya untuk mengajar secara penuh di sekolah. Maka, saat itu saya sudah sangat gemas untuk segera mengaplikasikan segala ilmu yang saya peroleh pada anak didik saya.

Ternyata oh ternyata, menjadi pendidik itu benar-benar tidak mudah. Ilmu tentang pengelolaan kelas hanya mempan pada sebulan pertama. Selanjutnya? Sungguh setengah mati membuat kelas yang minimal berisi 25 anak itu menjadi kondisif. Ditambah lagi, kadang saya harus mengajar di 2 kelas sekaligus karena tidak adanya guru.Tak jarang ketika sedang mengajar, saya harus menarik nafas panjang untuk menahan kegeraman saya pada anak-anak yang hiperaktif. Ingin sekali berteriak, "Kalian nakal sekali!" atau , "Diam!" atau "Jangan ribut!". Namun, selalu saya tahan sekuat tenaga. Kau tau kawan, bagaimana susahnya menahan itu?


Aki saat acara perpisahan dengan Ibu Mutia
Tersebutlah salah satu anak yang bernama Aki. Saat saya tiba di SDN Soro Afu itu, Aki baru saja lulus SD dan akan masuk ke SMPN 1 Langgudu yang tepat berada di samping rumah keluarga angkat saya. Kak Mutia, Pengajar Muda yang bertugas di tahun pertama di SDN Soro Afu berpesan kepada saya agar megajak Aki untuk mengikuti kegiatan yang positif. Sebagai penerus tugas Kak Mutia, saya menyanggupinya. Kak Mutia bercerita bahwa dulu Aki terkenal sebagai anak yang bengkei. Namun Kak Mutia melihat sebenarnya Aki adalah anak yang cerdas. Maka dari itu, pelan-pelan Kak Mutia membuat Aki agar mau menurut dan tidak membuat keributan di kelas. Kak Mutia berhasil. Di akhir masa tugas Kak Mutia, Aki banyak berubah. Apapun yang dikatakan oleh Kak Mutia selalu diturutinya.

Setelah Kak Mutia kembali ke Jawa, saya mencoba untuk mendekati Aki. Namun, entah kenapa saya merasa sulit sekali masuk ke dunianya. Selain itu, sepertinya ia juga memasang sekat dengan saya. Saya sering memanggilnya untuk datang ke rumah saya tetapi ia hanya beberapa kali datang. Karena saya tidak mengajar di SMP, otomatis pertemuan saya dengan Aki tidak bisa seintensif dengan anak-anak SD yang saya ajar. Semakin lama bahkan kami nyaris tidak pernah bertemu karena kegiatan saya semakin banyak.

Selain Aki, ada satu lagi anak laki-laki yang terkenal dengan sebutan "benkei". Ia adalah Raihan, adik kelas Aki. Saat saya tiba di Bima, Raihan duduk di kelas VI. Dulu, Kak Mutia juga mengajar Raihan saat anak ini di kelas V. Kabarnya, Aki dan Raihan itu sama-sama bengkei. Aki adalah yang paling bengkei di kelas VI, sedangkan Raihan di kelas V. Kak Mutia bisa menakhlukkan hati Aki tetapi itu tidak berlaku untuk Raihan. Ini yang menjadi PR saya selanjutnya.


Saya dan Raihan saat jalan-jalan setelah Final OSK 2013
Tidak seperti saat berkomunikasi dengan Aki, saya cukup mudah untuk berkomunikasi dengan Raihan. Lelucon yang saya dan Raihan sukai pun sama. Dengan saya, Raihan juga tak malu-malu bercerita banyak hal. Ia pun selalu semangat mengikuti berbagai kegiatan yang saya adakan. Dari sana saya melihat potensi Raihan dalam bidang Sains. Oleh karena itu, saya akhirnya mendaftarkan Raihan ke dalam Olimpiade Sains Kuark (OSK). Tiga bulan penuh kami mengadakan latihan untuk menghadapi babak penyisihan. Alhamdulillah, ia lolos. Dua bulan berikutnya adalah persiapan untuk tahap semifinal dan alhamdulillah ia kembali lolos sehingga berhak menjadi bagian dari 100 finalis tingkat Nasional di Jakarta. Mendengar kabar itu, ia semakin bersemangat agar bisa meraih medali nanti di final. Akhirnya, di Jakarta Raihan mendapat peringkat 16 Nasional dari 100 peserta itu. Walaupun tidak mendapat medali, itu sudah merupakan pencapaian yang luar biasa.

Sebagai anak dari kepala sekolah di salah satu SMP di kecamatan kami, Raihan termasuk anak yang dimanjakan terutama dalam bidang materi. Selain itu, ia adalah anak lelaki satu-satunya karena dua kakaknya  adalah perempuan yang semuanya sudah berkuliah di luar daerah. Itu membuat Raihan sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Di rumah, ia memiliki Play Station yang mana itu tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya di desa kami. Ketika sedang asyik bermain PS, ia sama sekali tidak bisa diganggu. Jangankan disuruh belajar, disuruh mandi pun ia tak mau bergerak. Setelah saya memasukkannya sebagai peserta olimpiade, ia selalu mau mengakhiri permainan PS jika jam sudah menunjukkan pukul 16.00 yang berarti waktu les olimpiade dimulai. Ini yang membuat mamanya heran. "Kok anak ini mau ya nurut sama Ibu Dita?" tanyanya suatu ketika.

Hmmm.. Barangkali ini yang dinamakan jodoh. Kak Mutia berjodoh dengan Aki. Sudah sekuat tenaga saya mencoba mendapatkan hati Aki, ternyata saya tidak bisa. Ya, sepertinya saya tidak berjodoh dengan Aki. Ternyata, jodoh saya adalah Raihan.

Setelah masa tugas saya selesai, Diah meneruskan tugas saya. Kalau dulu saya mendapat PR dari Kak Mutia, saya pun memberi PR pada Diah. Hehe.. PR untuk Diah adalah Jamaludin, anak yang naik ke kelas VI saat Diah datang. Ternyata, Jamal yang tak berjodoh dengan saya itu, menjadi jodohnya Diah. Suatu hari saat saya sudah di Jakarta, saya tanyakan kabar Jamal pada Diah. Hampir saya tidak percaya ketika Diah bilang bahwa ia tidak punya masalah untuk menakhlukkan hati Jamal. Lagi-lagi, inikah yang namanya jodoh? Jadi, tidak perlu khawatir. Kalau berjodoh, pasti akan ada campur tangan Tuhan untuk menghasilkan cerita yang sangat menarik. :-)
Jamal, yang berkaos warna oranye


Tidak ada komentar: