Translate

Jumat, 19 Januari 2018

Yang ke Sepuluh

"Aku punya project baru mbak!", katanya padaku siang itu. Matanya berbinar, nampak tak sabar menceritakan project barunya itu. Aku pun tak sabar ingin mendengarkan ceritanya.

"Jadi, aku sama anak-anak YISC Al Azhar mau bikin baksos sembako murah mbak. Kalau ada baju bekas, kasihin ke aku ya! Nanti kami jual di CFD buat modal beli sembako."

"Yah Mbak, kayak gak tau aku aja! Aku kan jarang punya baju baru, wkwkwk. Jadi, stock bajuku ya itu-itu aja. Aku bantu mentahnya aja insyaAllah yak". Kami lalu sama-sama tertawa.

"Ok Mbak! Kami juga ada ide bagiin celengan ke calon donatur. Nanti donatur bisa sedekah harian dikit-dikit. Akhir Maret kami ambil, " ia menjelaskan dengan penuh semangat.

"Sip, aku ambil 1 celengan." Beberapa hari kemudian, tiba-tiba tergeletak botol minum di bangku kerjaku. Ini milik siapa? Mataku menyelidik. Aku buka ponsel dan ternyata ia mengirim pesan WA, " Itu ya Mbak celengannya!". Aku terbahak sambil menatap botol minum yang kini bermetamorfosis nama menjadi celengan itu.

"Penuhin 3x ya Mbak", katanya suatu hari. "Jiaaaah!", aku hanya bisa nyengir kuda. Untungnya, teman-teman dan senior-senior di ruanganku sangat dermawan. Hampir setiap hari mereka ikut "nyelengi" sehingga baru 2 pekan sudah hampir penuh. Alhamdulillah.

Ini adalah satu dari sekian cerita tentang ia yang mengambil tempat di ingatanku. Bagiku ia terlalu inspiratif. Setiap kebaikannya selalu memacuku untuk ikut berbuat baik.

Keakraban kami dimulai dari pertanyaan spontannya di suatu sore, " Mau ke mana Mbak?" Aku jawab, "Mau ngaji ke Al Azhar, Mbak." Ia pun segera menyahut, "Aku ikut dong Mbak!" Aku lalu menjelaskan bahwa untuk ke Al Azhar, lebih efektif naik Bus Trans Jakarta. Ia menyanggupi. Kami bergegas berangkat.

Di pekan-pekan berikutnya ia nyaris tak pernah absen dari kajian di Al Azhar itu. Maka kami pun perlahan mulai berteman dengan kemacetan, antrian, bahkan hujan. Padahal, kau tau kawan? Bagaimana rute yang harus kami tempuh ke sana?

Jam 04.00 sore kami berangkat dari kantor menuju halte Matraman. Dari sana kami naik bus ke Halte Dukuh Atas 2. Lalu kami harus berjalan menyeberang jembatan yang cukup tinggi dan panjang ke halte Dukuh Atas 1. Dari sana baru kami naik bus jurusan Blok M, turun di Halte Masjid Agung Al Azhar. Pada jam pulang kantor, hampir selalu kami tidak kebagian tempat duduk. Dengan kata lain, sepanjang perjalanan kurang lebih 1 jam itu kami harus berdiri. Belum lagi berdiri dalam antrian yang kadang tidak sebentar.

Pulangnya, jam 09.00 malam, rute yang kami lalui sama persis. Maka tak jarang kami baru bisa mendarat di kos jam 10.30 malam.

Ya, bagi kita yang dikaruniai fisik yang normal tentu berfikir bahwa perjalanan semacam itu biasa saja. Tapi kawan, bolehkah aku memberitahumu tentang kondisi temanku ini? Temanku ini memiliki tangan dan kaki kanan yang istimewa. Sejak ia lahir, tangan dan kaki kanannya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Saat berjalan, tumpuan utamanya hanya kaki kiri. Saat menulis dan mengerjakan yang lain pun, hanya tangan kiri yang bisa sepenuhnya ia gunakan.

Dalam hati aku berkata, "Allah menggariskan bahwa tangan dan kaki kananmu sudah menunggu di surga, Mbak!"

Ia dengan segala keterbatasannya saja begitu semangat mencari ilmu, tidak malukah aku yang sehat ini jika bermalas-malas datang ke majelis ilmu?

Sejak itu kami semakin akrab. Saat aku memutuskan mengikuti kelas intensif di YISC Al Azhar, bak gayung bersambut, ia juga ingin bergabung. "Tapi, ini programnya ada bayar semesteran lho Mbak.",  aku menegaskan. Ternyata ia tak keberatan.

Bersama teman-teman barunya di kelas, ia mendesain beberapa project sosial. Ia nampak senang mengerjakan semua itu. Saat aku mempunyai project pendidikan pun, ia hampir selalu ikut menjadi donatur. Katanya padaku suatu ketika, "Aku cuma pengen hidupku berarti buat banyak orang, Mbak!"

Ternyata, ia tidak hanya memikirkan masyarakat secara umum, keluarganya adalah yang pertama ia pikirkan. Sejak salah seorang abangnya meninggal dunia dan meninggalkan 3 anak usia sekolah, ia berinisiatif menjatah uang saku untuk ketiga keponakannya itu.

Mengingat-ingat pengalamanku dengan gadis cantik anak bungsu dari 10 bersaudara ini, aku hanya bisa membisikkan doa, "Tabarakallah, Mbak. Semoga Allah merahmatimu, menyayangimu sebagaimana engkau menyayangi hamba-hamba Allah. Semoga Allah mengumpulkanmu dengan orang-orang shalih dan memperjalankanmu di tempat-tempat yang diberkahi."

Jika di surga nanti kau tak menjumpaiku, Mbak, tolong mintakan pada Allah agar aku bisa masuk surga ya Mbak!

Notes:
Aku memanggilnya dengan panggilan "mbak" dan ia pun memanggilku "mbak".

Tidak ada komentar: