Translate

Selasa, 26 Mei 2015

Ruang Interaksi Positif

Fay dan Ncan tengah asyik di depan komputer masing-masing saat saya datang. Menyadari kedatangan saya, mereka sejenak berpaling dari layar komputer untuk mengobrol ringan dengan saya.

"Oh, itu sedang ada meeting Kelas Inspirasi Jakarta, Kak", Fai menjawab pertanyaan saya tentang keriuhan yang terdengar dari ruang rapat. Dari ruangan tempat saya duduk, saya melengok ke arah ruangan berukuran 6x8 meter itu. Nampak belasan orang dengan rentang usia kira-kira antara 20-40 tahun. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka adalah pekerja kantoran di tempat-tempat terbaik di ibukota.

Walaupun berstatus alumni Pengajar Muda (PM), saya belum pernah secara langsung terlibat dalam Kegiatan Kelas Inspirasi, kegiatan yang dikelola oleh officer IM, alumni PM dan para relawan. Dan malam itu, --saat saya datang ke Jalan Galuh II no 4 lalu bertemu dengan Fay dan Ncan untuk mengerjakan tugas di divisi rekrutmen PM--, untuk pertama kalinya saya menyaksikan semangat para relawan Kelas Inspirasi.

Saya tertegun beberapa detik lamanya. Apa yang sebenarnya mereka cari? Setelah jam pulang kantor bisa saja mereka memilih berjalan-jalan ke tempat-tempat hiburan, --mall, bioskop dan restoran misalnya-- untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Mereka bergaji besar --dilihat dari penampilannya, dapat dipastikan mereka adalah pekerja yang bergaji besar--, tentu mereka bisa membeli segala kenyamanan dan kesenangan jika mereka mau. Tapi apa nyatanya? Mereka justru berkumpul untuk membicarakan sebuah kegiatan untuk menginspirasi anak-anak SD di pinggiran Jakarta. Mereka mau bercapek-capek untuk mengurusi anak-anak SD, urusan yang mungkin bagi sebagian besar orang dianggap sangat remeh-temeh.

Meaning (sebagaimana artikel Prof Renald Kasali beberapa waktu lalu), bisa jadi itulah yang sedang mereka cari. Mereka mendermakan waktu, tenaga, kreatifitas dan materi (karena kegiatan ini mereka danai sendiri) untuk orang lain. Dengan berbagi, mereka menciptakan meaning atas keberadaan mereka. Atau dengan kata lain, mereka ingin membuat hidup mereka berarti bagi banyak orang.

Saya menangkap meaning tidak hanya dari keriuhan di ruang rapat Jalan Galuh II no 4 Jumat petang itu. Keesokan paginya, saya hadir dalam pertemuan relawan Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM) di kantor PWC, Rasuna Said. Aura "keberartian" (baca: meaning) terpancar dari wajah-wajah para relawan FGIM. Mereka merelakan akhir pekan mereka untuk menghadiri pertemuan ini, pertemuan yang tak memberikan janji imbalan apapun kepada mereka. Yang ada justru sebaliknya, para relawan harus berkorban lebih.

Otak kapitalis saya kadang tidak bisa menjangkau "kegilaan" para relawan ini dalam berderma. Dan saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala saat bertemu langsung dengan para relawan FGIM yang akan datang langsung ke Bima, Bawean, Tulang Bawang Barat, Maluku Tenggara Barat dan Lebak sebagai inspirator di daerah-daerah tersebut. Mereka berangkat dengan biaya transportasi dan akomodasi dari rekening mereka sendiri! Apa pula namanya ini kalau tidak disebut sebagai suatu "kegilaan" yang kronis?

Yes, they just create meaning. Ah, beruntungnya mereka, nanti di hari akhir, mereka tidak perlu lagi bingung menjawab pertanyaan Allah, "Kau gunakan untuk apa masa mudamu?"

Selepas pertemuan di Rasuna Said itu, saya naik bus trans-Jakarta menuju Japan Foundation untuk menyaksikan lomba pidato Bahasa Jepang. Bus yang saya tumpangi tidak penuh seperti saat rush hour. Saat itulah saya duduk menerawang, memaknai interaksi yang sejak Jumat malam sebelumnya saya alami. Saya tersenyum tipis dan menggumam dalam hati, "Duhai Allah, terima kasih telah mengikatkanku pada ruang interaksi yang positif ini."


Meet up relawan FGIM

Tidak ada komentar: