Translate

Minggu, 17 Mei 2015

Mengenal Diah

Kita tidak pernah tau akan menjalani cerita hidup seperti apa, bertemu dengan orang-orang semacam apa. Namun yang pasti adalah bahwa semua itu terjadi dengan alasan tertentu. Ada kuasa dan maksud Tuhan di sana, walaupun kadang kita tidak bisa mengetahui "maksud" itu di awal waktu.

Pun perkenalan saya dengan Diah Septyadari, Pengajar Muda (PM) pengganti saya di Bima. Bulan Mei 2013, kami para PM pendahulu sudah mendapat kiriman foto dan profil PM penerus dari kantor Indonesia Mengajar (IM) di Jakarta. Karena di hampir semua desa penempatan kami tidak ada sinyal internet, kami 9 orang PM pendahulu bersepakat untuk berkumpul di Kota Bima untuk menantikan "kabar gembira" itu.

Saat itu perasaan kami bercampur-campur. Senang, karena sebentar lagi kami akan pulang ke tempat asal masing-masing. Sedih, karena akan berpisah dengan anak-anak didik dan keluarga angkat yang sudah setahun membersamai kehidupan kami. Ada satu perasaan lagi yang sebenarnya agak egosentris, namun nyatanya itu mengisi sepersekian ruang di hati kami. Perasaan itu adalah ketakutan tidak akan diingat lagi oleh semua orang di tempat tugas kami karena eksistensi kami segera tergantikan oleh PM yang baru. Intinya, kami takut "tergantikan".

Maka, cerita akan menjadi semakin menarik jika ternyata PM penerus kami jauh lebih baik daripada kami, baik dari segi prestasi maupun fisik. Inilah akhirnya yang kami jadikan sebagai bahan bullying di antara kami, PM pendahulu. Dan karena penerus saya adalah Diah, tak bisalah saya luput dari objek bullying teman-teman. Ada apa dengan Diah? Berikut saya lampirkan profil Diah. 


Diah Septyadari

Putri yang besar dengan budaya Sumatera, Sunda, dan Jawa ini akrab disapa Diah. Ia lahir di Cimahi dan berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Kedokteran Hewan. Semasa mahasiswa, dia aktif dalam berbagai kegiatan akademik maupun non-akademik.
Di antaranya, ia pernah dipercaya sebagai Kepala Departemen (Kadep) PSDM IMAKAHI, Kepala Divisi Kajian Strategis dan Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH, FLP Yogyakarta, dan ketua Senat Mahasiswa FKH UGM.
Bersamaan dengan itu, Diah pun membenamkan diri sebagai pengajar LBB SSC Intersolusi, asisten praktikum fisiologi, dan asisten dokter hewan klinik. Dengan tim penelitiannya, Diah mendapatkan medali emas dalam Pimnas bidang riset yang mengambil tempat di Bali, sebagai bentuk sumbangsih demi kemajuan medis veteriner.
Anugerah yang amat Diah syukuri adalah memperoleh beasiswa dan bimbingan leadership tiga tahun dari Beastudi Etos yang membuatnya senantiasa mengasah diri dan mendekatkan diri pada-Nya.
Bergabung dengan Indonesia Mengajar juga merupakan mimpinya untuk menyatu dengan tunas bangsa, mengembangkan, dan memekakan naluri kebangsaan guna bersama-sama menunjukkan pada dunia bahwa anak Indonesia berpotensi. Kelak ia ingin membuat sekolah kolong jembatan integrated bagi masyarakat kurang mampu.
Diah ditempatkan di Kabupaten Bima perbatasan NTB dan NTT, di SDN Soro Afu periode 2013-2014. Satu pesannya, “Kita hidup bukanlah selalu tentang diri kita, tetapi tentang orang lain. Maka pekakanlah hati dan telinga untuk mendengar nuansanya sehalus siluet jingga. Salam hangat bagi dan dari Indonesia!"
Glek, saya hanya bisa menelan ludah, tak mampu berkomentar apapun. Macam-macamlah komentar kedelapan teman-teman saya. "Wah, sudah dipastikan kamu bakal cepet dilupain, Dit", seloroh Faisal mulai mem-bully saya. Morin pun menambahkan, "PM pertama kan Ibu Mutia, terus ada yang ke-2, baru yang ke-3 Ibu Diah. Yang ke-2 itu ibu siapa?", dengan ekspresi mengejek saya (tapi hanya bercanda). Seorang lagi menambahkan, "Setelah Ibu Mutia langsung Ibu Diah kok, gak ada yang lain." Rontok sudah rasa percaya diri saya.

Tidak hanya saya yang tertimpa bullying. Kami pun mem-bully satu sama lain karena kami merasakan suasana hati yang sama; takut tergantikan. Dan kegiatan saling mem-bully itu pun sebenarnya hanyalah salah satu usaha kami untuk katarsis. Dengan saling mem-bully, kami bisa menertawakan diri sendiri sehingga sesuatu yang awalnya terasa berat pun bisa berubah menjadi ringan. Toh pada dasarnya kami tidak sungguh-sungguh merasa "terancam" oleh kehadiran para PM penerus. Kami dan para PM penerus ibarat rangkaian estafet menuju Indonesia yang lebih baik. *serius mode on :-p*

Dua tahun setelah masa itu pun berlalu. Saya yang dulunya sempat merasa "terancam" oleh Diah, baru kini berhasil mendefinisikan maksud Tuhan. Dokter muda nan cantik ini ternyata adalah teman bercerita yang mengasyikkan. Kesamaan nasib sebagai PM yang ditempatkan di lokasi yang sama mungkin yang menjadikan kami selalu "nyambung" ketika bercerita. Apapun diceritakan, dari masalah yang sama sekali tak penting, hingga sangat amat penting dan rahasia. Namun uniknya, apapun awal pembicaraannya sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya tentang "itu". Iya "itu". (urusan wanita, hanya kami yang tau, hehe)

Baru dua tahun kami berkenalan. Bertemu pun baru beberapa kali, mungkin belum genap 10 kali. Tapi anehnya, tak adalah sekat di antara kami untuk menceritakan apapun. Saat saling berbagi cerita, adakalanya kami tertawa, menangis, kadang pula menangis sambil tertawa. Inilah yang membuat saya merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Ibu guru yang pada akhir penugasannya berhasil membawa enam orang anak didiknya untuk berskolah SMP-SMA di Smart Ekselensia Dompet Dhuafa dengan beasiswa penuh ini
.



*Tulisan ini dibuat setelah kemarin malam mengobrol dengan Diah tiga jam penuh melalui aplikasi WhatsApp. Semoga Allah menjaga persahabatan kita sampai ke surga-Nya, ya Di!

 


Tidak ada komentar: